09/09/2021

Dialog Siswa SMAN 8 Surakarta dengan Mantan Ekstremis

Aliansi Indonesia Damai – Sumarno, mantan narapidana terorisme, dihadirkan sebagai narasumber dalam Dialog Interaktif Virtual “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh” yang digelar AIDA, Senin (06/09/2021). Kegiatan diikuti secara daring oleh 53 siswa SMAN 8 Surakarta, Jawa Tengah.

Dalam kesempatan ini, Sumarno membagikan kisah sepak terjangnya selama di jaringan ekstremisme dan pertobatannya. Ia mengaku mulai mendapatkan pemahaman ekstrem ketika  menempuh pendidikan di pondok pesantren yang dikelola oleh pamannya yang merupakan “Trio Pelaku Bom Bali” yaitu Ali Imron, Ali Ghufron alias Mukhlas, dan Amrozi. Sumarno ditangkap pada tahun 2003 karena terbukti menyembunyikan senjata dan sisa-sisa bahan peledak. Ia divonis hukuman 5 tahun penjara.

Baca juga Dialog Siswa SMAN 4 Surakarta dengan Penyintas Bom Kuningan

Di dalam Lapas, perlahan Sumarno mengoreksi pemikirannya. Ia mulai menyadari bahwa apa yang dilakukannya adalah perbuatan yang merugikan orang lain. Secara bertahap ia meninggalkan kelompok ekstrem secara total. Setelah bertobat, kini ia menjalani aktivitasnya sebagai pengajar di pondok pesantren milik keluarganya. Ia juga aktif menyuarakan perdamaian.  “Saya mau ber-khidmat (mengabdi: red) pada umat, dan menjadi orang yang lebih berguna dan bermanfaat,” katanya.

Usai Sumarno menyampaikan kisahnya, beberapa pertanyaan muncul dari siswa. Salah satunya bertanya tentang pesantren yang saat ini dikelola Sumarno. “Apakah ada jaminan bahwa di pesantren itu tidak ada ajaran ekstremisme di dalamnya,” ucap siswa tersebut.

Baca juga Ketangguhan Penyintas di Mata Siswa SMAN 2 Surakarta

Sumarno mengakui, dulu pondok pesantren milik keluarganya memang terpengaruh oleh ketiga pamannya yang mempelajari ekstremisme secara teoretis maupun praktis dari Afghanistan. “Tapi sekarang yang kita ajarkan adalah maklumat tentang Islam. Keutamaan amal dalam Islam, murni dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, salaful ummah, dari ulama yang masyhur. Tidak seperti dulu,” ujarnya menerangkan.

Pertanyaan selanjutnya adalah tentang eksistensi kelompok ekstrem di Indonesia dan ciri-cirinya. Menanggapi hal tersebut Sumarno mengatakan bahwa masih ada orang yang berpikiran ekstrem. Namun seharusnya mereka menyadari bahwa kondisi di Indonesia berbeda dengan kondisi di luar negeri seperti di Afghanistan. “Ciri-ciri kelompok itu bersumbu pendek. Kalau berbeda pendapat mudah tersulut. Padahal dalam Islam, perbedaan di antara umat adalah rahmat, dan itu yang harus disyukuri,” katanya.

Baca juga Menyemai Bibit Perdamaian di SMAN 4 Surakarta

Usai kegiatan, salah seorang siswa menyampaikan pembelajaran dari kisah Sumarno. Menurut dia, meskipun masa lalu itu buruk, manusia harus bisa terus berubah lebih baik. “Tidak ada kata terlambat memulai hal baik. Tidak ada kata terlambat menebar kebaikan ke seluruh saudara dan teman-teman kita. Masa lalu sebaiknya dijadikan pelajaran dan hikmah agar lebih baik menjalani kehidupan,” ujarnya. [LADW]

Baca juga Dialog Siswa SMAN 4 Surakarta dengan Mantan Ekstremis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *