20/07/2021

Penyintas Bom Kuningan: Saya Terima Takdir Saya

Aliansi Indonesia Damai-  Pagi hari, 9 September 2004. seperti biasa, Rizah, petugas kebersihan di Graha Binakarsa Swadaya, mulai menjalankan tugasnya membersihkan sudut-sudut ruang di gedung perkantoran tersebut. Menjelang pergantian shift tugas di jam 11 pagi, Rizah sedang bertugas di lantai 3. Teman-temannya mulai meninggalkan lantai tersebut untuk beristirahat, namun Rizah masih tetap di situ. Ia berdiri di depan jendela kaca besar sambil memikirkan uangnya yang hanya tersisa 20 ribu rupiah di sakunya.

Ia memutuskan untuk tidak makan siang, namun berniat untuk beristirahat di belakang gedung. Saat membalikkan badannya, ledakan dahsyat terjadi. Ia terkena reruntuhan kaca. Ia mencoba untuk berlari tanpa menyadari bahwa serpihan-serpihan kaca mengenai wajahnya. “Ternyata ada bom. Saya mencoba masuk ke dalam, ruangan ternyata gelap, saya nggak bisa lewat. Saya lihat penuh darah muka saya. Saya mencoba minta tolong lewat tangga darurat. Ternyata udah ramai, ada teman saya lihat saya, dan saya ditolong temen-teman saya,” ujarnya mengenang kejadian pahit 17 tahun yang lalu.

Baca juga Inspirasi Pemaafan Penyintas

Rizah dibawa ke Rumah Sakit Metropolitan Medical Centre (RS MMC), tak jauh dari tempat kerjanya. Di sana ia melihat korban-korban yang lain. Di situ pula ia baru menyadari telah menjadi korban dari aksi pengeboman di depan kantor Kedutaan Besar Australia yang berjarak sekitar 50 meter dari tempatnya bekerja. “Ketika di rumah sakit, dokter bilang muka saya harus ditangani untuk dioperasi karena lukanya ada di sekitar mata, takutnya kena pembuluh darah. Di situlah saya dioperasi tanpa disuntik bius,” kata Rizah mengenang.

Tak kurang dari 16 jahitan mendarat di wajah Rizah, namun rasa sakitnya seolah tak bisa ia rasakan. Ada hal lain yang lebih ia pikirkan. “Saya menangis, yang saya pikirin siapa yang bayar perawatan saya. Uang saya cuma 20 ribu, saya kan nggak bisa ngandelin keluarga saya karena saya tulang punggung keluarga,” ujarnya.

Baca juga Membalas Kebencian dengan Kasih (Bag. 1)

Rizah merasa beruntung ketika salah satu temannya datang menepis kerisauannya. Ia mendapat kabar bahwa biaya rumah sakit akan ditanggung oleh pihak kantor tempatnya bekerja. Perasaan lega menyelimuti diri Rizah meski dokter mengatakan ia harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit. Awalnya ia sempat menolak untuk dirawat inap karena memikirkan anaknya yang masih kecil. “Saya minta ke perawat untuk pulang karena anak saya nggak ada yang merawat, tapi tidak diperbolehkan,” katanya.

Seminggu setelah operasi, Rizah tetap memaksa untuk pulang. Pihak rumah sakit mengizinkannya menjalani rawat jalan. “Setelah sampai di rumah saya berobat jalan, saya tadinya mau dioperasi lagi sama pihak Kedubes. Katanya biar di-rapihin, tapi saya nggak mau. Kalau operasi kan butuh perawatan, sedangkan saya ini orang biasa yang harus masak, harus kerja, harus ngurus anak. Saya terima kalau udah takdir saya seperti ini,” katanya mengenang.

Baca juga Membalas Kebencian dengan Kasih (Bag. 2-Terakhir)

Dua minggu setelah kejadian, dalam kondisi luka yang masih diperban, Rizah mulai kembali bekerja. Ia tak mau berlama-lama bergelut dengan rasa sakit. Sebagai tulang punggung keluarga ia merasa harus bertanggung jawab. Rizah mencoba melawan rasa sakitnya, melawan traumanya, sebab ia harus melanjutkan hidup. Perempuan 44 tahun itu hingga kini masih trauma dengan suara ledakan. Namun ia tetap bersyukur masih selamat dari musibah itu.

Baca juga Kebangkitan dan Ikhtiar Memaafkan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *