Asep Wahyudi: Potret Ketangguhan Korban Bom Kuningan 2004
Oleh Linda Astri Dwi Wulandari
Magister Humaniora Universitas Indonesia
Pagi itu langit Jakarta sangat cerah. Orang-orang mulai beraktivitas seperti biasa. Ada yang bergegas mencari nafkah, ada pula yang berangkat menunutut ilmu. Jakarta memang kota yang sibuk. Begitu pula yang nampak di sepanjang Jalan Rasuna Said. Kawasan yang dipenuhi gedung-gedung tinggi itu tak pernah surut dari lalu lalang kendaraan. Tak pernah ada yang menduga bahwa pagi yang begitu cerah, berubah seketika menjadi mendung dan hujan air mata. Kamis pagi, 9 September 2004, bom dahsyat meledak di Kawasan Kedutaan Besar Australia. Peristiwa itu kini lebih dikenal dengan sebutan Peristiwa Bom Kuningan.
Memutar Kembali Ingatan 17 Tahun Lalu
Pukul 10.30 pagi, beberapa petugas keamanan Kedutaan Besar Australia nampak berjaga di depan Gedung Kedutaan. Petugas kepolisian dari Direktorat Pengamanan Objek Vital Polda Metro Jaya juga bersiaga. Sebuah mobil box tiba-tiba masuk ke area depan Gedung Kedutaan. Petugas keamanan ada yang mencoba untuk menghampiri mobil box tersebut, namun nahas, dalam hitungan detik, mobil box dengan muatan ratusan kilogram bom itu meledak dengan dahsyat.
Baca juga Ketika Penjara Justru Membuat Mantan Teroris Menjadi Lebih Ekstrem
Asap membumbung tinggi, kaca-kaca gedung runtuh, bangunan-bangunan hancur. Suara erangan minta tolong terdengar di mana-mana. Bukan hanya gedung Kedutaan Besar Australia yang porak poranda, namun juga gedung-gedung tinggi di sekitarnya. Kendaraan yang melintasi kawasan tersebut juga turut terbakar. Banyak darah, banyak air mata, dan bau gosong. Terhitung setidaknya 9 korban meninggal, dan lebih dari 150 orang mengalami luka-luka. Ada yang kehilangan ayah, ada yang kehilangan pasangan hidup, ada yang kehilangan anaknya, ada yang kehilangan anggota tubuh, ada pula yang kehilangan mimpi-mimpinya. Hari itu bangsa Indonesia berduka.
Kisah Penderitaan Korban
Banyak kisah pedih datang dari lorong-lorong rumah sakit tempat para korban bom berusaha diselamatkan. Salah satunya adalah Asep Wahyudi, seorang anggota Direktorat Pengamanan Objek Vital Polda Metro Jaya yang menjadi korban dahsyatnya ledakan. Ia adalah salah satu petugas yang hendak menghampiri mobil box pembawa bom.
“Waktu itu saya kira akan terjadi tabrakan, makanya saya hampiri mobil box nya,” kata Asep saat berbagi kisah di salah satu kegiatan AIDA. Baru beberapa langkah ia berjalan, ledakan dahsyat pun terjadi. Asep terlempar ke selokan. Ia mencoba merangkak dan berteriak meminta tolong, namun tak ada yang mendengar. Pandangan Asep menjadi gelap. Ia tak sadarkan diri.
Baca juga Beban Berlapis Korban Terorisme
Asep mendapatkan perawatan intensif selama dua minggu di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta sebelum akhirnya dilarikan ke rumah sakit di Singapura. Asep tak sadarkan diri selama 9 bulan ketika dirawat di Singapura. Ketika sadar, ia justru mengalami amnesia. Butuh waktu 2 tahun untuk menyembuhkan ingatannya. Bahkan ia sempat lupa bahwa ia adalah seorang polisi. Asep tak lagi bisa menjalani hidupnya seperti sedia kala. Untuk bernafas saja, ia harus mendapatkan sokongan selang oksigen. Saraf pernafasan Asep pada bagian trakea terganggu dan membuatnya sering tersengal-sengal saat berbicara.
“Sampai saat ini saya mengalami cacat seumur hidup, mata saya nggak bisa lihat satu, telinga saya nggak bisa denger satu. Jalan saya jadi pincang, nggak bisa lurus,” kata Asep sambil terbata-bata saat membagi kisahnya di salah satu kegiatan AIDA.
Dampak bagi Keluarga Korban
Bukan hanya keterbatasan fisik atau menjadi penyandang disabilitas yang harus diterima Asep. Ia juga dua kali gagal menjalani bahtera rumah tangga. “Saya dua kali mengalami kegagalan rumah tangga karena istri saya tidak menerima kondisi saya seperti ini. Dua kali menikah gagal. Yang kedua kali ini, isteri saya juga kabur karena fisik saya tidak normal seperti orang lain,” katanya.
Baca juga Memaknai Pengayoman Dalam Pemasyarakatan
Penderitaan tak hanya dirasakan Asep, tapi juga keluarga Asep. Beruntung keluarga Asep tak henti memberikan suntikan semangat agar Asep bisa terus kuat dan bertahan di balik segala keterbatasan fisiknya saat ini. Kakak perempuan Asep, Teti, selalu mendampingi Asep di masa-masa terpuruknya.
“Untuk melangsungkan hidup saja, Asep susah. Karena rumah tangga tidak hanya butuh tuntutan materi. Saya sebagai keluarga merasa kasihan, sudah 16 tahun saya mengurus Asep dengan kondisi yang ia alami. Sebagai kakak saya selalu merasakan penderitaan Asep,” ujar Teti tak kuasa menahan air matanya saat berbagi kisah di acara AIDA.
Mengubur Impian
Bertahun-tahun, Teti dengan sabar mendukung Asep. Ia mengorbankan jiwa dan raganya untuk membuat Asep bisa terus memiliki semangat hidup. Teti mengaku dalam diri Asep tentu saja ada kemarahan dan rasa tidak terima dengan kondisi yang dialaminya. Ketika menjadi korban, Asep baru berusia 20 tahun. Cita-citanya untuk berkarier di Kepolisian masih sangat tinggi. Ledakan itu bukan hanya membuat Asep kehilangan tubuhnya yang gagah, tapi juga impiannya. Sejak kecil, Asep memang bercita-cita sebagai Polisi.
Baca juga Menggelorakan Ketangguhan
Untuk mengembalikan semangatnya, kini Asep ditugaskan di Polsek Sumedang Selatan. “Setidaknya hal tersebut bisa menghibur dirinya, bahwa dia seorang aparat. Karena saat kejadian kan Asep masih bujangan. Masih banyak harapan yang dicita-citakan. Tapi sejak kejadian itu harapan-harapannya pupus diganti dengan penuh derita dan perjuangan,” ujar Teti.
Di Polsek Sumedang Selatan Asep ditugaskan pada bagian administrasi. Meski dekat dengan rumahnya, setiap berangkat ke kantor ia harus naik becak motor karena kakinya tak bisa digunakan berjalan dengan sempurna. Kondisi fisiknya juga masih sering drop. Hingga 17 tahun berlalu, pengobatan dan perawatan medis masih harus ia jalani. Bahkan tanpa alat bantu pernafasan, nafas Asep masih sering tersengal-sengal.
Berdamai dengan Luka
Meski derita fisik dan psikis masih dirasakan Asep hingga kini, harapan dalam diri Asep terus menyala. Bukan hanya keluarga, teman-teman sesama korban Bom Kuningan juga terus mendukung Asep. Asep terus melanjutkan hidup. Ia masih mau mengabdikan dirinya untuk bangsa.
Baca juga “Ketangguhan Mental Para Penyintas dan Mantan Pelaku Terorisme”
Asep berharap tak akan ada lagi yang merasakan penderitaan seperti yang ia rasakan. “Jangan terulang lagi kekerasan ulah mereka, lihatlah saya korbannya. Untuk para teroris, insaf lah!! Inilah saya, seorang korban yang akhirnya mengalami disabilitas seumur hidup. Menderita seumur hidup saya. Saya sangat menyayangkan karena mereka berbuat zalim kepada sesama manusia,” kata Asep.
Asep hanyalah salah satu korban. Masih banyak korban lain akibat dahsyatnya ledakan Bom Kuningan. Penderitaan dan luka mereka adalah luka bangsa, luka seluruh umat manusia. Duka mereka adalah gambaran bahwa peristiwa terorisme tak pernah sama sekali membawa pada kebaikan, tetapi justru mengakibatkan penderitaan buat orang-orang yang tidak berdosa.
Baca juga Menghargai Kearifan Budaya