Strategi “Dua Tangan” Trump di Timur Tengah
Oleh: Hasibullah Satrawi
Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam
”Madu di tangan kananmu. Racun di tangan kirimu”. Demikian salah satu lirik lagu yang sangat popular pada tahun 1980-an dengan judul ”Madu dan Racun”. Sepenggal lirik lagu ini bisa digunakan untuk memahami kebijakan politik luar negeri Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, yang baru dilantik pada 20 Januari 2025.
Sebagaimana dimaklumi, Trump memulai masa kepemimpinan keduanya sebagai Presiden AS dengan pencapaian fantastis; berhasil memaksa Hamas dan Israel untuk melakukan gencatan senjata yang berlaku per 19 Januari, persis satu hari sebelum pelantikan Trump.
Memang banyak pihak yang berperan dalam gencatan senjata yang masih berlangsung hingga hari ini, tetapi peran Trump (melalui utusan khususnya Steve Witkoff) sangat menentukan. Tanpa peran Trump mungkin gencatan senjata masih bernasib seperti sebelumnya; gagal dan gagal, khususnya disebabkan Netanyahu yang secara politik hanya bisa bertahan melalui kebijakan perang.
Baca juga Timur Tengah 2025
Inilah ”kebijakan madu” yang diperlihatkan Trump melalui ”tangan kanannya”; sebuah kebijakan yang sangat dibanggakan Trump (sesungguhnya secara obyektif bisa dikatakan memang sangat membanggakan).
Walaupun, kebijakan ini sebenarnya lebih akomodatif terhadap keinginan Hamas daripada Netanyahu yang justru diharuskan untuk terus berperang agar tidak kehilangan dukungan dari kelompok kanan dan tidak kehilangan pemerintahannya, juga untuk memperpanjang waktu sekaligus menghindar dari kejaran pengadilan dalam kasus korupsi yang dituduhkan kepada Netanyahu.
Oleh karena itu, keputusan Trump mendukung gencatan senjata dan akhirnya diterima oleh Netanyahu bisa dipastikan diimbangi dengan kebijakan Trump yang selama ini terbukti memberikan kemenangan besar sekaligus strategis bagi Israel (seperti dalam kasus pemberlakuan perjanjian Abraham antara Israel dan beberapa negara Arab). Dalam hemat penulis, inilah salah satu hal yang membuat Netanyahu lebih senang kepada Trump daripada Joe Biden. Netanyahu juga lebih mendukung Trump untuk menjadi Presiden AS daripada Kamala Harris. Dukungan Netanyahu terhadap Trump tidak hanya bersifat slogan, tetapi dilakukan dengan terus melanjutkan perang sekaligus melawan arahan kebijakan politik luar negeri Joe Biden yang ingin segera ada gencatan senjata.
Baca juga Krisis Literasi Digital
Dalam sebuah kesempatan, penulis mengibaratkan perang Gaza yang terus dilanjutkan Netanyahu tak ubahnya kisah ”pasir isap” yang menyedot habis popularitas Joe Biden dan Kamala Harris sebagai lawan Trump. Semakin Joe Biden dan Kamala Harris ”bergerak” terkait perang Israel-Hamas, semakin dalam tersedot ”pasir isap” yang ada hingga Kamala Harris benar-benar tenggelam dalam kekalahan. Sementara Trump berhasil menjadi Presiden AS kembali.
Apa kebijakan penyeimbang yang dijanjikan Trump kepada Netanyahu hingga Netanyahu mau menerima gencatan senjata yang terus dieksploitasi oleh Hamas sebagai kemenangannya sekaligus kekalahan Israel? Tidak lama ini, Trump menyampaikan wacana relokasi warga Gaza ke Mesir dan Jordania dengan alasan rekonstruksi kota yang telah hancur akibat serangan membabi buta yang dilakukan Israel. Inilah salah satu kebijakan penyeimbang ala Trump.
Dari perspektif perdamaian (khususnya Israel dan Palestina), kebijakan ini bisa dipahami sebagai ”kebijakan racun” yang mulai diperlihatkan oleh Trump melalui ”tangan kirinya”. Dikatakan demikian karena kebijakan seperti ini hanya berarti damai bagi Israel, tetapi tidak bagi Palestina, yang akhirnya kedua belah pihak (Israel dan Palestina) tidak mendapatkan perdamaian.
Pada tahap tertentu, Trump tampak memaksakan rencananya itu. Walaupun Presiden Mesir dan Raja Jordania sempat menyatakan menolak rencana itu, Trump masih bersikeras dengan ungkapan yang kurang lebih berbunyi; saya yakin Mesir dan Jordania akan menerima penduduk Gaza. Bahkan Trump juga mengungkit jasa-jasa AS selama ini terhadap Mesir dan Jordania dengan ungkapan lebih kurang; kita sudah banyak bantu mereka.
Baca juga Menyambut Gencatan Senjata Israel-Hamas
Sikap memaksa dari Trump dibalas dengan sikap yang lebih kurang sama oleh Jordania dan Mesir. Bahkan Mesir dan Jordania melibatkan juga beberapa negara Arab berpengaruh di Timur Tengah (Arab Saudi, Qatar dan Emirat Arab) yang mengadakan Pertemuan Tingkat Menteri Luar Negeri di Kairo, Minggu (2/2/2025) dan menghasilkan keputusan menolak rencana relokasi paksa warga Gaza.
Tak seperti lagu ”Madu dan Racun” yang tangan sang kekasih masih ada di balik punggungnya (aku tak tahu manakah yang akan kau berikan padaku), tangan kanan Trump telah terlihat memberikan ”kebijakan madunya”. Sementara ”tangan kirinya” juga mulai terlihat menampakkan ”kebijakan racunnya”. Inilah yang penulis maksud sebagai strategi dua tangan yang saat ini dimainkan oleh Trump, khususnya terkait dengan kebijakan perang Israel-Hamas.
Ada beberapa kebijakan racun lain yang sudah diberlakukan Trump dalam konteks perang Israel-Hamas, seperti kebijakan mengizinkan pengiriman kembali bom-bom berat ke Israel yang sempat ditangguhkan oleh mantan Presiden Joe Biden. Trump juga mencabut hukuman yang diberlakukan oleh Joe Biden terhadap warga ekstremis Yahudi yang kerap berulah di Tepi Barat. Bahkan Trump juga diberitakan akan mengusut para pihak di AS yang dianggap mendukung Hamas sekaligus anti-Israel, khususnya di lingkungan pendidikan yang sempat diramaikan dengan pelbagai macam aksi kritik terkait perang membabi buta yang dilakukan Israel di Gaza.
Maka, pertanyaannya adalah strategi manakah yang akan dimenangkan Trump ke depan? Dalam bacaan penulis, Trump akan menggunakan segala daya untuk memenangi strategi tangan kirinya. Beberapa pernyataan yang disampaikan Netanyahu dan Trump dalam pertemuan perdana setelah pelantikan Presiden AS pada 20 Januari lalu mencerminkan upaya keras keduanya memenangi strategi kanan kiri di atas.
Baca juga Bahaya Mengancam Anak di Ranah Daring
Sebagaimana dimaklumi bersama, Netanyahu berkunjung dan bertemu dengan Trump di Gedung Putih pada Selasa (4/2/2025) waktu setempat. Netanyahu menjadi presiden pertama dari negara luar yang diterima oleh Trump sebagai presiden terpilih. Pertemuan ini menjadi simbol betapa istimewanya Netanyahu (secara pribadi) dan Israel (sebagai bangsa) dalam pandangan Trump. Dalam sesi jumpa pers, Netanyahu dan Trump menyampaikan beberapa pokok pikiran seperti terkait pentingnya memastikan Iran tidak memiliki senjata nuklir, pentingnya membangun Gaza sebagai kota internasional yang tidak akan menjadi ancaman kembali bagi Israel (di bawah kekuasaan AS), dan tentu saja terkait upaya mengalahkan sekaligus menghancurkan Hamas.
Sementara di sisi lain, Hamas menolak kalah dan menyerah. Hamas menolak pernyataan dan rencana Trump. Belakangan Hamas justru menggunakan gencatan senjata sebagai panggung mewah untuk memamerkan kemenangannya atas Israel.
Hamas juga menggunakan gencatan senjata sebagai media untuk menyiarkan kebohongan tentara ataupun kebijakan pemerintahan Israel di bawah kepemimpinan Netanyahu, seperti klaim keberhasilan Israel membunuh Komandan Batalion Pantai (Katibah As-Syathi’), Haitsam Al-Hawajiri pada 3 Desember 2023 lalu. Padahal, Al-Hawajiri justru tampil segar bugar pada momen pembebasan sandera Israel tahap keempat kemarin (Aawsat.com, 1/2).
Baca juga ”Golden Period” Perang Israel-Iran
Trump dan Netanyahu mungkin ingin memenangi kebijakan tangan kiri yang ada, tetapi hal ini masih sangat tergantung dengan pandangan dan sikap warga AS (bahkan mungkin juga masyarakat dunia). Terutama pada saat penampilan dan kebijakan Trump pada masa pemerintahan keduanya kali ini tampaknya cenderung tidak berubah dari penampilan dan kebijakan pada pemerintahan periode pertamanya.
Mulai dari pernyataan yang sering kontroversial hingga kebijakan ekonomi yang tidak bersahabat dengan negara-negara yang selama ini justru bersahabat dengan AS (termasuk Uni Eropa). Ditambah lagi dengan kebijakan Trump yang justru mempertahankan friksi politik internal AS dengan meminggirkan para pejabat yang dianggap pro Joe Biden atau pendukung Partai Demokrat. Bahkan Trump diberitakan akan membidik para penegak hukum yang telah memproses banyak persoalan hukum yang dituduhkan kepadanya selama ini.
Apabila kebijakan-kebijakan seperti di atas benar-benar dilakukan dan dilanjutkan, bukan tidak mungkin arah angin politik justru berbalik menerjang Trump. Terlebih lagi kebijakan-kebijakan Trump tidak didukung oleh negara-negara yang selama ini bersahabat dengan AS, baik di kalangan dunia Barat maupun di kalangan negara-negara Timur Tengah. Alih-alih mendapatkan dukungan, kebijakan Trump justru mendapatkan tantangan keras dari negara sahabat seperti diperlihatkan Mesir dan Jordania terkait rencana relokasi paksa warga Gaza.
Baca juga Mikraj Kebangsaan
Dalam konteks Timur Tengah, secara realistis Trump sebenarya bisa melanjutkan kebijakan Perjanjian Abraham yang telah diberlakukan pada pemerintahannya periode pertama dengan perbaikan yang sangat mendasar, yaitu memasukkan unsur kemerdekaan Palestina sebagai jaminan atau syarat bagi pengakuan negara-negara Arab terhadap Israel. Inilah salah satu substansi solusi dua negara.
Walaupun mungkin sebagian pihak di Israel dan di Palestina (plus dunia Arab) ada yang masih menolak solusi ini, tetapi sejauh ini tidak ada solusi lain yang menimbulkan korban atau mudarat lebih ringan bagi kedua belah pihak. Tanpa solusi dua negara, bukan ”keuntungan” yang didapat dari sebuah transaksi terkait konflik Israel-Palestina, termasuk transaksi abad ini sebagai sebutan lain dari Perjanjian Abraham. Namun justru kerugian besar di kedua belah pihak seperti terlihat dalam perang Gaza kali ini.
* Artikel ini telah tayang di Kompas.id edisi Jumat, 7 Februari 2025.