Jalan Panjang Menuju Palestina Merdeka
Oleh: Pipip A Rifai Hasan,
Dosen Magister Studi Islam Universitas Paramadina
Menemukan solusi damai untuk konflik Palestina-Israel tidaklah mudah. Meskipun ada kesepakatan internasional untuk menyelesaikan masalah tersebut, implementasinya terhalang oleh sikap Israel yang terus melakukan pelanggaran, seperti ekspansi permukiman ilegal, pembangunan tembok pemisah, dan agresi militer.
Dukungan tanpa syarat dari negara-negara Barat membuat Israel semakin pongah dan merasa bebas melakukan apa pun. Israel menolak untuk melaksanakan resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyerukan penarikan diri dari wilayah yang didudukinya sejak 1967.
Baca juga Antara Rafah, Tel Aviv, dan Riyadh
Sebaliknya, Israel terus melakukan pelanggaran hak asasi manusia dan hukum internasional, merampas rumah dan kebun orang Palestina, serta mengusir dan mengisolasi mereka. Meskipun terdapat kesepakatan internasional, seperti Perjanjian Oslo, implementasinya terkendala oleh tindakan-tindakan unilateral Israel.
Pada saat yang sama, faksi-faksi Palestina juga menghadapi tantangan internal, dengan perpecahan antara Fatah dan Hamas yang mempersulit koordinasi dan negosiasi bersama dalam upaya mencapai kesepakatan perdamaian. Perbedaan tajam pun terjadi di antara sesama negara Arab. Perpecahan ini dimanfaatkan Israel untuk melanjutkan pendudukannya.
Faktor ideologis
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menegaskan ambisi Israel untuk Israel Raya di Sidang Umum PBB pada 20 September 2023. Sebaliknya, Hamas telah bersedia menerima negara Palestina sesuai dengan resolusi Dewan Keamanan PBB 242 yang secara implisit mengakui eksistensi Israel. Namun, Israel tetap keras pada pendiriannya. Kesediaan Hamas untuk berkompromi seharusnya disambut untuk memuluskan jalan menuju perdamaian yang berkelanjutan.
Baca juga Paradoks Pendidikan dan Keterpinggiran
Hamas telah terbuka untuk berdialog dan bernegosiasi dengan Israel. Piagam Baru Hamas (Doha, 15/5/17) menunjukkan kelonggaran dalam posisi politiknya, sementara Israel tetap bertahan pada klaim ilegalnya atas wilayah Palestina. Bahkan, klaim itu telah diabadikan dalam ”Hukum Dasar” negara Israel pada 19 Juli 2018 ketika parlemen Israel (Knesset) mengesahkan undang-undang ”Negara Bangsa Rakyat Yahudi”.
Peran negara-negara Barat
Negara-negara demokrasi Barat, dengan berbagai motif dan pertimbangan, tidak tertarik menghentikan kebrutalan Israel. Presiden Amerika Serikat Joe Biden bahkan memperkuat dukungannya kepada Israel dalam kunjungannya yang terakhir. Dukungan ini memberikan keberanian bagi Israel untuk melanjutkan genosida di Gaza.
Baca juga Tantangan Pendidikan Indonesia
Karena mendapat dukungan tanpa syarat dari negara Barat, terutama Amerika Serikat, Israel merasa aman untuk meneruskan pelanggaran terhadap hukum internasional. Situasi ini melemahkan posisi Palestina dan pihak yang menghendaki penyelesaian damai hak bangsa Palestina di forum internasional.
Strategi jangka panjang
Solusi dua negara tampak going nowhere. Intifadah, perjuangan bersenjata, deskripsi kengerian, dan ratapan para pemrotes, demonstrasi, dan resolusi lembaga-lembaga internasional tidak ada yang mampu mendorong Israel serta negara-negara pembelanya melangkah ke arah realisasi berbagai perjanjian dan resolusi yang ditujukan untuk diakhirinya pendudukan. Israel terus meneror penduduk Palestina setiap hari with impunity. Tidak ada harga yang harus dibayar Israel atas berbagai kejahatan pendudukan.
Harapan yang tersisa tampaknya hanya pada gerakan BDS (boycott, divestment, and sanctions) yang berhasil mengurangi investasi asing di Israel. Aksi boikot global seperti yang dilakukan terhadap Afrika Selatan pada masa politik apartheid merupakan cara jangka panjang untuk menekan Israel.
Baca juga Buku di Bayang-bayang Kecerdasan Buatan
BDS mencatat beberapa keberhasilan: divestasi besar-besaran oleh Gereja Swedia, Gereja Metodis Bersatu, Bill dan Melinda Gates Foundation, dana investasi Kuwait, badan-badan PBB, serikat pekerja, universitas, jaringan restoran, dan lain-lain dari G4S (perusahaan keamanan terintegrasi terkemuka di dunia).
Allied Universal terpaksa mengakhiri investasinya di Israel akibat tekanan dari Caisse de dépôt et placement du Québec (CDPQ), yang mengelola dana program pensiun. Kapal-kapal Israel juga dilarang berlabuh di pelabuhan di Oakland, California, di Afrika Selatan, Swedia, dan India dalam beberapa tahun terakhir.
Baca juga Tidak Semua Orang Bisa Menjadi Pendidik
Kongres Nasional Chile melarang produk dari permukiman ilegal Israel di Palestina. Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Chile memutuskan hubungan institusional dengan universitas-universitas Israel. Perusahaan Salam Air milik Oman mengundurkan diri dari Pameran Dirgantara Internasional Bahrain.
Rumah Keuangan Kuwait menghapus logonya dari daftar sponsor pameran karena partisipasi perusahaan Israel. Universitas Teknologi Tshwane, Afrika Selatan, memboikot institusi-institusi Israel. Demikian juga Universitas Johannesburg (UJ) memutuskan hubungan dengan Universitas Ben-Gurion (BGU) Israel.
Baca juga Berlarilah Menuju Allah
Laporan 2015 dari lembaga pemikir kebijakan global, Rand Corporation, memperkirakan bahwa produk domestik bruto Israel kehilangan sekitar 15 miliar dollar AS. Bloomberg melaporkan investasi asing di Israel telah turun drastis pada 2023. Senjata BDS merupakan yang paling efektif.
Posisi Indonesia
Posisi Indonesia sudah tepat, menolak membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Melalui upaya diplomatik, Indonesia terus menjadi suara moral dan advokasi bagi rakyat Palestina di forum internasional dan regional.
Perjuangan diplomatik ini telah sangat baik ditunjukkan oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi. Indonesia perlu mendukung gerakan BDS yang diharapkan dapat meningkatkan tekanan terhadap Israel dan mendorong tercapainya Palestina Merdeka.
*Artikel ini terbit di kompas.id, Selasa 7 Mei 2024
Baca juga Efek Kobra Publikasi Ilmiah