23/11/2021

Kisah Inspiratif Korban Bom Bali 2002
I Gede Budiarta: Bangkit Melawan Trauma untuk Menggapai Kepercayaan Diri

Aliansi Indonesia Damai – Terorisme selalu lekat dengan kehilangan, kehancuran, dan penderitaan bagi para korbannya. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, banyak korban terorisme yang justru mengalami penderitaan berlipat akibat peristiwa nahas yang menimpanya. Begitu pula yang dialami oleh I Gede Budiarta, korban Bom Bali I yang terjadi pada 12 Oktober 2002 silam.

Gede, begitu sapaan akrabnya, masih berusia 23 tahun saat itu. Ia bekerja sebagai pelayan di Sari Club. Tak ada firasat apa pun menyertainya saat berangkat bekerja. Malam itu, seperti biasa Gede bertugas menyiapkan minuman untuk tamu-tamu yang berdatangan. Malam semakin larut, pengunjung justru kian banyak. Sekira pukul 23.00, tiba-tiba terdengar suara ledakan dahsyat. Gede berpikir ledakan bersumber dari gardu listrik. Tamu dan karyawan di Sari Club berhamburan keluar karena penasaran. Rupanya ledakan tersebut berasal dari Paddy’s Pub yang berada di sebelah selatan Sari Club.

Baca juga Tugas Manusia Beribadah, bukan Merusak

Saat pengunjung berhamburan melihat yang terjadi di Paddy’s Pub, ledakan kedua terjadi. Gede merasa bahwa ledakan itu tak jauh dari tempatnya berdiri. Semuanya terlihat gelap dan ia tak lagi bisa mengingat apa pun yang terjadi. Dengan bersimbah darah, Gede tak sadarkan diri.

Duka keluarga

Malam itu Bali terasa begitu mencekam. Dua ledakan yang terjadi mengakibatkan sedikitnya 202 nyawa terenggut, dan ratusan lainnya mengalami luka-luka. Gede adalah satu di antara korban dengan luka yang berat. Keluarga Gede di Singaraja mendapati kabar bahwa anaknya menjadi korban ledakan tabung elpiji di tempatnya bekerja. Keluarga belum mengetahui bahwa Gede menjadi korban ledakan bom.

Mereka bergegas mencari angkutan umum untuk mengetahui kondisi Gede. Sesampainya di Terminal Ubung, keluarga dihadang oleh anggota Polri untuk ditanya tujuan kepergian mereka. Dari situlah keluarga baru mengetahui bahwa yang terjadi di lokasi kerja Gede bukanlah ledakan elpiji melainkan ledakan bom. Seketika tangis menyeruak. Keluarga kaget, panik, dan takut. Meski demikian mereka tetap menyimpan harap dan doa agar Gede selamat.

Baca juga Berempati kala Kritis

Keluarga berinisiatif mencari Gede di Rumah Sakit Sanglah Denpasar. Di sana sudah banyak orang  berkerumun mencari sanak keluarga yang dibawa menggunakan truk sampah dari lokasi kejadian. Beberapa terlihat sudah meninggal dan dibungkus dengan plastik kuning.  “Bapak saya mengorek-orek mencari di truk tersebut, sampai dia mau putus asa. Sampai subuh saya belum ditemukan karena begitu banyak mayat. Ada yang putus kaki, tangan, semua dijadikan satu dalam truk. Tapi Bapak tidak berhenti, tetap mencari sampai akhirnya saya diketemukan,” ujar Gede dalam salah satu kegiatan AIDA.

Gede ditemukan bapaknya di UGD dengan kondisi tubuh penuh luka bakar. Baju dan celana sudah terbakar semua. Keluarga yakin bahwa orang tersebut adalah Gede karena melihat logo celana dalam yang ia pakai. Kondisi Gede sangat memprihatinkan. Bahkan ia sempat diletakkan bersama puluhan jenazah korban lantaran diperkirakan sudah meninggal dunia. “Keluarga berharap saya bisa diselamatkan meski mereka sadar bahwa harapan itu sangat tipis,” katanya.

Luka parah

Gede baru sadarkan diri setelah 10 hari dirawat di Rumah Sakit Sanglah. Ia mendapati tubuhnya penuh perban dan merasakan panas di sekujur tubuh. Ia melihat di sekelilingnya banyak pasien berteriak kesakitan. “Saya lihat tubuh sendiri, luka bakar semuanya. Kedua kaki saya, tangan kiri, dada kiri di bawah ketiak, bibir robek, kepala robek, telinga mendengung, bahu kiri tidak bisa digerakkan karena retak,” kata Gede.

Dari informasi dokter, ia baru mengetahui bahwa ia menjadi korban bom. Kedua tangan dan kakinya mengalami luka bakar. Besi pagar tanaman sempat menancap di paha kirinya sedalam 5 sentimeter. Saat itu Gede hanya bisa bersyukur karena masih selamat.

Baca juga Penyintas Bom Kuningan: Saya Terima Takdir Saya

Gede menjalani perawatan selama 2 bulan di Rumah Sakit Sanglah. Ia harus menjalani operasi kulit sebanyak 6 kali untuk menyembuhkan luka bakarnya dan 1 kali operasi telinga untuk mengembalikan pendengarannya. Meski demikian operasi yang ia jalani ternyata belum bisa membuat kondisinya pulih. Gede harus dirujuk ke salah satu rumah sakit di Australia, untuk menjalani operasi pada telinganya.

“Saya dikontrol oleh dokter yang di Australia. Dikeringkan luka saya, 2 minggu kemudian baru diambil tindakan operasi lagi. Setelah itu dicek lagi, hasilnya sudah bagus. Dibuka perban, tetap tiap seminggu dikontrol. Sampai sebulan baru dipastikan hasil operasinya bagus. Cuma, urat-urat saraf dari telinga yang kecil-kecil seperti rambut dan salurannya ke otak sudah rusak. Pendengaran 95 persen, tidak normal. Sekarang cuma satu saja yang di kanan berfungsi normal,” ujar pria kelahiran 6 Maret 1977 ini.

Dimanfaatkan oknum

Ketika Bom Bali terjadi pada 2002, negara belum hadir memberikan bantuan, lembaga yang menaungi korban pun belum terbentuk. Saat itu regulasi tentang korban memang belum ada. Korban Bom Bali dibantu oleh pihak relawan, baik dari dalam negeri atau pun luar negeri. Gede termasuk di antara korban yang mendapatkan bantuan tersebut.

Tidak adanya regulasi yang jelas membuat banyak pihak hadir dengan berbagai kepentingan. Gede merasa bahwa dia justru dieksploitasi untuk keuntungan pihak tertentu. Usai menjalani perawatan di Australia, lembaga yang selama ini ikut memantau kondisi Gede mengajak salah satu produser stasiun televisi swasta mendatanginya. Mereka bermaksud mengambil data diri Gede untuk pembuatan film dokumenter. Karena kondisinya yang masih cukup parah, Gede menolak permintaan tersebut. Namun sang produser bersikeras sehingga tidak ada titik temu.

Baca juga Inspirasi Pemaafan Penyintas

“Saya jengkel karena merasa dipermainkan. Saya ini korban kok malah dimanfaatkan untuk dijadikan cerita film. Itu kan masih ada beban. Saya masih luka dan harus berobat intensif. Saya berterima kasih mau dibantu, tapi bukan begitu caranya,” ungkap Gede mengenang kemarahannya.

Sejak saat itu Gede memutuskan untuk menghilang dari jangkauan media massa, termasuk putus kontak dengan rekan-rekannya sesama korban. Ia memilih lari dan menghadapi lukanya sendiri. Karena trauma dengan media massa, ia bahkan tak pernah hadir di setiap acara peringatan peristiwa Bom Bali.

Tidak mendapatkan bantuan pemerintah

Karena pilihannya untuk putus kontak dengan rekannya sesama korban, Gede mencoba bangkit dengan dukungan keluarganya. Dua tahun setelah proses pemulihan, Gede kembali bekerja. Ia mencoba berwirausaha hingga kini menjadi petugas keamanan di salah satu perusahaan di Denpasar.

Gede mengaku selama ini tak pernah mendapat bantuan apa pun dari pemerintah. Pemberitaan media massa tentang bantuan-bantuan kepada korban bom justru menimbulkan stigma negatif dari masyarakat. Ia sempat mendapat cibiran dari beberapa orang di lingkungan dekatnya. “Banyak orang bertanya, atau tetangga di kampung bertanya, kalau korban bom kan dapat santunan, dapat uang banyak, dan lain-lain. Padahal saya nggak dapat apa-apa. Gimana, saya nggak tahu jalur. Saya nggak tahu siapa-siapa. Siapa yang harus saya hubungi?” ucapnya.

Baca juga Membalas Kebencian dengan Kasih (Bag. 1)

Setelah 19 tahun menghilang, Gede baru kembali aktif bergabung dengan komunitas korban Bom Bali, Isana Dewata, pada tahun 2020. Gede mengaku berkomunikasi dengan salah satu korban melalui media sosial. Ia yang menarik dan memandu Gede kembali bertemu dengan sesama korban Bom Bali. Perlahan Gede mencoba menghilangkan traumanya dari media dan memupuk kembali rasa percayanya pada orang lain meski tetap harus waspada.

Kini Gede berusaha menatap ke depan. Ia terus berusaha bangkit dan mengikhlaskan musibah yang menimpanya. “Miris sebenarnya kalau banyak cerita. Kalau bicara jelek itu kan nggak etis, dan nggak ada untungnya. Semua akan kembali kepada Tuhan,” tutur Gede.

Baca juga Membalas Kebencian dengan Kasih (Bag. 2-Terakhir)

Gede tak hanya mengalami luka fisik yang tak dapat disembuhkan. Ia sempat dimanfaatkan kepentingan pihak lain, sempat dicemooh, dan menjalani hari-harinya dengan berat. Trauma berhadapan dengan pihak lain pun sempat ia rasakan. I Gede Budiarta adalah potret bahwa korban terorisme seringkali mengalami reviktimisasi (dikorbankan kembali) oleh pihak-pihak yang tidak memiliki sensitivitas terhadap kebutuhan dan apa yang mereka rasakan.

Baca juga Kebangkitan dan Ikhtiar Memaafkan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *