27/08/2020

Meneladani Pertobatan Mantan Ekstremis

Ada pantun empat baris
Juara satu kompetisi nasional
Sungguh luar biasa sejarah hidup Pak Is
Memotivasi dan sangat emosional

Pantun disampaikan salah satu siswa SMA di Klaten setelah mendengar kisah Iswanto, mantan pelaku ekstremisme kekerasan, dalam Dialog Interaktif Virtual “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh” yang diselenggarakan AIDA, Senin (24/08/2020). Iswanto berbagi kisah hijrahnya dari kelompok kekerasan menuju gerakan perdamaian di hadapan 70 siswa dari empat sekolah di Klaten yaitu SMAN 1 Klaten, SMAN 2 Klaten, SMAN 1 Jatianom, dan SMAN 1 Karanganom.

Baca juga Tidak Menjadi Generasi Rebahan

Is, sapaan akrab Iswanto, mengungkapkan, dirinya bergabung dengan kelompok ekstremisme kekerasan karena terpengaruh oleh gurunya, Ali Ghufron dan Ali Imron, dua orang pelaku Bom Bali 2002. Ia terpengaruh dengan doktrin yang membenarkan kekerasan sebagai salah satu jalan untuk berjihad. Is lantas memutuskan bergabung dengan Jamaah Islamiyah (JI) saat usianya masih sangat belia;  19 tahun. “Selain ustadz saya, pergaulan saya dengan teman-teman saya juga memengaruhi pandangan saya. Dulu pengertian jihad bagi saya hanyalah perang,” ujarnya.

Karena hasrat jihadnya yang menggebu-gebu, Is terlibat langsung dalam aksi-aksi kekerasan di Poso dan Ambon pada tahun 1999-2000. Saat itu, dua daerah di Sulawesi Tengah dan Maluku tersebut sedang dilanda konflik komunal.

Baca juga Menyemai Virus Perdamaian di SMAN 1 Klaten

Pria asli Lamongan Jawa Timur ini menemukan “jalan kembali” ketika menerima surat wejangan dari gurunya, Ali Imron, yang sedang menjalani hukuman di penjara. Dalam surat itu, Ali menyuruhnya untuk berhenti melakukan kekerasan. Is lantas melakukan refleksi dan mengkaji ulang pemahaman yang selama ini diyakininya sebagai kebenaran. Perubahan Is semakin menguat, ketika ia bertemu dan menyimak langsung kisah-kisah korban bom. Para korban harus menanggung derita berkepanjangan padahal mereka tak bersalah sama sekali. Tak sekadar berkenalan, Is dan para korban terorisme saat ini bahu-membahu mengampanyekan perdamaian kepada khalayak luas.

Salah satu peserta kegiatan mengambil pelajaran dari kisah Is. Menurut dia, manusia harus berpikir kritis sebelum bergabung dalam suatu kelompok karena manusia diberi akal pikiran yang lebih dari makhluk lain. “Maka kita harus berhati-hati dalam beraktivitas. Ketika bergabung organisasi di-check seluk-beluknya. Jangan salah melangkah dan terburu-buru karena ke depan akan membawa dampak buruk bagi diri kita sendiri atau orang-orang di sekitar kita,” ujarnya. [LADW]

Baca juga Milenial Harus Berpikiran Terbuka

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *