16 Tahun Bom Bali 2005: Kesakitan Menuju Kebangkitan
Hari ini, tepat 16 tahun yang lalu, Indonesia berduka. Tiga serangan bom meledak di Bali, satu bom meledak di Kawasan Kuta dan dua lainnya di Pantai Jimbaran. Sedikitnya 26 orang kehilangan nyawa, dan ratusan lainnya terluka. Meski 16 tahun telah berlalu, luka-luka itu masih tetap membekas hingga hari ini. Para korban harus menanggung penderitaan, meski tak sedikit pula yang telah bangkit dari keterpurukan.
Petang itu, Kawasan Jimbaran mulai ramai pengunjung. Pariwisata Bali mulai pulih pascaserangan bom pada tahun 2002. Menega Café, restoran seafood di Jimbaran juga banyak didatangi wisatawan yang ingin menikmati indahnya petang Pulau Dewata. Sekitar pukul 19.00 WITA, I Ketut Suartana (Ketut), Ni Made Kembang Arsini (Kembang), dan Ni Kadek Ardani (Kadek), para pelayan Menega Café, sedang sibuk melayani para tamu.
Baca juga Tangis Ketangguhan Penyintas
Ketut sedang melayani tamu asal Perancis yang hendak memesan minuman. Kembang sedang menyajikan makanan, dan Kadek sedang mengambil makanan. Tiba-tiba suara ledakan terdengar sangat keras. Suasana berubah gelap dan porak- poranda.
“Tubuh saya terhempas. Saya terjatuh di pasir. Suasana begitu gelap. Lilin-lilin semua hancur. Meja banyak yang hancur. Banyak teriakan yang saya dengar,” ujar Ketut dalam salah satu kegiatan AIDA.
Ketut berusaha merangkak untuk menyelamatkan diri. Tiba-tiba ledakan kedua terjadi. Bersumber dari Nyoman Café yang berada sekitar 25 meter dari Menega Café. Ketakutan Ketut bertambah. Ia berusaha meminta pertolongan.
Baca juga Mengelola Amarah
Sementara itu, Kembang mengira suara berasal dari tembakan pistol. Apalagi tangan kanannya terasa sakit dan mengeluarkan darah. Baru setelah orang-orang di sekitar berteriak “bom, bom, bom”, ia mulai menyadari bahwa terjadi ledakan bom. Di tengah kepanikan yang melanda, Kembang melempar semua peralatan pramusaji yang dipegangnya. Dengan kondisi tangan yang terluka dan membengkak, ia berteriak meminta tolong. Kembang makin panik karena telinganya mendengung.
Kepanikan juga dirasakan oleh Kadek. Ketika sedang mengambil makanan dan minuman untuk tamu, ia mendengar suara ledakan yang begitu keras. Seketika, darah segar mengucur dari pipinya, bajunya juga robek di beberapa bagian. Saat pikirannya masih dipenuhi pertanyaan tentang sumber ledakan sembari memerhatikan kondisi di sekelilingnya, ia merasa ada seorang bocah kecil tanpa busana menggaet tangannya dan mengajaknya menjauhi titik ledakan. Keduanya beranjak menuju kasir restoran. “Untuk menghindari ledakan, manajer restoran lantas menarik saya ke parkiran. Saat itulah Ledakan kedua pun terjadi,” ujar Kadek mengenang.
Baca juga Beragama yang Bermaslahat
Kadek sempat bertanya kepada manajernya mengenai bocah tanpa busana itu, tetapi dikatakan tidak ada anak kecil di sekitar tempat tersebut. Kadek merasa bersyukur telah dibantu sosok bocah yang tak dikenalnya. Jika tidak menjauhi titik ledakan, besar kemungkinan Kadek terkena ledakan kedua.
Petang itu, Pantai Jimbaran yang indah berubah menjadi kelam. Teriakan terdengar dari banyak sudut. Ketut, Kembang, dan Kadek pun ikut meronta berharap ada yang menolong. Beruntung, ketiga orang tersebut bisa diselamatkan dan akhirnya dilarikan ke rumah sakit terdekat.
Derita korban
Rumah Sakit Sanglah Denpasar menjadi rujukan banyak korban saat itu. Di sanalah tangisan dan kesakitan saling bersahutan. Ketut harus dirawat selama hampir satu bulan. Hasil pemeriksaan medis menunjukkan, gotri menancap di tulang kaki dan perut. Bagian dalam telinganya juga robek akibat kencangnya suara ledakan.
Baca juga Beragama dengan Aman
Sementara untuk mengambil gotri yang menancap di tubuhnya, Ketut harus menjalani beberapa kali operasi. Operasi pertama dilakukan untuk mengambil gotri di kakinya. Setelah operasi kaki berhasil, Ketut menyiapkan diri untuk operasi pengambilan gotri di perut. Sayangnya, tindakan tersebut urung terlaksana karena terlalu berisiko.
“Sebenarnya kejadian yang saya alami ini adalah titik balik kehidupan saya. Akhirnya saya sebagai seorang ayah yang menjadi tulang punggung tidak bisa seperti biasa. Istri harus bekerja lagi. Saya bersyukur, keluarga dan anak mengerti dan support,” ungkapnya.
Usai 3 bulan menjalani proses pemulihan, Ketut memaksakan diri untuk bekerja kembali. Beruntung, pihak Menega Café, tempatnya bekerja, memahami kondisi fisiknya. Melihat Ketut berjalan terpincang-pincang, pihak manajemen menempatkannya di posisi kasir.
