20/08/2024

Kemerdekaan dan Pendidikan

Oleh: Musa Asyarie,
Direktur Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga

Tanggal 17 Agustus 2004 ini kita memperingati Proklamasi Kemerdekaan Ke-59 Republik Indonesia. Lazimnya peringatan ulang tahun, seharusnya tidak hanya menjadi acara seremonial, tetapi harus dapat menggugah, membangkitkan kesadaran, dan mendorong kreativitas bangsa dalam menghadapi tantangan realitas kehidupan berbangsa dan bernegara yang masih jauh dari cita-cita kemerdekaan itu sendiri.

Soal kemiskinan, pengangguran, rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM), ketidakadilan sosial, ekonomi, politik, hukum, dan budaya yang besar berlawanan dengan hakikat kemerdekaan sejati.

Orang merdeka berarti merdeka dari kemiskinan dan kebodohan, lalu menjadi bangsa mandiri dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, hukum, dan budaya dengan terwujudnya keadilan sosial yang kian luas. Inilah cita-cita kemerdekaan yang melandasi kehidupan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk menjadi alat dan medan perjuangan bagi terselenggaranya kehidupan bangsa yang cerdas, adil, sejahtera, dan dapat mewujudkan perdamaian abadi, seperti ditegaskan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi landasan kenegaraan kita.

Baca juga Proklamasi Kemerdekaan yang Sarat Makna

Kekayaan NKRI dengan kandungan alamnya yang besar, kehutanan, perkebunan, pertambangan, dan kelautan ternyata telah memiskinkan kehidupan rakyatnya sendiri, dengan rendahnya pendapatan per kapita di bawah 1.000 dollar AS, kualitas SDM-nya ada di ranking ke-112 dunia di bawah Vietnam yang baru merdeka, tingkat korupsinya di ranking terbesar dunia, dan kita menjadi bangsa pengimpor beras terbesar di dunia yang mencapai 3,7 juta ton/tahun, belum lagi gula, kedelai, bahkan garam. Padahal, kita adalah negara agraris dengan kepulauan yang mahaluas lautnya.

Atas nama kemerdekaan, terhampar di hadapan kita suatu ironi kehidupan yang kian jauh dari makna kemerdekaan itu sendiri. Faktanya kehidupan petani kita kian terpuruk karena harga jual gabah makin jatuh dibandingkan dengan harga barang-barang lain, daya beli menurun, sementara lahan pertanian kian menyempit, padahal petani merupakan jumlah terbesar dari penduduk kita di perdesaan. Keadilan terasa makin tak terjangkau rakyat kecil dengan dibebaskannya para koruptor besar, sementara rakyat kecil yang terdesak oleh kebutuhannya sehingga terpaksa mencuri ayam dan dipenjara, bahkan perampok sepeda motor yang tertangkap basah dibakar sampai mati. Apa artinya memperingati kemerdekaan NKRI bila ternyata kehidupan rakyat makin sengsara?

Pendidikan yang memerdekakan

Dunia pendidikan kita ternyata juga tidak memerdekakan anak didik karena ilmu pengetahuan yang diajarkan tidak dapat membebaskan dirinya menjadi manusia mandiri secara sosial dan ekonomi, sebaliknya terperangkap pada feodalisme baru dengan mengejar gelar tanpa isi keilmuan aktual. Akibatnya, kian banyak pengangguran kaum terpelajar, dan rakyat mulai frustrasi menghadapi dunia pendidikan yang cenderung makin elitis, feodalistik, mahal, tak terjangkau kantong rakyat, dan tidak terkait dengan realitas perubahan kehidupan mereka yang semakin baik.

Baca juga Jamaah Islamiyah, dari Johor Berakhir di Bogor

Konsep keilmuan yang diajarkan belum dapat memerdekakan anak didik, dengan memacu kemampuan kreativitasnya untuk menghadapi tantangan kehidupan di sekitarnya secara cerdas karena anak didik tidak diajarkan secara benar untuk mengetahui dan memahami realitas kehidupan sendiri. Hal ini disebabkan kehidupan mereka sebenarnya telah terjauhkan dari pemahaman terhadap realitas secara benar dan aktual, seperti pengajaran ilmu tentang ekonomi, tetapi dengan menggunakan setting realitas yang tidak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari karena ilmu ekonomi dirumuskan oleh orang dengan realitas berbeda dengan kehidupan sendiri. Ilmu ekonomi Barat yang kapitalistik tentu jauh dari realitas kehidupan ekonomi bangsa kita yang berbasis usaha mikro, kecil, dan menengah yang ada di perdesaan.

Hal yang sama terjadi dalam pendidikan agama. Agama diajarkan dengan semangat antirealitas. Akibatnya, realitas sosial dan budaya yang plural sering menjadi pembatas kaku yang membuat jarak perbedaan kian mengeras, lalu memicu konflik karena tergerusnya rasa saling menghormati terhadap pluralitas pemikiran dalam kehidupan sosial, politik, dan keagamaan. Pendidikan agama yang seharusnya dapat memperkaya dimensi spiritualitas untuk mengasihi sesama telah terjebak dalam pemikiran sempit, menghujat, lalu menghancurkan pluralitas kemanusiaan yang universal.

Sebuah ilmu pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari realitas, baik ilmu sebagai produk, proses, maupun masyarakat. Di sisi lain, tidak pernah ada realitas yang tetap karena hakikat realitas adalah berubah. Realitas dibidik seorang ilmuwan, dirumuskan dalam teori. Maka, saat teori itu diajarkan, sebenarnya realitas telah berubah. Apalagi dalam rentang waktu panjang saat anak didik menyelesaikan pendidikannya, dengan segera merasakan betapa tidak cukupnya ilmu yang diterima dalam dunia pendidikan untuk menjawab realitas di hadapannya yang terus berubah.

Baca juga Pesan Damai Grand Sheikh Al-Azhar dan Antikekerasan

Pendidikan kita harus diubah menjadi realitas. Pendidikan harus menyerap realitas dan menjadi jawaban atas realitas. Karena itu, pendidikan adalah dunia perubahan terus-menerus, tidak hanya untuk menghafal teori-teori saja, tetapi untuk berteori sesuai dengan perubahan realitas.

Sebagai sebuah proses perubahan, pendidikan harus membentuk konstruksi pemikiran anak didik yang dinamis, terbuka, dan merdeka guna mengembangkan kemampuan kreativitasnya menghadapi tantangan perubahan hidup.

Kepemimpinan bangsa

Dalam usia ke-59 kemerdekaan, NKRI sedang bergulat mengatasi aneka problem kompleks karena semua ruang kehidupan publik telah goyah tergerus korupsi. Akibatnya, kesenjangan kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya, hukum, dan agama kian tajam dan keadilan kian jauh. Dalam situasi demikian, NKRI memerlukan kepemimpinan bangsa yang kuat. Bila tidak, bangsa ini akan semakin sulit dapat keluar dari krisis multidimensi. Kepemimpinan yang kuat secara moral, intelektual, dan manajerial.

Kepemimpinan bangsa yang kuat secara moral adalah terwujudnya keteladanan hidup yang nyata yang ada dalam perilaku hidup seorang pemimpin. Bila pemimpin tidak bisa menjadi sumber keteladanan hidup bagi rakyatnya, kehidupan rakyat akan mengalami kekacauan yang kompleks, standar nilai-nilai moralitas tidak jelas, baik dan buruk ditentukan oleh permainan kekuasaan.

Baca juga Tentang Pembubaran JI

Dalam situasi krisis moralitas, rakyat tidak akan berdaya mengatasinya sendiri, dan akan mengakibatkan terjadinya kekacauan, konflik, dan kejatuhan. Sejarah bangsa-bangsa di dunia menunjukkan, eksistensi suatu bangsa ditentukan moralitasnya. Kejatuhan moralitas membuat suatu bangsa kehilangan kepribadian dan tidak mampu menghadapi perubahan.

Kepemimpinan bangsa yang kuat secara intelektual adalah kemampuan seorang pemimpin merumuskan dengan jelas masa depan kehidupan bangsa yang ideal yang hendak dicapai. Kemampuan intelektual seorang pemimpin amat diperlukan guna menghadapi tantangan dan perubahan yang akan selalu muncul dalam setiap tahap perkembangan kehidupan bangsanya. Selain itu, di saat-saat sulit, kemampuan intelektual seorang pemimpin segera dapat mencerahkan bangsanya karena kemampuannya melihat persoalan secara jernih sehingga dapat menemukan jalan keluarnya secara cerdas. Tidak gemar berkeluh kesah dan menyalahkan orang lain, apalagi menyudutkannya. Kecerdasannya dapat menuntun untuk bersikap arif sehingga menyejukkan kehidupan rakyatnya.

Baca juga Beragama Maslahat untuk Kesejahteraan Masyarakat

Kepemimpinan yang kuat secara manajerial adalah kemampuan pemimpin mengaktualisasikan gagasannya dalam realitas kehidupan secara nyata, tidak hanya pandai berbicara, tetapi juga mampu mewujudkan apa yang dikatakan menjadi kenyataan. Satunya kata dengan perbuatan. Seorang pemimpin tidak hanya pandai mengorganisasi gagasannya secara efektif, tetapi juga dapat membangun sistem jaringan kerja sama yang produktif. Seorang pemimpin harus mampu membangun sistem manajemen yang baik dan sehat sehingga siapa pun yang masuk sistem itu, dengan sendirinya akan bekerja dengan baik, dinamis, dan produktif untuk kepentingan rakyat yang lebih besar, bukan sebaliknya.

NKRI akan dirundung malang jika kepemimpinan bangsa amat lemah, baik secara moral, intelektual, maupun manajerial. Akibatnya, perilaku elite politik kian tidak dapat dikendalikan, kehidupan rakyat kian terpuruk oleh berbagai konflik kekerasan berkepanjangan.

*Artikel ini terbit di kompas.id, Jumat 16 Agustus 2024

Baca juga Melampaui Program Moderasi Beragama

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *