Dialog Siswa SMAN 4 Tasikmalaya dengan Mantan Ekstremis
Aliansi Indonesia Damai – Kurnia Widodo, mantan anggota kelompok ekstremisme, dihadirkan sebagai narasumber dalam kegiatan “Dialog Interaktif Virtual: Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh” di SMAN 4 Tasikmalaya akhir tahun lalu. Kurnia mengisahkan sepak terjangnya saat bergabung dalam kelompok teror, sampai akhirnya ditangkap, dan kini telah bertobat.
Setelah menyimak kisah Kurnia, sejumlah siswa yang antusias mengajukan pertanyaan. Salah seorang peserta bertanya tentang faktor yang membuat paham ekstremisme bisa tumbuh subur di Indonesia. Menurut kurnia, setidaknya ada 3 faktor yang membuat ekstremisme dan kekerasan cepat berkembang.
Baca juga Pesan Ketangguhan Pelajar Serang (Bag. 1)
“Yang pertama karena kemajuan teknologi informasi. Adanya dunia internet dan media sosial menyebabkan tidak ada lagi jarak dan dinding. Dulu saya mengaji, itu hanya bisa seminggu sekali. Sekarang, konten radikal bisa disebarkan setiap menit,” ujarnya.
Kedua, menurut Kurnia, di Indonesia masih minim pendidikan kritis yang membuka wawasan agama, politik, dan kebangsaan. “Kebanyakan pendidikannya bersifat doktrin, bukan sifat kritis. Sehingga, ketika seseorang bertemu dengan ustaz yang berpaham radikal, maka ia akan mudah terbawa dan menjadi fanatik,” katanya.
Baca juga Pesan Ketangguhan Pelajar Serang (Bag. 2)
Selanjutnya, faktor yang ketiga adalah mudah tersebarnya hoaks, hate speech, dan framing negatif di Indonesia. “Hal ini tentu menyebabkan sikap intoleran yang membuat suburnya radikalisme,” ujar Kurnia.
Pertanyaan lain yang muncul adalah mengapa kelompok ekstremisme mudah mengkafirkan orang lain. Menurut Kurnia, hal itu disebabkan karena mereka membatasi masalah tauhid. “Mereka juga sensitif masalah syariat. Jika seseorang tidak melaksanakan syariat, maka termasuk keluar dari tauhid. Terlebih lagi mereka juga menganggap negara kita adalah negara kafir. Jadi aparatnya juga kafir, pelaku demokrasi adalah kafir, dan jika kita termasuk yang tidak ikut mengkafirkan, maka kita juga dianggap kafir,” kata Kurnia.
Baca juga Dialog Siswa SMAN 1 Manonjaya dengan Penyintas Bom Bali
Di akhir sesi, peserta menyampaikan pembelajarannya setelah mendengar kisah Kurnia. “Menurut saya kita jangan mudah percaya dengan orang dan selalu mendekat dengan orang terdekat dan terkasih, sehingga tidak mudah terpengaruh dengan ajaran kekerasan,” katanya. [LADW]
Baca juga Dialog Penyintas Bom Kuningan dengan Siswa SMAN 5 Tasikmalaya