Pertobatan Mantan Napiter: Perjumpaan yang Menjerumuskan (Bagian 1)

Pengantar: Artikel berseri berikut adalah tentang Imran Rabbani, mantan Narapidana kasus terorisme di Amerika Serikat. Imran memutuskan meninggalkan paham ekstremisme yang pernah diyakininya sebagai kebenaran. Ada banyak faktor yang membuatnya sampai di titik itu. Redaksi menerjemahkan dan meringkas artikel yang dimuat di Los Angeles Times, 12 Januari 2020.

Hujan yang mengguyur kota pagi itu tak menghalangi Imran Rabbani menuju Pusat Penahanan Remaja Wilayah Essex di New Jersey. Empat tahun sebelumnya, Rabbani yang masih berusia 17 tahun harus tinggal di tempat itu lantaran terlibat dalam rencana serangan bom panci di New York Amerika Serikat.

Saat ini Imran (22 tahun) menjalani semester ketiga di Universitas New York. Dia ingin mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang telah menuntunnya menjauhi paham ekstremisme. Pagi itu Imran menunggu di perpustakaan sembari menatap buku yang telah berperan penting dalam proses perubahan dirinya hingga di titik sekarang.

Tidak lama kemudian para pejabat kota, staf, dan penjaga datang ke ruangan. Melihat Kapten Robert Woodson, Imran langsung berlari menghampiri dan memeluknya, membuat mata seisi ruangan tertuju kepada mereka.

Baca juga Berdamai dengan Kenyataan Mendamaikan Keadaan

“Ingatkah kamu ketika mengizinkanku dan narapidana lain untuk mengonsumsi jajanan sembari kami menonton drama The Wire di dalam perpustakaan? Dan waktu kamu mengizinkanku untuk shalat di ruangan dan kemudian menghubungi ibuku?” tanya Imran.

“Aku ingat,” jawab Woodson. “Kamu dan narapidana yang lainnya sudah seperti anak-anakku sendiri. Aku mencintai kalian semua,” katanya.

Mendengar jawaban tersebut, Imran kembali memeluk Woodson dan terlihat air mata jatuh di kedua mata mereka. “Aku tidak pernah menyangka bahwa seorang penjaga tahanan, apalagi seorang kapten, akan memperlakukanku dengan penuh kebaikan,” ungkap Imran.

Imran mengingat masa ketika menjalani hukuman. Dia menyaksikan bahwa kebaikan dan pendidikan adalah kunci transformasi tak terduga. Perubahan yang membantunya memperdalam dan memperkaya identitasnya sebagai seorang Muslim Amerika.

Sebagai anak dari seorang imigran Pakistan, Imran merasa harus berjuang untuk dapat menyesuaikan diri dan tumbuh besar di New York. Dia selalu merasa sebagai orang luar dan tidak bisa sepenuhnya mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Amerika ataupun Pakistan. Kondisi ekonomi yang sulit membuat Imran beserta ketiga saudaranya harus berbagi ruang dengan orang tuanya dalam apartemen kecil. Ketika mulai memiliki teman, ayahnya tidak menyetujui dan mendesaknya untuk mematuhi tradisi Pakistan yang lebih konservatif. Saat dia mulai mencari jawaban atas keraguannya, dia bertemu dengan Munther Omar Saleh yang berusia 3 tahun lebih tua dan tinggal tak jauh dari rumahnya.

Baca juga Potret Peacemaker untuk Indonesia Damai

Pertemuan itu terjadi pada tahun 2015, ketika Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) berhasil menguasai sebagian besar wilayah Suriah dan Irak. Saat itu pula, Jaksa Federal menemukan fakta untuk menuduh Saleh dalam dokumen pengadilan bahwa dirinya sedang meneliti cara perakitan bom untuk serangan teror. Imran mengaku tidak mengetahui sedikit pun tentang rencana Saleh itu.

Pertemanan mereka semakin kuat dan berhasil memengaruhi cara Imran memandang dunia. Saleh yang dianggap karismatik oleh Rabbani menjelaskan bahwa umat Islam dianiaya oleh orang-orang Yahudi dan Kristen serta mengatakan bahwa ISIS berupaya untuk menciptakan Islam yang sesuai dengan keinginan Nabi Muhammad.

Awalnya, Imran merasa tidak nyaman dengan topik yang disampaikan oleh Saleh. Namun beberapa bulan berlalu, dia mulai menerima pemikiran Saleh. Terlebih ia menganggap Saleh sebagai orang pertama yang menerimanya sebagai teman sehingga tidak ingin kehilangan Saleh. Pada tahun 2015, Imran dan Saleh aktif menjadi sukarelawan di Masjid Al-Falah, Queens.

Terkadang mereka menghabiskan malam di masjid sambil berdikusi tentang berbagai macam perbedaan ajaran dalam Islam. Hingga suatu saat Saleh menerjemahkan sebuah hadis dan mengatakan bahwa hadis tersebut menginstruksikan kepada umat Islam untuk bergabung dengan ISIS.

Baca juga Berkisah: Metode Psikologis Atasi Trauma Korban Bom

“Sebuah negara akan datang dari Timur dengan bendera hitam. Jika ada di antara kalian menemukan negara ini, maka kalian harus bergabung dengan mereka meskipun kalian harus merangkak di atas es,” ungkap Saleh sebagaimana disampaikan oleh Imran.

Menanggapi hal tersebut, Rabbani berpikir bahwa hal tersebut bukanlah Islam yang selama ini ia ketahui. Namun dia mulai terpengaruh untuk membaca artikel serta menonton video-video yang dirilis oleh ISIS secara online. Dia mulai memosisikan Saleh sebagai mufti atau ahli hukum Islam yang memberikannya berbagai macam saran. Suatu sore Imran mengirim pesan singkat kepada Saleh, yang kemudian tercantum dalam dokumen pengadilan.

“Aku sudah mencari tahu lebih dalam. Kita harus bicara langsung. Ideologi Islamic State cukup masuk akal,” ungkap Imran dalam pesannya kepada Saleh.

Baca juga Dulu Meracik Bom Kini Meretas Damai

“Maksudmu mendirikan Islam sebagaimana yang Nabi lakukan? Kita bisa bertemu kapan pun kamu senggang,” Saleh membalasnya.

“Ya, dan itu terlihat bahwa mereka melakukannya langkah demi langkah dengan sempurna. Persis seperti cara dan aturan Nabi,” jawab Rabbani.

Agen federal ternyata telah memantau pergerakan keduanya selama berbulan-bulan di mana mereka berdiskusi tentang ajaran ISIS dan lokasi-lokasi yang memungkinkan untuk diserang.  Pada suatu sore keduanya ditangkap oleh aparat penegak hukum. Menurut dokumen pengadilan, saat ditangkap Imran membawa pisau, sesuatu yang menurut dia wajar.

Imran didakwa berkonspirasi untuk memberikan dukungan material kepada organisasi teroris asing. Setelah mengaku bersalah sebagai orang dewasa yang berada dalam komplotan konspirasi untuk mengganggu petugas federal, pemerintah menghilangkan tuduhan terorisme. Sementara Saleh mengaku bersalah karena telah berkonspirasi untuk memberikan dukungan materi kepada IS dan kejahatan lainnya. (Bersambung)

Sumber: https://www.latimes.com/nation/la-na-col1-terrorism-prison-radicalization-2019-story.html

Baca juga Kasih Sayang yang Tak Pantas Dinafikan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *