Pesan Damai Grand Sheikh Al-Azhar dan Antikekerasan
Oleh: Syamsul Maarif,
Guru Besar UIN Walisongo dan Instruktur Nasional Moderasi Beragama Kemenag RI
Kunjungan Grand Sheikh Al-Azhar (GSA) Dr Ahmed Al-Tayeb bersama rombongan dari Mesir ke Indonesia, selama empat hari (8-11 Juli 2024), membawa pesan damai ke seluruh dunia.
Pada kunjungan ketiga kali ini, sebagaimana lawatan sebelumnya pada 2016 dan 2018, ia konsisten sebagai inspirator perdamaian, membangun koeksistensi dalam keragaman, meresonansi moderatisme beragama (ta’zizul wasathiyah), toleransi, dan menjaga persaudaraan kemanusiaan.
Dalam berbagai agenda yang diikutinya, GSA menyampaikan berbagai pandangan dan pesan substantif, sangat dalam, dan relevan dengan realitas problematika kontemporer. Terutama terkait fenomena hubungan, komunikasi, dan interaksi antarmanusia yang sangat mengkhawatirkan karena kehidupan manusia sekarang telah memperlihatkan ketegangan global, baik dalam ruang digital (maya) maupun dunia nyata.
Baca juga Tentang Pembubaran JI
Terkait meningkatnya eskalasi konflik di Timur Tengah, seperti antara Israel dan Palestina, GSA bahkan dengan tegas menuntut segera penghentian agresi terhadap Gaza. Sebuah perang dan agresi militer yang sangat memilukan; menimbulkan krisis kemanusiaan sangat serius, berdampak negatif pada hubungan antarnegara, serta memunculkan tragedi baru dan merusak relasi antaragama.
Di Indonesia, GSA, antara lain, bertemu Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana, mengisi kuliah umum di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, berkunjung ke Pusat Studi Al Quran, bertemu pengurus PBNU, dan melakukan dialog dengan berbagai tokoh agama dengan tema ”Interreligious and Intercivilizational Reception”.
Presiden Jokowi memuji peran Mesir dalam memfasilitasi masuknya bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza.
Baca juga Beragama Maslahat untuk Kesejahteraan Masyarakat
Ketika mengisi Muhadharah ’Amah di UIN Syarif Hidayatullah, GSA secara khusus menyoroti kian melemahnya peradaban Islam. Kekuatan peradaban Islam yang pada awalnya didirikan atas dasar keseimbangan dan keadilan, kini mengalami penurunan kualitas.
Selain akibat penetrasi dan strategi pecah belah atau adu domba dari pihak luar, juga karena faktor internal umat Islam yang telah melenceng dari Al Quran dan Al Sunnah (tidak adanya kesesuaian antara das sollen dan das sein).
Bahkan, jika berkaca dengan masyarakat Indonesia, semakin meningkatnya penetrasi paham radikal-intoleran, hoaks, dan polarisasi yang sangat tajam akibat fanatisme agama dan klaim kebenaran; berpotensi memunculkan perpecahan dan berdampak sangat luar biasa bagi kesehatan mental masyarakat.
Baca juga Melampaui Program Moderasi Beragama
GSA mengungkapkan keprihatinannya terhadap fenomena ekstremisme, aksi-aksi terorisme, kejahatan kemanusiaan, dan bahkan konflik yang mengatasnamakan agama, yang terjadi selama ini.
Semua itu, oleh sebagian orang, bahkan dianggap telah mendorong kemunculan sekulerisme dan ateisme. Richard Dawkins dalam buku The God Delusion (2012), misalnya, membuat pengakuan mengejutkan, saat agama dianggap memberikan justifikasi terhadap setiap kebencian dan kekerasan atas nama Tuhan.
Meski begitu, pernyataan Dawkins bisa dikatakan sangat gegabah dan terlalu menggeneralisasi karena sejatinya agama tak ada kaitan dengan terorisme (terrorism has no religion).
Baca juga Revolusi Jiwa Berkorban
Seringnya konflik, pertikaian, vandalisme (perusakan) sarana tempat-tempat ibadah, intimidasi, dan merebaknya aksi-aksi kekerasan mengatasnamakan agama sejatinya bukanlah dogma otentik agama-agama.
Dalam historisitasnya, akar konflik, permusuhan, saling menyalahkan, saling mengafirkan antaragama, dan tega membunuh orang lain atas nama jihad atau perang suci—sebagaimana penjelasan Bernard Lewis dalam Cultures in Conflict Christian, Muslim, and Jews (1995)—disebabkan faktor klaim kebenaran, keselamatan, dan klaim universal tiap-tiap agama dan kemudian diikuti berbagai nafsu kepentingan duniawi, seperti politik, ekonomi, dan ekspansi kekuasaan.
Bukankah setiap agama sejatinya mengajarkan kedamaian dan kasih sayang kepada sesama? Agama menuntun manusia meniti jalan lurus, berpihak pada kebenaran, memperoleh keselamatan, dan kebahagiaan hakiki. Seseorang yang meyakini ajaran agama dengan baik seharusnya semakin bisa menampakkan karakter Allah yang Maha Rahman dan Rahim.
Baca juga Soal Pengalaman Bernegara Kita
Bahkan, Al Quran senantiasa menekankan kemurahan dan belas kasih Allah (Izutsu, 2002: 19). Begitu pula Injil menanamkan rasa cinta dan kasih sayang. ”Blessed are the merciful, for they shall obtain mercy” (Matthew 5:7 ESV). ”Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata padamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu (Matius 5: 43-44).
Pesan kuat GSA, Menteri Agama, dan para tokoh agama ketika memberikan sambutan pada acara resepsi interfaith yang digelar PBNU pada 10 Juli 2024 adalah ”semakin kuat keimanan seseorang seharusnya semakin berkarakter baik, toleran, dan peka terhadap perbedaan”.
Memiliki cara pandang yang tawazun (bijaksana dan seimbang), ta’adul (adil), serta tasamuh (toleran dan saling menghormati). Bersikap moderat seperti ini akan melahirkan suatu pandangan bijaksana serta mengedepankan kesatuan dan kesetaraan di tengah keanekaragaman.
Baca juga Mengatur Jurnalisme di Platform Digital
Moderatisme menjadi jalan untuk memahami bahwa keanekaragaman yang ada adalah kehendak Allah. Pada saat bersamaan, sikap yang moderat menjadi kekuatan untuk kembali kepada Allah.
Dalam konteks sekarang, sikap moderat merupakan cara yang paling arif dan bijaksana untuk mencari titik temu (kalimatun sawa’) di antara berbagai perbedaan keimanan. Sebuah sikap yang memandang bahwa semua orang, terlepas dari perbedaan pemikiran, orientasi, dan cara pandangnya, pada akhirnya kembali pada esensi yang sama, yaitu menjadi makhluk Allah yang menerima kodrat penciptaannya.
Menariknya, GSA bersama tokoh-tokoh lintas agama mendorong umat beragama berteologi secara inklusif dan moderat dengan menampilkan wajah agama secara santun dan ramah. Seluruh umat agama perlu menanamkan kembali teologi kebersamaan di tengah masyarakat; demi menciptakan kemampuan saling bekerja sama, saling memahami, dan mencintai. Sekaligus melawan setiap bentuk ajakan atau narasi untuk saling membenci, menyalah-bidahkan, dan mengafirkan kelompok lain.
Baca juga Akademi Bahagia
Kalau dilihat secara kritis, konsep teologi kebersamaan dan mitigasi terhadap ekstremisme ini sangat lekat dengan ajaran fundamental agama. Semisal dalam Al Quran, sebagaimana ditegaskan oleh Abdulaziz Sachedina dalam bukunya, The Islamic Roots of Democratic Pluralism (2002).
Ia menekankan nilai-nilai universal yang bermanfaat untuk semua makhluk. Islam mengajarkan sikap inklusif terhadap ahli kitab. Memerintahkan umat Islam untuk dapat berinteraksi dengan baik pada agama lain.
GSA mengutip surat Al-Hujurat Ayat 13, sangat menganjurkan umat beragama untuk saling mengenal (taaruf), hidup rukun, dan penuh toleransi. Senada dengan hal ini, Pdt Gomar Gultom, ketika memberikan sambutan, menyatakan, ”Islam Indonesia bersifat adaptif dengan perubahan zaman, koeksistensi dalam keberagaman, dan menjunjung hak asasi manusia dan demokrasi”.
Baca juga Mengatasi Stagnasi Kualitas Pendidikan Nasional
Dalam perspektif sejarah, strategi dakwah Nabi Muhammad (kemudian diikuti para sahabat, ulama, dan termasuk para Wali Sanga di Indonesia)—ketika menyebarkan agama Islam, tidak pernah menimbulkan benturan dan polarisasi tajam di tengah-tengah masyarakat yang majemuk.
Para wali dan kiai lokal ketika berdakwah di Jawa juga tidak pernah mengharamkan budaya lokal, semisal wayang, tahlilan, serta tradisi mitoni dan midodareni.
Model dakwah seperti ini memungkinkan terjadinya sintesis harmonis. Bahkan, spiritualisasi budaya. Pada titik ini, Nabi dan para wali atau kiai lokal sejatinya mengajarkan pentingnya bisa menerima kenyataan pluralitas, mendorong hidup secara damai, mutual respect, dan rukun di tengah perbedaan.
Baca juga Sebab Jurnalisme Investigasi Harus Terus Ada
Model beragama moderat ini, pada perkembangan selanjutnya, telah mengilhami sejumlah ulama dan pemikir Muslim dalam menghadapi modernisme dengan strategi mempertemukan karakter positif moderatisme dengan nalar Islam.
Sebuah sikap bijak, daripada harus bermusuhan secara frontal dengan Barat—sebagaimana sering ditampilkan sejumlah aktivis politik dan intelektual Muslim pada abad ke-19 dan ke-20.
Namun, gerakan ulama moderat, seperti Fazlur Rahman, Muhammad Abed Al-Jabairi, dan Hasan Hanafi, bisa dikatakan terbukti lebih efektif dan berhasil karena bisa menyerap ilmu, metodologi, dan pemikiran Barat dengan tetap berpijak pada tradisi (Hanafi, 1981 & Simogaki, 1988).
Pengarusutamaan moderasi
Kebutuhan akan pemahaman moderasi beragama, menekankan nilai-nilai kemanusiaan, menghormati kultur lokal, dan menjaga persaudaraan (ukhuwwah) serta kehidupan saling menghormati sesama ciptaan Tuhan harus senantiasa digaungkan oleh para penganjur perdamaian dan pemuka agama.
Seluruh masyarakat dengan segala unsurnya harus saling tergantung dan menanggung nasib secara bersama-sama demi terciptanya perdamaian. Sekaligus berusaha mereduksi setiap bentuk eksklusivisme, fanatisme, arogansi, dan emosi—akar dari setiap konflik dan kekerasan yang sering terjadi di tengah masyarakat.
Para tokoh agama perlu meniru pandangan keterbukaan para tokoh agama besar dunia, seperti GSA dan Paus Fransiskus yang, menurut rencana, pada September nanti juga akan berkunjung ke Indonesia. Terutama dalam hal memiliki kepekaan yang lebih terkait rasa kemanusiaan dan memiliki obsesi kuat mengenai gerakan antikekerasan (counter violence).
Baca juga Metode Living Books Sebagai Media Merdeka Belajar
Melalui para tokoh inklusif ini, semua masyarakat bisa belajar untuk senantiasa kembali pada konstitusi, memperkuat nasionalisme, dan penolakan terhadap pemakaian pendekatan ”formalisme agama”. Sebab, hal ini ditengarai akan senantiasa melahirkan berbagai konflik horizontal dan perilaku anarkisme.
Tak kalah penting, bagi terealisasinya perdamaian dan persaudaraan sejati di antara orang-orang yang pada realitasnya memiliki agama dan iman berbeda adalah perlu keberanian mengajak ”membongkar” teologi agama yang cenderung ditampilkan secara eksklusif, fanatik, dan dogmatis.
Baca juga Jadilah Guru yang Menyenangkan
Kemudian, bersama-sama menuju moderatisme beragama. Meminjam pernyataan Khaled Abou el Fadl dalam The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremist (2005)—sebuah paham yang mengambil jalan tengah. Paham yang tidak ekstrem kanan dan tidak ekstrem kiri. Menempuh jalan moderasi dapat dijadikan sarana memoderasi pemikiran sempit dan menghindarkan orientasi seseorang pada pembenaran terhadap paham atau mazhab sendiri dan mengafirkan kelompok di luar kelompoknya.
Kemudian, berupaya membangun pemahaman multikulturalisme pada masyarakat sehingga timbul rasa persaudaraan, kebersamaan, dan sikap saling membantu pada sesama.
*Artikel ini terbit di kompas.id, Jumat 19 Juli 2024
Baca juga Madinah Sumbu Peradaban