07/12/2020

Generasi Milenial Duta Perdamaian

Aliansi Indonesia Damai- Membangun perdamaian harus melibatkan semua komponen bangsa, termasuk generasi milenial. Generasi ini dapat menjadi duta muda perdamaian.

Demikian disampaikan Dosen Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang, Nurus Shalihin, saat menjadi narasumber dalam acara bedah buku La Tay’as: Ibroh dari Kehidupan Teroris dan Korbannya yang digelar AIDA secara daring, Sabtu, (5/12/2020).

Shalihin meyakini, masa depan perdamaian Indonesia berada di pundak milenial. Oleh sebab itu, keterlibatan milenial dalam perdamaian di Indonesia sangat dibutuhkan. “Generasi muda, paling tidak di kalangan mahasiswa, merekalah nanti yang menjadi duta perdamaian,” katanya.

Baca juga Ketulusan dalam Pemaafan

Ia mengingatkan bahwa aksi-aksi kekerasan masih terus terjadi di Indonesia. Kasus terbaru adalah yang terjadi di Sigi Sulawesi Tengah. Kelompok Mujahidin Indonesia Timur melakukan pembantaian dan pembakaran terhadap sekelompok orang. “Sampai hari ini kekerasan atas nama agama, suku, atau atas nama apa pun masih terus berlanjut,” tuturnya.

Dalam konteks itu dia menekankan pentingnya generasi muda untuk lebih peduli dan memahami akar-akar kekerasan. Berdasarkan pengalamannya mengikuti kegiatan AIDA sebelumnya, Shalihin menyatakan bahwa perspektif korban harus menjadi kesadaran bersama. Pasalnya, korban adalah pihak yang paling menderita dan dirugikan dari aksi-aksi kekerasan.

Baca juga Dakwah Perdamaian sebagai Peran Keumatan Aisyiyah

Terlebih dalam persoalan terorisme, perspektif korban jarang ia temukan, baik dalam konteks akademis maupun sosial. Ia lantas mengajak para peserta kegiatan untuk merenungkan proses dehumanisasi yang dilakukan pelaku kepada korbannya.

“Saya mulai memahami bahwa persoalan kekerasan, apa pun bentuk dan latar belakangnya, adalah sesuatu yang sangat meruntuhkan kemanusiaan. Ada proses dehumanisasi yang dilakukan pelaku terhadap orang lain,” ucap alumni Pelatihan Pembangunan Perdamaian di Kalangan Tokoh Agama yang dilaksanakan AIDA secara virtual, Oktober silam.

Baca juga Membangun Perdamaian dengan Cerita

Dalam hemat Shalihin, aksi-aksi kekerasan tidak pernah memertimbangkan orang lain sebagai manusia, sehingga pelaku tidak merasa bersalah ketika menyakiti orang lain. “Ketika saya melakukan kekerasan, itu berarti menjadikan orang lain bukan bagian dari manusia. Maka dari perspektif mantan pelaku, dan terutama korban, kita diingatkan bahwa orang yang kita lakukan kekerasan juga manusia,” katanya.

Lebih jauh ia berharap generasi muda dapat mencari titik-titik persamaan di antara perbedaan-perbedaan yang ada. Menurutnya, selebar apa pun jurang perbedaan itu pasti ada titik kesamaannya. “Orang yang sering melakukan kekerasan seringkali mencari perbedaan,” ujarnya.

Baca juga Islam Rahmat Identik Perdamaian

Ia mengakhiri paparannya dengan mengajak para peserta -yang didominasi kalangan mahasiswa- untuk menghormati orang lain. Sebab menjaga kehormatan manusia adalah perintah agama dan menjadi salah satu cerminan keimanan seseorang. “Jika pikiran kita menempatkan orang sebagai manusia, maka di saat itu tindakan kekerasan dapat dicegah. Menghormati manusia pada harkat dan martabatnya adalah keimanan yang luar biasa,” katanya memungkasi.

Selain Shalihin, AIDA menghadirkan peneliti kajian terorisme UI Solahudin, mantan pelaku terorisme Kurnia Widodo, penyintas bom Kuningan 2004 Nanda Olivia Daniel, dan penulis buku La Tay’as Hasibullah Satrawi sebagai narasumber kegiatan ini. [AH]

Baca juga Ibroh dari Kehidupan Teroris dan Korbannya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *