Proklamasi Kemerdekaan yang Sarat Makna
Oleh: Hassan Wirajuda,
Menteri Luar Negeri RI (2001-2009) dan Ketua Pusat Studi Kebangsaan Universitas Prasetiya Mulya
Dua hari lagi bangsa Indonesia akan memperingati dan merayakan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-79. Satu-satunya hari nasional yang diperingati dan dirayakan sekaligus.
Proklamasi kemerdekaan merupakan tonggak lahirnya bangsa dan negara, menjadikan Indonesia suatu negara-bangsa (nation-state) yang pertama di dunia segera setelah berakhirnya Perang Dunia II.
Naskah proklamasi akan kembali dikumandangkan di seantero Nusantara, bahkan di berbagai belahan dunia. Pertanyaannya, tahukah kita akan makna yang paling dalam yang terkandung dalam dua kalimat dari proklamasi kemerdekaan itu?
Janji kemerdekaan
Mengantisipasi berakhirnya Perang Dunia II (1938-1945), negara-negara pemenang perang menyiapkan tatanan dunia (world order) baru yang mengatur sistem kepemerintahan dunia (world governance) pascaperang.
Di Indonesia, kita juga menyiapkan tatanan nasional (national order) seperti dijanjikan para pemimpin negara-negara sekutu: Franklin D Roosevelt (Amerika Serikat) dan Winston Churchill (Inggris) dalam Atlantic Charter 1941 yang memuat prinsip menentukan nasib sendiri (self-determination).
Khusus bagi Indonesia yang kala itu menjadi wilayah pendudukan militer Jepang (1942-1945), Perdana Menteri Jepang Kuniaki Koisho pun dalam pidato di Parlemen (Diet) pada November 1944 juga menjanjikan bahwa Indonesia akan dimerdekakan tanpa menyebut waktunya kapan.
Baca juga Jamaah Islamiyah, dari Johor Berakhir di Bogor
Apakah janji itu merupakan cermin dari kebesaran hati Pemerintah Jepang? Tidak juga, apabila dilihat dalam konteks teater perang kala itu. Sejak Juni 1944, militer Jepang dikalahkan oleh Amerika dan sekutunya pada pertempuran besar di Saipan dan Mariana yang merupakan garis pertahanan terdepan (forward defense line) Jepang di Pasifik.
Dan bulan-bulan berikutnya, Jepang menderita kekalahan demi kekalahan. Militer Jepang terdesak mundur dan menderita kekalahan demi kekalahan. Mulai dari di Solomon Islands, Papua Niugini, Papua, Halmahera, Balikpapan, Leyte (Filipina), dan selanjutnya di Okinawa (22 Juni 1945).
Memahami teater perang di Pasifik, janji Perdana Menteri Koisho dapat dibaca sebagai upaya mencegah perang terbuka meletus di Asia Tenggara, terutama di Indonesia yang kala itu berpenduduk 70 juta jiwa.
Baca juga Pesan Damai Grand Sheikh Al-Azhar dan Antikekerasan
Tak ada panglima perang yang mau mengambil risiko mempunyai dua front sekaligus. Indikasi perlawanan terbuka terhadap militer sudah dimulai oleh pemberontakan pasukan Pembela Tanah Air yang dipimpin Shodancho Supriyadi pada Februari 1945 karena mereka sudah tak tahan melihat penderitaan rakyat akibat penjajahan Jepang.
Janji Pemerintah Jepang di Tokyo tidak serta-merta menjadi motivasi utama para pendiri bangsa untuk merdeka. Lagu ”Syukur” yang digubah pada November 1944 oleh tokoh kepanduan dan seniman Husein Mutahar (yang notabene senior penulis) secara sangat khidmat mengilustrasikan keyakinan bahwa kemerdekaan itu adalah ”karunia-Mu Tuhan”.
Dari yakinku teguh, hati ikhlasku penuh/ Akan karunia-Mu/ Tanah Air pusaka, Indonesia merdeka/ Syukur aku sembahkan, kehadirat-Mu Tuhan//
Baca juga Tentang Pembubaran JI
Janji dan keyakinan akan kemerdekaan itu diterjemahkan dengan pembentukan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 28 Mei-22 Agustus 1945 untuk membentuk tatanan nasional (national order) melalui pembentukan negara-bangsa Indonesia.
Karena itulah agenda perbincangan BPUPKI berfokus pada ideologi dan dasar negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Naskah proklamasi
Jepang menyerah kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945, beberapa hari setelah Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Nagasaki dan Hiroshima.
Memperoleh informasi bahwa Jepang telah menyerah, tokoh-tokoh pejuang muda dan militan yang bermarkas di Jalan Menteng Raya No 31 pada 15 Agustus 1945 mendesak Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan pada hari itu juga, yakni 15 Agustus 1945.
Kedua pemimpin pergerakan kemerdekaan itu menolak desakan para tokoh muda dengan alasan proklamasi kemerdekaan pada hari itu akan memicu konflik bersenjata, sesuatu yang dinilai tak perlu karena penguasa militer Jepang sendiri sudah mengambil langkah-langkah untuk kemerdekaan Indonesia, antara lain dengan membentuk BPUPKI dan PPKI sejak enam bulan sebelumnya.
Baca juga Beragama Maslahat untuk Kesejahteraan Masyarakat
Alasan lain yang substantif adalah walaupun di Tokyo, Jepang sudah menyerah kepada Sekutu, militer Jepang masih bersenjata dan berkewajiban memelihara status quo ante.
Ada catatan sejarah bahwa ketika Wikana yang bersama beberapa tokoh muda memaksa Bung Karno untuk segera memproklamasikan kemerdekaan, di rumah beliau di Jalan Proklamasi No 56, Bung Karno seperti dikutip, mengatakan, ”seret aku ke pojok ruangan ini dan gorok leher saya”.
Orang-orang muda ini menyadari bahwa mereka tidak mampu memproklamasikan kemerdekaan sendiri karena mereka sendiri tidak memiliki dukungan rakyat, sekuat dukungan rakyat kepada Bung Karno dan Bung Hatta.
Baca juga Melampaui Program Moderasi Beragama
Sekelumit cerita heroik ini jadi latar belakang penculikan Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok, Karawang, pada 15 dan 16 Agustus 1945.
Ketegangan antara kelompok muda dan kelompok tua ini kembali berulang pada 16 Agustus malam, sekembalinya Bung Karno dan Bung Hatta dari Rengasdengklok dan berkumpul di rumah Laksamana Maeda Tadashi di Jalan Imam Bonjol No 49, Jakarta.
Pertentangan tajam kali ini adalah mengenai isi rancangan naskah proklamasi. Para pemuda menuntut keras agar naskah berisi kutukan terhadap Jepang, yang lagi-lagi dinilai kaum tua akan memprovokasi militer Jepang.
Baca juga Revolusi Jiwa Berkorban
Dalam perdebatan yang berkepanjangan, menurut catatan Sayuti Melik, yang menjadi sekretaris pertemuan, Bung Karno menyarankan ”gunakanlah rancangan Pembukaan UUD 1945 sebagai acuan”.
Karena alasan itu tidak mungkin kita memahami makna Proklamasi yang memuat dua kalimat sederhana itu tanpa memahami Pembukaan UUD 1945.
Kurang apresiasi
Bung Karno dalam salah satu pidato kenegaraan mengingatkan agar kita jangan sekali-kali melupakan sejarah.
Generasi muda kita tidak lagi hafal naskah proklamasi, apalagi memahami maknanya. Pada hampir semua ceramah ketika penulis meminta para mahasiswa di berbagai universitas secara sukarela melafalkan naskah proklamasi, hanya beberapa yang mampu.
Itu pun karena hampir semua segera meng-googling telepon seluler pintar mereka. Bahkan, di atas panggung di depan mikrofon, mereka tetap saja membaca teks yang diunduh dari Google. Bagi generasi pendahulu, hal itu sangat memprihatinkan, tetapi bagi kaum milenial dan Gen Z sepertinya mempertanyakan ”apa salahnya?”
Baca juga Soal Pengalaman Bernegara Kita
Merujuk kata kerja dari dua kalimat proklamasi, ketika diajukan pertanyaan ”Apakah kemerdekaan dapat dinyatakan?” Ya atau tidak, dan mengapa? Serta, kata siapa? Mengapa pada kalimat kedua digunakan kata ”pemindahan kekuasaan”, bukan ”serah terima kekuasaan”.
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu membuat mereka mumet, apalagi menjawabnya. Pastilah kemerdekaan itu dapat dinyatakan, kata kita.
Namun, apa itu kata dunia? Kata kita, ya, sebab pada rancangan Pembukaan UUD 1945, pada paragraf pertama tegas dinyatakan ”Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa”.
Terjemahan dalam bahasa Inggris-nya mungkin lebih mengena. ”Whereas independence is the inalienable rights of peoples”. Frasa ”sesungguhnya ialah hak segala bangsa” menunjukkan bahwa kemerdekaan itu bukanlah hak yang biasa, melainkan inalienable right, norma yang merupakan ius cogens.
Baca juga Mengatur Jurnalisme di Platform Digital
Atau dalam bahasa Betawi ”hak dari sono-nya” dan bukanlah hak yang terbit dari perjanjian atau produk dari proses give and take. Diperkuat keyakinan para pendiri bangsa bahwa kemerdekaan yang diproklamasikan itu diperoleh berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, maka dinyatakan ”kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa”.
Sebagai konsekuensinya, ”oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.
Tidak ada ketentuan atau norma lain dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang secara tegas mengharuskan kepada para penyelenggara negara dan rakyat Indonesia untuk menghapuskan penjajahan di atas dunia.
Hal ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia bukanlah bangsa egois, yang cukup puas dengan memerdekakan diri sendiri. Berbeda dengan proklamasi kemerdekaan bangsa Amerika dari penjajahan Inggris, yang dikandung dalam Declaration of Independence 1776.
Baca juga Akademi Bahagia
Hak kemerdekaan yang dimaksud adalah hak kemerdekaan untuk bangsa Amerika sendiri.
Kembali ke pertanyaan apakah kemerdekaan itu dapat dinyatakan? Ya kata kita, tetapi tidak kata dunia.
Mengapa? Konsepsi hak kemerdekaan (inalienable right to independence) itu merupakan inovasi para pendiri bangsa, dan itu memang jauh di muka, 21 tahun mendahului zamannya.
Sama-sama menyongsong berakhirnya Perang Dunia II, paralel dengan proses yang dilakukan BPUPKI/PPKI di Pejambon, di San Francisco juga diadakan The United Nations Conference on International Organizations (Maret-Juni 1945) guna menyiapkan pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Piagam PBB sebagai konstitusinya.
Dalam konferensi yang dihadiri 50 negara, mereka juga memperbincangkan tentang prinsip menentukan nasib sendiri (principle of self-determination) yang kemudian dimuat dalam Pasal 2 Ayat 1 Piagam PBB, tanpa dijelaskan maknanya.
Baca juga Mengatasi Stagnasi Kualitas Pendidikan Nasional
Menggali lebih dalam pada dokumen persidangan (travaux préparatoires) ternyata prinsip menentukan nasib sendiri hanya diartikan sebagai otonomi, bukan hak untuk merdeka.
Memang tidak ditutup peluang bagi bangsa terjajah untuk merdeka sepanjang hal itu disepakati, melalui perjanjian, antara negara penjajah dan wilayah jajahannya. Karena itu bukanlah inalienable right.
Inilah benturan konsepsi tentang hak merdeka yang sangat tajam antara Indonesia dan dunia pada dua dekade awal kelahiran negara-bangsa Indonesia.
Perjuangan diplomasi dan perjuangan bersenjata untuk mempertahankan dan menegakkan kemerdekaan pada lima tahun pertama sejak kelahiran Republik menjadi sangatlah berat.
Baca juga Sebab Jurnalisme Investigasi Harus Terus Ada
Dalam perjuangan diplomasi guna memperoleh pengakuan dunia terhadap negara-bangsa Indonesia menjadi sangat tidak mudah karena yang kita lawan bukan hanya Belanda, melainkan tatanan dunia, terutama sistem hukum dan politik yang tidak mengakui hak Indonesia untuk merdeka.
Tidak hanya principle of self-determination (prinsip, bukan hak) yang dimuat dalam Piagam PBB, tetapi juga Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948, yang hanya memuat hak-hak dan kebebasan individu tetapi tidak memuat hak kolektif bangsa (terjajah) untuk merdeka.
Tidak mengherankan apabila pemimpin negara-negara yang hadir pada Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955 menyatakan bahwa kemerdekaan merupakan prasyarat (pre-requisite) bagi penikmatan hak-asasi manusia.
Baca juga Metode Living Books Sebagai Media Merdeka Belajar
Tidak percaya? Pelanggaran hak asasi rakyat Palestina, termasuk genosida terus-menerus terjadi selama 76 tahun karena berada di bawah penjajahan dan pendudukan militer oleh Israel.
Menarik untuk diketahui bahwa masyarakat dunia untuk pertama kali mengakui hak kemerdekaan bagi semua bangsa baru terjadi pada tahun 1961 dengan disahkannya Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, serta Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
Pasal 1 masing-masing kovenan tersebut memuat: ”Segala bangsa mempunyai hak menentukan nasib sendiri. Atas dasar itu mereka bebas menentukan status politik dan bebas mengembangkan ekonomi dan budaya mereka”.
Baca juga Jadilah Guru yang Menyenangkan
Atau dalam teks aslinya dalam bahasa Inggris: ”All peoples have the right of self-determination. By virtue of that right they freely determine theirpolitical status and freely pursue their economic, social andcultural development”.
Capaian itu juga terjadi berkat perjuangan Indonesia dan negara-negara yang baru merdeka. Bagi kita, perjuangan itu merupakan proyeksi sistem nilai ”bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa”, yang merupakan inovasi yang genius para pendiri bangsa.
Dengan konsepsi hak kemerdekaan seperti itulah Indonesia juga ikut memodernisasi dunia, dengan menghapuskan penjajahan dan rasisme serta memajukan persamaan hak antarmanusia dan antarbangsa.
*Artikel ini terbit di kompas.id, Kamis 15 Agustus 2024
Baca juga Madinah Sumbu Peradaban