Baca juga Mengarifi Konflik
Sementara itu, Kembang harus menjalani proses operasi untuk mengangkat serpihan gotri di tubuhnya. Dokter berhasil mengangkat 2 buah gotri yang bersarang di tubuh Kembang. Tak kurang dari 13 jahitan harus ia dapatkan. Setelah 5 hari di rumah sakit, Kembang diperbolehkan untuk pulang dan rawat jalan. Hari-hari setelahnya, kehidupan Kembang berubah. Ia tak bisa lagi bekerja seperti biasanya karena harus menjalani pemulihan.
Selama masa pemulihan, Kembang secara konsisten belajar menggerakkan tangannya. Sayangnya, tangan Kembang sudah tidak bisa sekuat seperti dulu. Tangannya juga sering merasa kesemutan. Bukan hanya itu, Kembang pun mengidap trauma. Ia selalu takut ketika mendengar suara yang keras, terutama suara kembang api. Ia merasa terpukul atas musibah yang menimpanya dan sempat merutuki nasib, mengapa harus dia yang menjadi korban pengeboman.
Baca juga Meneladani Penyintas Bom
Hal serupa juga dialami Kadek. Dari hasil pemeriksaan, banyak serpihan yang masuk dalam tubuh Kadek. Namun saat itu dia tak kunjung menjalani operasi, padahal tubuh bagian kirinya sudah mati rasa. Baru pada hari keempat, seorang dokter dari Singapura menawarkan bantuan dan akan bertanggung jawab melaksanakan operasi pada korban bom Bali 2005.
Pascaperistiwa itu, berbulan-bulan Kadek merasa takut dan mengurung diri karena trauma yang amat dalam. “Setelah kejadian teror bom itu, saya mengurung diri, tidak mudah bergaul, tidak terbuka sama orang, takut keramaian, takut bepergian. Setiap pagi saya merasa ketakutan meskipun berada di dalam rumah,” ujarnya.
Baca juga Penyintas Bom Melampaui Ketangguhan
Tak hanya itu, menurut Kadek, kehidupannya makin sulit ketika harus pulang-pergi ke rumah sakit dan mengonsumsi obat setiap hari. “Sepuluh bulan saya menjalani rawat jalan, lima bulan pulang-pergi rumah sakit, setiap hari minum obat. Saya juga menjalani konseling-konseling juga,” tutur Kadek.
Kebangkitan Para Korban
Penderitaan itu hingga kini masih terus mereka rasakan. Masih ada Gotri bersarang di perut Ketut. Kaki dan telinganya pun tak kembali normal seperti sedia kala, namun hidup harus tetap berlanjut. Ia memilih untuk bangkit. Ia meyakinkan dan memberanikan diri untuk tetap menjalani hidup dengan baik, mengingat tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga.
Pengalaman pahit membuat Ketut terus menyimpan harapan agar kejadian yang menimpanya tak akan pernah terulang kembali. “Untuk ke depannya saya berharap ada kedamaian dan tak ada lagi kejadian seperti itu. Semoga pelaku tidak ulangi lagi apa yang mereka perbuat. Tidak ada gunanya saling menyakiti,” katanya.
Baca juga Menghargai dan Mengasihi Sesama
Sementara tangan Kembang Arsini tak bisa kembali normal. Namun seiring waktu, Kembang menyadari bahwa segala sesuatu yang telah terjadi harus diikhlaskan. Keluarganya tak berhenti mendukungnya agar terus bangkit. Kembang pun terus berusaha menerima keadaan. Kini, bersama AIDA, Kembang menjadi duta perdamaian untuk membagikan kisahnya pada orang lain. Cobaan adalah pemberian Tuhan, namun ia memilih untuk tidak menyerah dengan keadaan. Ia terus melanjutkan hidup dan kembali bekerja seperti biasa.
Dalam banyak kesempatan ia selalu berpesan, “Kita harus maafkan mereka yang telah menyakiti kita, agar kita bisa berdamai dengan apa yang terjadi di masa lalu. Balaslah kekerasan dengan cara terus menebar kebaikan,” katanya.
Bukan hanya Ketut dan Kembang, Kadek pun hingga saat ini masih sering merasakan nyeri pada bagian tubuhnya yang terkena serpihan bom. Bahkan, di tahun 2019 lalu, ia kembali melakukan operasi di lengan kirinya. Kadek tak pernah menyangka harus menanggung dampak yang berkepanjangan akibat ledakan malam itu.
Baca juga Efek Beruntun Kekerasan
Kadek menjadikan peristiwa itu sebagai pengalaman untuk bangkit dan kembali berjuang melanjutkan hidup. Ia berterima kasih atas bantuan dari pihak-pihak yang terlibat dalam membantu para korban. Kadek pun memilih berdamai dengan keadaan. Ia mengaku tabah, ikhlas, dan berserah kepada Tuhan dalam menghadapi segala musibah yang menimpanya.
Kadek tidak ingin kekerasan yang menimpa dirinya terjadi terhadap orang lain. Bersama AIDA, Kadek aktif mengampanyekan perdamaian ke khalayak luas untuk berbagi inspirasi dan motivasi ketangguhan. Hal itu ia lakukan demi terciptanya tata kehidupan yang damai, aman, dan tenteram di Indonesia.
Luka itu masih ada, sakitnya masih terasa, namun bangkit menjadi pilihan mereka.
Baca juga Membangun Persaudaraan