Tantangan Pendidikan Indonesia
Oleh: Fasli Jalal,
Mantan Wakil Menteri Pendidikan Nasional dan Rektor Universitas Yarsi
Pendidikan memiliki peran penting dalam membentuk sumber daya manusia berkualitas sehingga manusia Indonesia mampu mendorong inovasi, mendukung pertumbuhan ekonomi, dan mewujudkan kesejahteraan bangsa. Indonesia menghadapi tiga tantangan besar sekaligus peluang untuk mencapai Indonesia yang maju dan sejahtera.
Pertama adalah mewujudkan Indonesia Emas pada 2045. Kedua, memastikan Indonesia memperoleh bonus demografi karena berlimpahnya angkatan kerja dibandingkan penduduk yang belum bekerja atau sudah selesai masa tugasnya. Terakhir, komitmen kita untuk mencapai 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Baca juga Buku di Bayang-bayang Kecerdasan Buatan
Guna mengatasi ketiga tantangan itu, diperlukan SDM unggul, yaitu beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME; berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri; serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Kualitas SDM
Kualitas SDM digambarkan oleh Human Capital Index (HCI) yang dikembangkan Bank Dunia dan beberapa lembaga internasional lain.
Ada lima indikator yang dipakai dalam HCI. Pertama, keberlangsungan hidup dari setiap anak yang lahir sampai berusia lima tahun. Kedua, harapan rata-rata lama bersekolah. Ketiga, kualitas pendidikan yang ditunjukkan oleh hasil Programme for International Student Assessment (PISA). Keempat, keberlangsungan hidup kelompok masyarakat usia 14 tahun-60 tahun. Kelima, prevalensi tengkes (stunting).
Baca juga Tidak Semua Orang Bisa Menjadi Pendidik
Dengan mengukur lima indikator itu, kita dapat memperkirakan produktivitas dari anak yang baru lahir sekarang saat mereka mencapai usia 18 tahun. Dari data Indonesia, anak yang lahir pada tahun 2020 diperkirakan hanya punya kemampuan produktivitas 54 persen atau separuh dari potensi produktivitas optimalnya.
Indonesia berada di peringkat ke-96 dari 173 negara. Peringkat beberapa negara ASEAN adalah Singapura (1), Vietnam (38), Malaysia (62), Thailand (63), dan Filipina (103). Skor HCI Indonesia disebabkan rendahnya skor PISA dan masih tingginya prevalensi tengkes anak balita.
Selama lebih dari 20 tahun Indonesia selalu berpartisipasi dalam tes PISA yang diselenggarakan OECD. Sudah banyak perbaikan yang dilakukan untuk meningkatkan akses pendidikan bermutu dan relevan pada semua anak negeri, seperti anggaran pendidikan yang dipastikan 20 persen dari APBN dan APBD sejak 2009.
Baca juga Berlarilah Menuju Allah
Juga kesejahteraan guru yang lebih baik dengan disahkannya UU Guru dan Dosen, infrastruktur pendidikan yang kian baik, kurikulum dan pembelajaran yang lebih responsif pada kebutuhan anak, serta kian meningkatnya perhatian dan dukungan masyarakat pada penyelenggaraan pendidikan.
Namun, hasil skor PISA dari tahun 2000 sampai 2018 cenderung tak membaik, malahan pada 2018 menurun dibandingkan 2015. Pada 2022, setelah proses belajar terdampak Covid-19, skor PISA anak Indonesia juga makin menurun walau ranking PISA Indonesia sedikit meningkat karena dampak pandemi yang lebih besar dialami oleh siswa dari beberapa negara lain dibandingkan Indonesia.
Performa siswa Indonesia
PISA adalah kajian tiga tahunan oleh OECD untuk mengevaluasi sistem pendidikan di negara-negara anggota dan bukan anggota OECD dengan mengukur performa siswa usia 15 tahun di bidang matematika, sains, dan membaca.
PISA membantu para pembuat kebijakan dengan memberikan bukti nyata dalam mengambil keputusan-keputusan penting di sektor pendidikan. Tes PISA membantu pengambil kebijakan dalam mengembangkan sistem pendidikan yang dapat memberikan pengajaran berkualitas tinggi, kesempatan belajar yang adil untuk semua, dan meningkatkan kesejahteraan siswa.
Baca juga Efek Kobra Publikasi Ilmiah
Tujuannya tidak hanya tahu atau paham di tiga bidang yang diujikan, tetapi juga untuk mengetahui apa yang siswa bisa lakukan dengan pemahamannya.
Pada 2022, OECD menyelenggarakan PISA dan Indonesia kembali menjadi salah satu peserta bersama 81 negara lain. Skor PISA 2022 Indonesia adalah 359 (membaca), 379 (matematika), dan 383 (sains).
Singapura 575 (matematika), 543 (membaca), dan 561 (sains). Vietnam 469 (matematika), 462 (membaca), dan 472 (sains).
Baca juga Islam dan Kerangka Etik Perubahan Sosial
Untuk membantu memahami hubungan skor PISA siswa dengan kemampuan substantifnya, skala PISA terbagi dalam delapan tingkat kemahiran, mulai dari terendah 1c, 1b, 1a, 2, 3, 4, 5, dan tertinggi 6.
Untuk mampu bertahan hidup dalam ekonomi modern, setidaknya siswa kita harus berada di level 2 atau lebih tinggi.
Untuk tes matematika, pada level 2 siswa mampu mengenali situasi di mana mereka perlu merancang strategi sederhana untuk memecahkan masalah, termasuk menjalankan simulasi langsung yang melibatkan satu variabel sebagai bagian dari strategi solusi mereka.
Baca juga Mencegah Perundungan di Sekolah: dari Kebijakan ke Gerakan
Mereka dapat mengekstrak informasi yang relevan dari satu atau lebih sumber yang menggunakan bentuk representasi sedikit lebih kompleks, seperti tabel dua arah, bagan, atau representasi dua dimensi dari obyek tiga dimensi.
Sebanyak 18 persen siswa Indonesia mencapai tingkat kemahiran level 2 atau di atasnya. Ini jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata negara OECD yang 69 persen. Sebagai perbandingan, lebih dari 85 persen siswa di Singapura, Makau, Jepang, Hong Kong, Taiwan, dan Estonia berada di level 2 atau lebih tinggi.
Di level 5 untuk tes matematika, siswa bisa mengembangkan dan bekerja dengan model untuk situasi yang kompleks, mengidentifikasi atau menerapkan batasan, dan menentukan asumsi.
Baca juga Membendung Perundungan dengan Sinergitas Tripusat Pendidikan
Mereka dapat menerapkan strategi pemecahan masalah yang sistematis dan terencana untuk menangani tugas-tugas yang lebih menantang, seperti memutuskan bagaimana mengembangkan eksperimen, merancang prosedur yang optimal, atau bekerja dengan visualisasi lebih kompleks yang tidak diberikan dalam tugas itu.
Siswa menunjukkan peningkatan kemampuan untuk memecahkan masalah yang solusinya sering kali memerlukan penggabungan pengetahuan matematika yang tak dinyatakan secara eksplisit dalam soal.
Siswa Indonesia hampir tak ada yang mencapai level tertinggi (5 dan 6), sementara rata-rata OECD 9 persen. Enam negara di Asia dengan jumlah siswa terbesar di level itu: Singapura (41 persen), Taiwan (32 persen), Makau (29 persen), Hong Kong (27 persen), Jepang (23 persen), Korea (23 persen).
Baca juga Merindukan Kebiasaan Membaca Buku di Mana Saja
Untuk tes membaca, sekitar 25 persen siswa Indonesia mencapai level 2 atau lebih tinggi dibandingkan rerata OECD 74 persen dan Singapura 89 persen. Di Indonesia, hampir tak ada siswa yang mendapat nilai level 5 atau lebih tinggi dalam membaca (rata-rata OECD 7 persen).
Pada tes sains, 34 persen siswa Indonesia mencapai level 2 atau lebih tinggi (rata-rata OECD 76 persen). Di Indonesia, hampir tak ada siswa mencapai level 5 dan 6, sementara rerata OECD 7 persen.
Menurut Rogers Pakpahan (2016), faktor-faktor yang memengaruhi prestasi siswa Indonesia pada studi PISA 2012 adalah latar belakang peserta dari faktor internal, yaitu jati diri siswa dan faktor eksternal, seperti kondisi keluarga, kepemilikan sarana belajar, dan kondisi sosial budaya di rumah.
Baca juga Selepas Ramadhan Berlalu
Penelitian menyimpulkan, jati diri, kondisi sosial ekonomi dan budaya, kepemilikan komputer dan buku-buku merupakan faktor utama yang memengaruhi capaian literasi matematika siswa Indonesia peserta PISA 2012.
Analisis data persepsi guru (OECD 2022) mengenai hambatan yang mereka temui selama pembelajaran berlangsung menunjukkan fakta berikut: pentingnya pemerataan jumlah guru, kurangnya infrastruktur fisik di sekolah perdesaan, perlunya perbaikan dan peremajaan infrastruktur fisik yang telah tersedia, dan pengadaan sumber daya digital di sekolah.
Perbaikan ke depan
Bank Dunia mengusulkan perbaikan hasil belajar siswa Indonesia untuk meningkatkan skor PISA antara lain melalui pembelajaran yang berfokus pada peserta didik (student center learning) serta penyediaan sumber belajar yang cukup beragam dan mudah diakses.
Juga guru yang mampu menjadi fasilitator pembelajaran yang secara reguler mendapatkan pelatihan dan dukungan untuk bisa belajar sepanjang hayat, penyediaan sekolah aman dan inklusif yang juga responsif terhadap dampak perubahan iklim, serta manajemen sekolah yang dapat memimpin dan mengarahkan guru untuk menghindari hilang atau berkurangnya hasil belajar siswa (learning loss).
Baca juga Publikasi Ilmiah dan Pematangan Intelektual
Selain itu, bukti global menunjukkan, akses pendidikan anak usia dini (PAUD) untuk semua dan investasi pada PAUD bisa menghasilkan anak berprestasi dan mampu menyelesaikan sekolah yang lebih tinggi. Selanjutnya, diperlukan penelaahan APBN dan APBD bidang pendidikan guna memastikan perencanaan anggaran pendidikan yang terpadu, satu pintu, untuk memenuhi amanat UUD soal pendidikan yang harus dilaksanakan dalam satu sistem pendidikan nasional.
Lalu, perlu dipastikan sinergitas antara perencanaan dan penganggaran pembangunan pendidikan dari tingkat pusat, provinsi, sampai kabupaten/kota. Tak kalah penting, memastikan anggaran pendidikan digunakan untuk program-program yang memperbaiki hasil belajar siswa dan anggaran pendidikan digunakan secara efektif, efisien, dan akuntabel.
Baca juga Memimpikan Kurikulum Inklusif
Lebih lanjut, pemerintah pusat dan pemda perlu meningkatkan anggaran yang diberikan langsung ke sekolah-sekolah di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) dan sekolah-sekolah yang hasil belajarnya belum baik agar tambahan anggaran ini bisa mendorong kualitas belajar siswa. Karena sekitar 55 persen APBN untuk pendidikan diberikan langsung ke kabupaten/kota dan provinsi di seluruh Indonesia, perlu ada insentif dan disinsentif yang jelas dan penetapan indikator kinerja utama pemda dalam pencapaian peningkatan mutu pendidikan untuk mempertanggungjawabkan dana APBN yang diberikan langsung ke daerah itu.
*Artikel ini terbit di kompas.id, Kamis 2 Mei 2024