Kisah Pertobatan Mantan Napiter: Pembinaan yang Tepat (Bagian 3)

Pengantar: Artikel berseri berikut adalah tentang Imran Rabbani, mantan Narapidana kasus terorisme di Amerika Serikat. Imran memutuskan meninggalkan paham ekstremisme yang pernah diyakininya sebagai kebenaran. Ada banyak faktor yang membuatnya sampai di titik itu. Redaksi menerjemahkan dan meringkas artikel yang dimuat di Los Angeles Times, 12 Januari 2020.

Setelah menghabiskan enam bulan di sel isolasi, Imran diizinkan masuk ke blok tahanan umum pada November 2015. Saat itu banyak petugas membantunya dengan cara-cara kecil. Salah seorang petugas pernah mengganti sandal Imran yang sudah usang dengan yang baru. Petugas lain memberinya pelukan dan mendoakan keberuntungannya setiap kali ia menuju pengadilan. 

Lawrence Outlaw, seorang petugas bagian rekreasi, mengajari Imran bagaimana cara mengelola hubungan yang kacau menjadi lebih baik melalui permainan catur. “Sama seperti saat kamu bermain catur, kamu harus sabar dalam hidup dan berpikir tiga langkah ke depan,” kata Outlaw mengingat perkataannya kepada Imran. “Kamu tidak bisa begitu agresif.” 

Imran juga menemukan seorang figur ayah pada diri Manazir Ahmed, seorang guru matematika Pakistan di fasilitas penahanan yang terkadang memimpin shalat Jumat untuk para tahanan Muslim.

Baca juga Pertobatan Mantan Napiter: Perjumpaan yang Menjerumuskan (Bagian 1)

Suatu hari, Ahmed memanggil Imran ke ruang kelasnya dan menyerahkan mushaf  al-Quran kecil kepadanya. Dia menunjukkan kepada Imran ayat yang sering dilafalkan orang ketika menghadapi kesulitan, serta mendesak Imran untuk membacanya dengan keras tiga kali agar dirinya tenang. Setelah selesai, Ahmed meraih tangan Imran, menggenggamnya dengan kuat dan mengatakan kepadanya dalam bahasa Urdu: “Kamu seperti anakku. Jangan dengarkan hal-hal buruk yang orang katakan. Teruslah berdoa.”

Dia melepaskan tangan Imran dan menyuruhnya untuk menjaga  al-Quran. Rabbani melakukan apa yang dinasehatkan Ahmed. Ketika sedang sendirian di dalam sel, dia menandai bacaan-bacaan dalam  al-Quran yang sesuai dengan dirinya. Rabbani kemudian menemukan salah satu ayat yang ia jadikan pedoman dalam hidupnya untuk menerima toleransi dan pandangan kemajemukan: “Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku.”

Baca juga Pertobatan Mantan Napiter: Pembinaan yang Tepat (Bagian 2)

Dia juga mulai mendatangi sesi berdoa umat Yahudi dan Kristen untuk mempelajari tentang perbedaan kepercayaan. Pada akhirnya dia menyadari bahwa ajaran ISIS terlihat aneh serta menunjukkan adanya politik ideologi yang tidak merefleksikan Islam. Didukung oleh hasrat barunya terhadap psikologi serta pemahaman baru tentang Islam, ia mulai menemukan, untuk pertama kalinya, suaranya sendiri.

Lelaki muda yang hampir gagal pada tahun seniornya di sekolah menengah, langsung berhasil mendapatkan nilai A di kuliah yang dia ambil di fasilitas penahanan. Dia mulai bertanya-tanya tentang masa depannya, dan suatu malam di selnya, dia mengeluarkan selembar kertas dari buku catatannya dan menamainya “When I Leave.” Dia menuliskan tujuannya, di antaranya: “Berusahalah menuju gelar sarjana dan magister. Ini akan menjadi cukup sulit bagimu, namun paksalah dirimu.” (Bersambung)

Sumber: https://www.latimes.com/nation/la-na-col1-terrorism-prison-radicalization-2019-story.html

Baca juga Berdamai dengan Kenyataan Mendamaikan Keadaan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *