Dialog Siswa SMAN 4 Surakarta dengan Mantan Ekstremis
Aliansi Indonesia Damai – Lebih dari 50 siswa SMAN 4 Surakarta mengikuti Dialog Interaktif Virtual “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh” yang dilaksanakan AIDA, Selasa (31/08/2021). Dalam kesempatan ini, Iswanto, mantan pelaku ekstremisme kekerasan, didatangkan sebagai salah satu narasumber.
Iswanto menuturkan, dirinya bergabung dengan kelompok ekstrem sejak masih remaja. Ia pernah terlibat langsung dalam konflik komunal di Ambon dan Poso pada 1999-2001. Lika-liku perjalanan hidup membuat Iswanto merenungkan kembali tindakannya hingga pada akhirnya memilih untuk kembali ke jalan perdamaian. Berdasarkan pengalaman tersebut, Iswanto berpesan kepada puluhan siswa yang hadir untuk berhati-hati dalam memahami ajaran agama.
Baca juga Dialog Siswa SMAN 5 Surakarta dengan Korban Bom Bali
“Generasi muda harus memahami ajaran agama itu sebagai ajaran perdamaian. Jangan dipahami sebagai ajaran kekerasan. Kalau tidak bisa menyaring, maka akan mudah terprovokasi dan terjerumus ke dalam kelompok ekstrem. Pilihlah guru dan teman yang mendukung perdamaian,” pesannya.
Kisah Iswanto memancing pertanyaan dari siswa SMAN 4 Surakarta. Seorang siswa menyatakan keingintahuan tentang stigma masyarakat yang seringkali menyalahkan agama alih-alih individu yang melakukan tindakan ekstrem.
Baca juga Dialog Siswa SMAN 5 Surakarta dengan Mantan Ekstremis
Dalam hemat Iswanto, stigma tersebut muncul lantaran banyak pelaku yang mengatasnamakan agama ketika melakukan aksi, sehingga masyarakat pun berpikir demikian. Maka salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan memahamkan masyarakat.
“Saya ceritakan kepada masyarakat. Akhirnya banyak yang paham kalau bukan agama, melainkan memang pola pikirnya yang salah. Tapi karena mereka mengatasnamakan agama, akhirnya agama disalahkan, seakan agama Islam yang salah,” ujarnya.
Baca juga Dialog Siswa SMK Bhinneka Karya Surakarta dengan Mantan Napiter
Selain itu, Iswanto juga menunjukkannya melalui sikap. Tentu berat bagi seorang mantan pelaku ekstremisme untuk bisa diterima kembali di lingkungan masyarakat. Ia mengaku bahwa dulu sangat jarang bergaul dengan masyarakat karena adanya perbedaan pandangan dalam beragama.
Tak pelak Iswanto berupaya untuk menunjukkan perubahan yang signifikan agar masyarakat dapat kembali percaya padanya. Bahkan, ia saat ini sering dijadikan rujukan masyarakat ketika terjadi aksi terorisme. “Setiap kali ada aksi, itu kita tunjukkan pikiran, sehingga mereka akan bertanya kepada saya. Dan saya akan jelaskan, agar mereka menjadi paham dan tidak menyalahkan agama,” ujarnya.
Baca juga Dialog Siswa SMK Bhinneka Karya Surakarta dengan Penyintas Terorisme
Ia menambahkan, mendekatkan diri kepada masyarakat menjadi aspek penting ketika keluar dari kelompok ekstrem. Banyak mantan narapidana terorisme yang kemudian tidak diterima oleh keluarga ataupun masyarakat setelah terbebas dari penjara, sehingga memilih untuk kembali ke kelompok ekstrem.
Iswanto mengakhiri paparannya dengan berpesan kepada siswa untuk terus berhati-hati dalam belajar. “Kita tidak akan melarang mengikuti pengajian. Tapi dilihat. Kalau mengarah pada kebencian maka harus diwaspadai. Begitu juga kalau tidak paham terhadap sesuatu, tanyakan kepada yang lebih memahami,” katanya memungkasi. [WTR]