25/11/2020

Membangun Perdamaian dengan Cerita

Aliansi Indonesia Damai- Pendekatan kisah dapat menjadi salah satu alternatif dalam membangun perdamaian. Cerita faktual tentang korban-korban kekerasan dapat menjadi inspirasi bagi publik tentang arti penting perdamaian.

Pernyataan ini diungkapkan oleh M. Rofiq, pengajar Sekolah Tinggi Islam Tarbiyah Al-Ishlah Bondowoso, Jawa Timur, dalam kegiatan bedah buku La Tay’as; Ibroh dari Kisah Teroris dan korbannya, yang digelar AIDA secara daring pada Minggu (22/11/2020). Buku karya Hasibullah Satrawi tersebut merupakan hasil pengalaman penulis selama beberapa tahun mendampingi puluhan korban terorisme di Indonesia.

Baca juga Islam Rahmat Identik Perdamaian

Menurut Rofiq, buku itu juga menunjukkan pentingnya pendidikan dalam rangka menangkal ideologi kekerasan. “Penguatan tarbiyah (pendidikan) dalam mengantisipasi paham-paham yang bisa merusak keragaman dan ekstremisme,” ujar alumni kegiatan Pelatihan Pembangunan Perdamaian di Kalangan Tokoh Agama yang digelar AIDA bulan lalu.

Dalam kesempatan tersebut, Hasibullah mengajak para pemuka agama untuk lebih mengedepankan pendekatan kisah dalam menyampaikan dakwah Islam di mimbar-mimbar khutbah. Dalam hematnya, Al-Qurán sebagai sumber utama ajaran Islam juga banyak berbicara tentang kisah-kisah umat terdahulu sebagai pembelajaran bagi generasi mendatang. “Dari pendekatan kisah, kita bisa melihat bahwa aksi terorisme hanya merusak kehidupan bersama. Terutama bagi para korbannya,” ujarnya.

Baca juga Ibroh dari Kehidupan Teroris dan Korbannya

Sementara ahli jaringan terorisme, Solahudin, menegaskan pentingnya peran aktif pemuka agama dalam menangkal paham-paham yang merusak dan mengancam peradaban. Saat ini kelompok ekstremisme kekerasan, khususnya yang berafiliasi dengan Islamic State of Iraq and Syam (ISIS) masih terus menyebarkan pemahamannya. “Kelompok ini menyebut dirinya sebagai anshar al-Dawlah (penolong daulah Islam) yang menggunakan agama sebagai basis legitimasi kekerasan,” ucapnya.

Salah seorang peserta berkomentar bahwa terorisme kerap diidentikkan dengan Islam. Padahal Islam tidak mengajarkan umatnya berbuat kerusakan di muka bumi. Dalam hemat Solahudin, jika menilik fakta di pelbagai belahan dunia, tidak bisa dikatakan bahwa agama tertentu sebagai penyumbang aksi teror. Ia mencontohkan aksi kekerasan di Amerika Selatan yang dikaitkan dengan Katolik karena dilakukan penganut teologi pembebasan. Sementara di Myanmar disangkutkan dengan Hindu.

“Problemnya adalah tidak banyak dikatakan secara terbuka dan tegas. Agar suara yang menyatakan terorisme bukan Islam itu suara mainstream,” katanya. [FS]

Baca juga Membangun Hidup Bersama dalam Damai

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *