18/01/2022

Sepenggal Kisah Penyintas Bom Thamrin, Deni Mahieu:
Mensyukuri Kesempatan Hidup Kedua

Enam tahun telah berlalu. Awal tahun 2016 menjadi kenangan suram bagi bangsa Indonesia. 14 Januari 2016, ledakan bom dan aksi baku tembak terjadi di kawasan Jalan Thamrin, Jakarta. Aksi teror ini diawali aksi bom bunuh diri di kedai kopi Starbucks, Theater Djakarta. Kejadian itu terjadi sekitar pukul 10.39 WIB. Kedai kopi itu hancur.

Selang beberapa detik kemudian, ledakan kedua terjadi di pos polisi di dekat Gedung Sarinah. Ledakan ini lebih besar dari ledakan sebelumnya. Tak lama kemudian terjadi aksi penembakan yang diarahkan pada polisi. Baku tembak antara polisi dan pelaku tak terelakkan, bahkan pelaku sempat melempar beberapa granat rakitan. Suasana tegang dan mencekam. Korban berjatuhan. Ada duka, darah, dan air mata. Aksi melawan kemanusiaan tersebut menyebabkan sedikitnya 4 orang meninggal dan melukai 24 orang lainnya. Salah satu korban luka saat itu adalah Aiptu Deni Mahieu.

Kejadian Memilukan

Pagi itu Deni menghadiri agenda gabungan personil di kawasan Bundaran Patung Kuda. Setelah selesai, sekitar pukul 10.30 WIB, Deni langsung bergegas ke arah kawasan Bundaran HI menggunakan sepeda motor dinasnya. Kebetulan, Deni memang rutin ditugaskan untuk melakukan patroli dari kawasan Harmoni sampai ke Bundaran Hotel Indonesia (HI). “Sebagai polisi lalu lintas, saya tidak hanya mengawasi kendaraan bermotor saja. Saya juga mengamati pejalan kaki, pos polisi, dan traffic light,” katanya.

Deni sempat merasa ada yang janggal ketika berhenti di traffic light simpang Plaza Sarinah. Ia melihat pintu pos polisi di lokasi itu terbuka. Padahal selama bertugas di kawasan tersebut, sangat jarang pintu tersebut terbuka. Deni mencoba menghalau perasaannya namun, setibanya di kawasan Bundaran HI, Deni memutuskan untuk putar balik dan mengecek pos polisi yang ada di Sarinah itu.

Baca juga Afirmasi Diri: Kisah yang Menjelma Makna dan Kata-kata

Sesampainya di sana, Deni segera masuk ke dalam pos tersebut. Ia mengecek sekeliling dan menemukan sejumlah barang yang mencurigakan, salah satunya ransel yang berada di sudut ruangan. Tak lama berselang bom meledak di kedai kopi Starbucks yang lokasinya tak jauh dari pos polisi. Deni terkejut. Ia kemudian berlari ke arah lokasi ledakan. Ia melihat korban berjatuhan dan terpental dari kedai kopi itu.

Deni memutuskan kembali dan bertahan di pos untuk memantau yang sebenarnya terjadi. Ketika Deni sedang berusaha mengontak rekannya, bom kedua meledak tepat di tempat Deni berpijak. “Jadi mungkin di pos itu sudah disetel (bom) sama teroris ini. Saya kontak pesawat radio. Pencet pertama saya lapor ke rekan, pencet kedua saya kesetrum. Begitu setrumnya hilang, terdengar bunyi tuuut… tak… tak.. duuuuuarrr. Meledak. Posisi saya membelakangi ransel tadi,” tutur Deni menceritakan kisah itu.

Baca juga Berdakwah di Era Digital

Deni mengalami luka disekujur tubuhnya. Darah bercucuran keluar dari telinganya. Kaki dan paha nya sobek. “Di kepala kayak ada bintang-bintang semua, suara yang masuk ke telinga kayak langsung di otak muter seperti di-blender, di pikiran saya, duh ancur deh otak saya,” katanya. Meski terluka parah, Deni bersyukur ia tak kehilangan kesadaran. Deni sama sekali tak berteriak minta tolong. Ia tidak tahu apa yang ia rasakan. Bahkan ia masih sempat mengambil beberapa paku yang menancap di tubuhnya. 10 menit kemudian ia baru mendapatkan pertolongan dan dibawa ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Ia menjalani perawatan intensif selama 1 bulan.

Kesempatan Hidup Kedua

Tak banyak orang yang bisa selamat dari ledakan bom. Apalagi, posisi Deni saat itu sangat dekat dengan sumber ledakan. Untuk itulah, Deni merasa ia harus banyak bersyukur. Ia merasa telah  berikhtiar agar selamat dari bahaya. Bahkan sebagai polisi ia saat itu sedang berupaya untuk waspada dan menjamin keamanan masyarakat di sekitar situ. “Ya, ini namanya takdir Tuhan, saya sudah berdoa dan berusaha untuk selamat. Alhamdulillah, saya dikasih bom dan saya hidup,” ujarnya penuh rasa syukur.

Deni menganggap peristiwa nahas yang menimpanya adalah sebuah kenikmatan yang luar biasa sebab ia diberi kesempatan yang kedua untuk hidup. Ia mengaku telah ikhlas dan ridho atas segala ketetapan Allah. Ia ingin menghabiskan sisa hidupnya saat ini dengan banyak beribadah. “Apapun yang terjadi di kehidupan ini harus sabar dan ikhlas. Insya Allah kita akan lebih baik dalam kehidupan ini. Ridho sama Gusti Allah saja, kalau ada sisa kehidupan, isi yang baik-baik saja.

Tak Ada Dendam

Meski enam tahun telah berlalu, luka dalam tubuh Deni tidak pernah benar-benar hilang. Pendengarannya masih sering terganggu. Ia masih sering merasa nyeri dan kesemutan pada bagian tangan dan kakinya. Meski demikian ia tak pernah mau menyimpan dendam. “Itu urusannya sama Allah. Manusia hidup untuk beribadah, yang merusak tanggung resiko sendiri,” katanya.

Deni memilih untuk memaafkan pelaku. Bahkan di tahun 2018, saat persidangan, Deni bertemu dengan Aman Abdurrahman, otak di balik peristiwa bom yang telah membuatnya menderita. “Saya peluk dia. Saya katakan bahwa seharusnya bukan saya yang dihancurkan karena saya bukan musuhnya. Saya biarkan saja orang jahat ke saya, yang penting saya tidak jahat ke orang lain,” ucapnya. Deni juga merasa prihatin terhadap para penyintas terorisme. Ia berharap mereka bisa diberikan kesabaran, sebab kelak perbuatan yang menimpa mereka juga pasti akan mendapat balasan yang setimpal. “Saya doain semuanya diberikan kekuatan untuk kemudahan jalan yang terbaik, “ kata Deni.

Baca juga Mengenal Simbol-Simbol Perdamaian

Kini Deni masih menjalani harinya dengan bertugas di Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya. Ia ingin mengabdi dengan sebaik-baiknya sebelum pensiun di tahun 2025. Ia ingin menjalani hari-harinya dengan banyak beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Ia perlu banyak mengucap syukur atas kesempatan hidup yang dianugerahkan padanya.

Baca juga Membaca Ayat-Ayat Kauniyah Perdamaian

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *