24/11/2023

Merawat Otak Kritis

Aliansi Indonesia Damai- Dalam otak manusia terdapat critical area atau otak kritis yang berperan menyaring semua informasi yang diterimanya dari pancaindera. Dalam situasi tertentu, otak kritis bisa dimatikan secara sengaja oleh orang lain sehingga orang bertindak di luar kendali dirinya. Caranya adalah dengan memberi kejutan cepat. Hal itulah yang kerap dilakukan oleh praktisi hipnosis.

Otak kritis bisa juga dimatikan melalui proses yang panjang dan intensif melalui relasi kuasa yang tak seimbang. Para pelaku pengeboman bunuh diri adalah contohnya. Nalar kritis mereka terkikis lantaran terus menerus mendapatkan indoktrinasi dari sosok yang dianggapnya superior.

Baca juga Menyeimbangkan Otak Akademis dan Kebijaksanaan

Analisis tersebut disampaikan oleh Nur Wahid, Sekretaris Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Samarinda yang juga pengajar Pengajar Anatomi Fisiologi di salah satu perguruan tinggi di Samarinda dalam Pengajian “Menyerap ‘Ibroh Kehidupan Korban dan Mantan Pelaku Terorisme” yang digelar AIDA di Pondok Pesantren (PP) Istiqamah Muhammadiyah, Batu Besaung, Samarinda, beberapa waktu silam.

Nur Wahid merupakan alumni Pelatihan Pembangunan Perdamaian di Kalangan Tokoh Agama yang digelar di Samarinda sebelumnya. Dalam kesempatan tersebut, ia berjumpa dan berdialog dengan beberapa mantan pelaku terorisme. Dari penuturan mereka, Nur Wahid menyimpulkan ada sejumlah faktor yang membuat orang secara sadar dan sukarela terlibat terorisme.

Baca juga Keluarga Harmonis Kunci Terciptanya Perdamaian

”Jadi, yang terjadi pada para pelaku terorisme itu, berada dalam informasi yang salah. Dalam tauhid, dari sisi pemahaman agama, dia mengklaim yang paling benar versi dia, itu semuanya masuk ke otak dia,” ujarnya.

Paham seperti itu diajarkan oleh sosok-sosok yang dianggap superior. Pada saat bersamaan, orang yang kemudian melakukan aksi terorisme merasa inferior di hadapan guru atau amirnya tadi. Faktor itu lantas terakumulasi dengan fenomena ketidakadilan yang menimpa umat Islam di belahan wilayah lain.

Baca juga Membentengi Generasi Muda dari Paham Kekerasan

”Bosnia, Filipina, Suriah, Afghanistan, apalagi Palestina. Bertahun-tahun kita dengarkan informasi saudara kita di sana itu dijajah dan dibunuh. Secara tidak sadar itu masuk ke memori kita. Sedih memikirkan saudaranya yang dizalimi, dibunuh, disiksa, diusir dari tempat tinggalnya, muncul keinginan untuk menolong,” ucap Nur Wahid.

Hanya saja lanjut Nur Wahid upaya untuk ”membela” saudaranya yang terzalimi itu justru dengan cara mengebom di Indonesia. Walhasil yang terjadi adalah kezaliman baru. Ia lantas mewanti-wanti para santri agar merawat nalar kritis dengan cara membuka diri terhadap referensi lain. “Kalau ada informasi bahwa Islam kamu itu Islam paling benar, Islam tetanggamu dan lain-lain itu tidak benar, Islam kamu itu sudah kafah yang lain belum kafah, kemudian yang lain masuk kategori fasiq, kafir, zalim, berhak untuk dicabut nyawanya atau Anda tidak terkena hukum ketika mencabut nyawanya, maka Anda harus mencari second opinion. Cari ustaz yang lain,” ujarnya tegas. [MLM-MSY]

Baca juga Dinamika Hubungan Korban dan Mantan Teroris

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *