Semangat Perdamaian dalam Lirik Selawat
Aliansi Indonesia Damai- AIDA menyelenggarakan “Pengajian & Diskusi: Menyerap ‘Ibroh dari Kisah Korban dan Mantan Pelaku Terorisme” di kampus UIN Sultan Aji Muhammad Idris (UINSI) Samarinda, bulan lalu. Kegiatan yang merupakan tindak lanjut dari Pelatihan Pembangunan Perdamaian di Kalangan Tokoh Agama tersebut melibatkan 61 mahasiswa UINSI lintas fakultas dan program studi.
Alumni Pelatihan AIDA sekaligus dosen Fakultas Tarbiyah UINSI, Muhammad Nasrun, tampil sebagai salah satu narasumber dalam kegiatan. Ia mengajak para peserta meresapi semangat perdamaian dalam lirik “Syiir Tanpo Waton” karya Mohammad Nizam As-Shofa. Syair ini oleh sebagian orang secara salah kaprah disandarkan kepada Presiden RI Ke-4, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Baca juga Tiga Faktor Penghambat Perdamaian
Dalam suluk yang diawali dengan selawat Ya Rasulallah Salamun ‘Alayk itu terdapat nasihat dalam Bahasa Jawa yang menyebutkan bahwa banyak orang hafal ayat Al-Qur’an dan Hadis Nabi namun gemar mengafirkan orang lain. Enasnya, kekafirannya sendiri, dalam arti kekotoran hati dan akal, tidak diperhatikan. “Banyak orang pintar, tapi memandang orang lain asal beda sedikit langsung dianggap kafir,” ujarnya.
Nasrun melihat fenomena tersebut terjadi karena kecenderungan orang yang serampangan dalam memilih guru. Ia menjelaskan, dalam kitab rujukan ilmu akhlak yang lazim diajarkan di pesantren, seperti Ta’limul Muta’allim serta Adabul ‘Alim wal Muta’allim, cukup tegas ditekankan bahwa setiap muslim tidak boleh asal dalam memilih guru.
Baca juga Mendorong Santri Melestarikan Perdamaian
“Kita harus lihat track record-nya. Maka, repot anak-anak zaman sekarang asal ikut pengajian, kemudian memanggil temannya bukan bro atau kawan lagi, melainkan akhi dan ukhti, jadi kearab-araban dengan memunculkan istilah hijrah,” kata dia.
Kesalahpahaman atau bahkan berlebih-lebihan dalam beragama, seperti kelompok yang mudah mengafirkan orang lain, kata Nasrun, pernah terjadi di masa sahabat sepeninggal Rasulullah Saw. Tepatnya, dalam kasus pembunuhan sahabat Nabi, yakni Ali bin Abi Talib RA.
Baca juga Menumbuhkembangkan Budaya Damai
Pelaku pembunuhan, Abdurrahman bin Muljam, ungkapnya, ialah salah seorang sahabat juga yang pada masa kekuasaan Umar bin Khattab diangkat sebagai salah satu guru mengaji Al-Qur’an. Bahkan sebagai apresiasi terhadapnya, Khalifah Umar membuatkan rumah untuknya di dekat masjid. Bila muncul tanya, ‘apa sebabnya kok ada orang yang tega membunuh sepupu sekaligus menantu Nabi,’ menurut Nasrun, musababnya adalah karena salah memahami Al-Qur’an.
“Semasa hidup Rasulullah pernah bersabda kelak akan ada orang yang membaca Al-Qur’an sampai di tenggorokan saja, tidak masuk ke hati. Inilah yang dimaksud dalam lirik selawat Akeh sing apal Quran Hadise, Seneng ngafirke marang liyane, Kafire dewe gak digatekke, Yen isih kotor ati akale. Jadi, Qur’an yang dia baca tidak sampai ke hati,” katanya.
Baca juga Ketua PP Muhammadiyah: Agama Tak Boleh Abaikan Kemanusiaan
Dalam kegiatan itu, para peserta selain mendapatkan materi dari para narasumber juga menyimak penuturan kisah inspiratif dari penyintas aksi teror bom serta mantan pelaku terorisme yang telah bertobat. Kisah kehidupan dua pihak tersebut menjadi bekal mereka sebagai mahasiswa untuk menggelorakan kehidupan yang cinta kedamaian baik di lingkungan kampus maupun di luar.
Nasrun pun mengajak mahasiswa agar menularkan semangat perdamaian kepada komunitasnya. “Para mahasiswa sebagai Gen Z ini, setelah berdiskusi ini diharapkan bisa menyampaikan ke lebih banyak orang lagi terutama teman sebayanya sesama Gen Z. Kalau bapak ibu dosen itu generasi old yang terkadang ada gap budaya dan bahasa dalam menyampaikan nasihat,” ujarnya berpesan. [MLM]
Baca juga Melengkapi Trilogi Ukhuwwah