Buku di Bayang-bayang Kecerdasan Buatan
Oleh: Wawan Kurniawan,
Peneliti Psikologi Sosial di Laboratorium Psikologi Politik Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Saat ini kita tiba pada gempuran kecerdasan buatan yang nyaris tak terbendung lagi. Tentu saja, kehadiran kecerdasan buatan punya dampak yang dirasakan berbagai pihak. Orang-orang pada akhirnya bergantung dan mencoba memanfaatkan kesempatan yang ada, termasuk dalam dunia penulisan.
Kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) dapat diperintahkan untuk menghasilkan teks layaknya seorang penulis. Di saat yang bersamaan, kita dipaksa untuk memaknai kembali makna kreativitas dan keunikan dari suatu pemikiran manusia yang sebenarnya. Friedrich Nietzsche, dalam karyanya, Beyond Good and Evil, terdapat salah satu pesan bahwa ”It is not the strength, but the duration of great sentiments that makes great men”.
Baca juga Tidak Semua Orang Bisa Menjadi Pendidik
Pesan tersebut bisa saja relevan saat kita menilai kapabilitas AI dalam penulisan—di mana mesin mungkin mampu menciptakan teks yang kompleks dan informatif, tetapi sering kali gagal dalam mempertahankan nuansa emosi dan kedalaman pemikiran seorang manusia.
Hal ini mengingatkan kita bahwa di balik efisiensi yang ditawarkan oleh teknologi canggih, keotentikan dan kedalaman emosional tetap menjadi kualitas yang tak tergantikan yang hanya bisa dimiliki oleh karya manusia. Benarkah demikian?
Baca juga Berlarilah Menuju Allah
Dalam bukunya yang berjudul AI Superpowers, Kai-Fu Lee membahas bagaimana kehadiran kecerdasan buatan dalam dunia penulisan telah memunculkan serangkaian pertanyaan yang mendalam tentang masa depan kreativitas manusia.
Meskipun penggunaan AI dalam penulisan menawarkan efisiensi dan inovasi, banyak kritik yang muncul, terutama dari kalangan akademisi dan penulis. Salah satu kekhawatiran utama adalah hilangnya nuansa manusiawi dan kedalaman analitis yang biasanya ditemukan dalam tulisan yang dihadirkan manusia.
Baca juga Efek Kobra Publikasi Ilmiah
Kecerdasan buatan (AI), meskipun memilliki kecanggihan luar biasa, sering kali menghasilkan teks yang kurang empati dan pemahaman mendalam tentang konteks sosial dan budaya, yang krusial dalam banyak aspek penulisan, terutama dalam karya sastra dan akademis. Selain itu, ada kecemasan tentang potensi AI untuk memudarkan keaslian karya dengan menghasilkan konten yang seragam, yang dapat mengurangi keragaman intelektual dan kreativitas.
Pertanyaan lebih lanjut, jika menulis dapat menggunakan AI, apa kabar buku-buku yang akan kita terbitkan di masa depan?
Masa depan buku
Saat teknologi terus berkembang, buku sebagai medium pengetahuan dan hiburan mungkin akan mengalami perubahan drastis dalam cara mereka diproduksi, didistribusikan, dan dikonsumsi. Ada pula kekhawatiran bahwa penggunaan AI dalam penulisan dan penerbitan buku mungkin juga akan memperburuk masalah seperti pengawasan privasi dan hak cipta.
Kecemasan ini diperkuat dengan kesulitan kita untuk membedakan hasil AI atau hasil manusia. AI, dengan kecenderungan menghasilkan teks berdasarkan algoritma yang mengutamakan efisiensi, berpotensi menghasilkan karya yang homogen—kehilangan keunikan dan kedalaman yang hanya dapat dicapai melalui sentuhan manusia.
Baca juga Islam dan Kerangka Etik Perubahan Sosial
Hal ini tidak hanya mengancam keberagaman intelektual dan kreatif dalam bidang sastra, tetapi juga membahayakan pengalaman mendalam yang secara berbeda dimiliki buku. Karya yang dihasilkan oleh AI mungkin memenuhi standar tertentu dalam hal kuantitas dan aksesibilitas, tetapi sering kali kekurangan dalam hal kualitas dan resonansi emosional sehingga memudarkan peran buku sebagai cerminan dari pengalaman dan pemikiran manusia yang otentik.
Selain itu, posisi antara penulis manusia dan algoritma AI dalam penciptaan karya sastra atau bentuk tulisan lainnya menimbulkan pertanyaan serius tentang masa depan bahasa dan ekspresi kreatif. Buku tidak hanya sebagai wadah informasi, tetapi juga sebagai medium untuk transmisi budaya, emosi, dan filosofi hidup yang mendalam.
Baca juga Mencegah Perundungan di Sekolah: dari Kebijakan ke Gerakan
Ketika AI mulai mendominasi ruang kreatif ini, kita berisiko kehilangan tekstur dan resonansi yang hanya bisa diberikan oleh interaksi manusia dengan bahasanya, yang telah dipupuk sepanjang sejarah panjang peradaban. Implikasi dari fenomena ini mungkin lebih dari sekadar perubahan dalam cara kita menulis; ini bisa menjadi pergeseran dalam cara kita berpikir dan merasakan, memengaruhi esensi kemanusiaan itu sendiri.
Dalam upaya memastikan bahwa buku tetap menjadi sumber kekayaan intelektual dan emosional, penting bagi masyarakat dan pembuat kebijakan untuk merumuskan strategi yang membatasi penggunaan AI dalam penulisan kreatif. Kita harus mengadvokasi pembatasan yang bertanggung jawab, memastikan bahwa teknologi ini digunakan sebagai alat bantu yang melengkapi proses kreatif, bukan menggantikannya.
Baca juga Membendung Perundungan dengan Sinergitas Tripusat Pendidikan
Selain itu, di bidang akademis, tantangan yang dihadirkan AI dalam penulisan menjadi lebih kompleks dan krusial. Dalam akademia, keakuratan dan keaslian penulisan tidak hanya penting untuk integritas ilmiah, tetapi juga esensial dalam memajukan pengetahuan.
Kecerdasan buatan yang digunakan untuk menulis makalah atau artikel ilmiah mungkin dapat menghasilkan teks yang tampak meyakinkan secara permukaan, tetapi sering kali kekurangan pemahaman mendalam tentang teori dan konteks yang diperlukan untuk analisis yang benar-benar bermakna.
Baca juga Merindukan Kebiasaan Membaca Buku di Mana Saja
Masalah ini mengemuka terutama dalam disiplin ilmu yang membutuhkan penalaran kritis dan pemikiran abstrak, seperti dalam filsafat dan ilmu sosial, di mana nuansa argumen dan keterkaitan teoretis tidak dapat sepenuhnya direplikasi oleh algoritma.
Kehadiran AI dalam penulisan akademis mengundang risiko plagiarisme dan integritas intelektual. Dalam konteks ini, penting bagi lembaga akademis untuk menetapkan garis-garis pedoman yang jelas mengenai penggunaan AI dalam penulisan ilmiah, memastikan bahwa setiap karya yang melibatkan AI diakui secara transparan dan digunakan secara etis untuk mendukung bukan menggantikan peneliti manusia.
Baca juga Selepas Ramadhan Berlalu
Maka, dalam dunia yang semakin didigitalisasi dan didominasi oleh data, kita butuh kembali membaca buku-buku klasik yang menawarkan suatu pelarian ke dalam dunia di mana nilai kemanusiaan dan interaksi interpersonal masih begitu kental. Membaca buku klasik menjadi semacam perjalanan wisata jiwa yang membawa kita kembali ke era di mana narasi dibangun melalui persepsi mendalam dan perenungan yang cermat, bukan melalui algoritma yang tertata dan terhitung.
Buku-buku dari penulis terdahulu berpeluang mengingatkan kita kepada pentingnya introspeksi dan dialog internal, komponen-komponen yang menjadikan kita menjadi manusia. Mereka mengajarkan kita untuk menghargai keindahan bahasa, kekuatan retorika, dan kehalusan metafora, yang semua itu adalah aspek yang sering terabaikan dalam teks yang dihasilkan oleh AI.
*Artikel ini terbit di kompas.id, Selasa 30 April 2024