Home Pilihan Redaksi Makna Nikmat dalam Musibah
Pilihan Redaksi - Suara Korban - 09/02/2021

Makna Nikmat dalam Musibah

Aliansi Indonesia Damai – “Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar.” Tak ada kalimat lain yang sanggup keluar dari bibir Sudirman Talib ketika mendapati dirinya bersimbah darah dan terkapar usai ledakan dahsyat yang terjadi di dekat posisinya berada. Ia belum menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Saat itu ia melihat banyak orang bergelimpangan. Kepulan asap hitam membumbung tinggi. Pagi menjelang siang yang awalnya cerah seketika gelap. Daun-daun berguguran. Serpihan gedung berserakan.

Peristiwa itu terjadi 17 tahun silam, tepatnya 9 September 2004. Sudirman kala itu adalah petugas keamanan di pintu selatan kantor Kedubes Australia kawasan Kuningan Jakarta Selatan. Ia hanya berjarak sekira 10 meter dari titik ledakan. “Saya tidak menyadari bahwa itu adalah ledakan bom. Saya merasa tiba-tiba ada yang menghantam dada saya. Saya merasa badan saya terbang dan terjatuh,” ujarnya dalam salah satu kegiatan AIDA.

Akibat rasa sakit yang tak terperi, Sudirman merasa ajalnya telah dekat. Ia lantas berserah diri sepenuhnya kepada Allah Swt. “Saat itu, Allah berikan ketenangan hati yang luar biasa. Saya merasa begitu ikhlas menjalani ujian hari itu. Saya berpikir mungkin hari itu hari terakhir saya. Saya ingat bahwa (manusia: red) pasti akan kembali pada Allah,” ujar Sudirman. 

Takdir berkata lain. Allah masih mengizinkannya hidup. Ia menjalani serangkaian perawatan intensif di rumah sakit selama 5 bulan. Beberapa kali operasi harus dijalani. Tak sedikit pun terlintas rasa putus asa dalam diri Sudirman. Ia merasa bahwa hanya karena kehendak Allah ia bisa merasakan kesakitan itu. “Allah memberikan kenikmatan batin yang luar biasa yang belum pernah saya rasakan sebelumnya selama saya hidup. Kepasrahan yang luar biasa yang saya alami,” ungkapnya

Bahkan, ketika mata kirinya harus diangkat karena infeksi akibat serpihan bom di dalamnya, pria kelahiran Bima ini tetap menganggap itu sebagai nikmat Allah yang harus dihadapinya. “Saya harus tetap optimis. Hidup harus berlanjut. Ini adalah bagian dari kehendak Allah,” katanya.

Trauma memang tak pernah betul-betul hilang, namun ia berkomitmen tak menyimpan dendam terhadap pelaku. Ia ingin melawan trauma yang ia rasakan dengan perasaan damai. Segala sesuatu yang terjadi dalam hidupnya ia coba untuk syukuri. Bahkan kini Sudirman turut serta menyuarakan perdamaian bersama mantan pelaku terorisme yang sudah bertobat. 

Ia juga tak pernah ingin keterbatasannya menjadi penghalang bagi dirinya untuk terus menggapai mimpi. Tekadnya untuk bisa membahagiakan orang tuanya di kampung halaman terus berkobar. Setelah segala sesuatu yang ia alami, ia masih bisa meraih gelar Sarjana Pendidikan pada tahun 2016. “Jangan sampai penderitaan, kemiskinan, kecacatan membuat kita terpuruk. Segera bangkit dan lakukan yang terbaik. Insya Allah akan sukses,” ujar Sudirman dengan mantap. (LADW)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *