Home Opini Kemerdekaan dari Kemiskinan Karakter
Opini - Pilihan Redaksi - 20 hours ago

Kemerdekaan dari Kemiskinan Karakter

Oleh Idi Subandy Ibrahim

*Artikel ini pernah terbit di kompas.id pada 29 Agustus 2025

Mohammad Hatta, salah seorang proklamator RI, adalah seorang pria yang mengabdikan hampir seluruh hidupnya untuk cita-cita bangsanya. Mavis Rose, penulis biografi politik Hatta, menyebut riwayat hidup Wakil Presiden RI pertama, di satu sisi, menggambarkan tekad, keberanian, dan optimisme. Di sisi lain, juga menggambarkan kekecewaan dan frustrasi yang dialami seorang pemimpin ketika cita-cita demokrasinya hancur dan negara yang dicintainya kembali ke jenis pemerintahan yang serupa dengan yang telah ia dedikasikan seumur hidupnya untuk diubah.

Memasuki 80 Tahun Kemerdekaan RI, bagaimana memaknai pemikiran Hatta tetap relevan dalam imajinasi generasi milenial? Kesadaran dan pemahaman Hatta mengenai masyarakat jajahan mengkristalkan gagasannya mengenai pemerintahan demokratis dan ekonomi kerakyatan. Pengalaman berorganisasi dan menyaksikan langsung ketimpangan yang terjadi di masa kolonial membuat Hatta dan pemuda lainnya lebih mudah berempati pada penderitaan rakyat, peka pada rasa keadilan, dan matang dalam politik.

Jauh setelah generasi Sukarno-Hatta, krisis budaya dan politik menguat berupa ketimpangan kata dan tindakan pejabat, bahkan aturan perundang-undangan tak jarang berbeda dengan penerapannya. Secara ideal, ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Sebagai arsitek dari Pasal 33 UUD 1945, apa yang akan dikatakan Hatta ketika menyaksikan, bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamya dikuasai oleh segelintir kalangan dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran segelintir pula?

Baca juga Merawat Kemerdekaan

ukankah cita-cita Hatta seperti luluh-lantak ketika mencuat viral kontroversi kedaulatan rakyat vs kenikmatan pejabat? Rasa keadilan rakyat kecil yang harus berkerja keras seperti guru, buruh, pedagang kecil, dan UMKM harus membayar pajak penuh, sebaliknya pejabat menikmati keistimewaan fasilitas, tunjangan, dan gaji besar. Sementara aneka korupsi menggambarkan pengkhianatan tanggung jawab dan kejujuran pejabat publik yang digaji dengan utang negara dan pajak rakyat.

Bagi Hatta, kemerdekaan manusia Indonesia dan kesejahteraan rakyat lebih berarti ketimbang sekadar pencapaian kedaulatan nasional; kemerdekaan menuntut reformasi sosial. Kebebasan bagi Indonesia harus menjamin partisipasi rakyat dan tidak boleh melahirkan bangsa yang mayoritas rakyatnya tidak berdaya.

Keluar dari mental terjajah dan mental menjajah adalah inti gagasan kemerdekaan Hatta. Untuk itu, Hatta telah lama menganjurkan pentingnya pendidikan karakter. Bebas dari kemiskinan karakter adalah api perjuangannya yang perlu dihidupkan di relung hati pemimpin kini.

Menulis di Pemandangan, ”Tentang Karakter” (1941), Hatta menyayangkan ada orang-orang berkarakter, tetapi tidak memiliki wewenang dalam pemerintahan. Ia mengutip Pascal, bahwa tujuan hidup dan semua usaha kita adalah untuk menuju kesempurnaan. Pendidikan dini karakter adalah jalan menuju kesempurnaan pribadi. ”Tugas kita adalah terus mendidik diri sendiri. Hanya dengan begitu kita dapat mengajar orang lain,” keyakinan Hatta.

Baca juga Dosen di Garis Depan Generasi Emas 2045

Hatta mengingatkan, pendidikan karakterlah, bukan kecerdasan, yang harus menjadi tujuan pendidikan kita: ”Orang-orang berkarakter (persons of character) dapat berhasil, sedangkan orang-orang yang hanya memiliki kecerdasan saja (persons of intelligence) tidak.”

Karakter menggambarkan keunggulan dan keteguhan moral serta kualitas mental dan etika yang sering mencirikan seseorang, kelompok, atau bangsa. Pada pertengahan abad ke-19, Samuel Smiles menulis risalah filosofis bertajuk ”Character”. Ia membahas peran mendasar karakter dalam perkembangan pribadi dan masyarakat, serta menekankan pentingnya integritas moral, kewajiban, dan pengembangan kebajikan dalam membentuk individu maupun komunitas.

Smiles dan Hatta melihat keunggulan karakter atas kecerdasan atau kekayaan. Karakter lebih penting daripada sekadar kecerdasan dan kekayaan. Bagi Smiles, keunggulan sejati karakter muncul dari ”serat moral individu”. Bagi Hatta, kurang cerdas bisa diperbaiki dengan belajar. Kurang cakap bisa dihilangkan dengan pengalaman. Namun, tidak jujur sulit diperbaiki.

Baca juga Hijrah dan Perdamaian

Perilaku pejabat misalnya mencerminkan karakternya lebih akurat daripada pencapaian besarnya. Hatta mengingatkan agar kita tidak hanya peduli dengan pendidikan anak. Kita juga harus mendidik diri kita sendiri. Kita harus mencoba melakukannya dengan mengkritik dan mengoreksi diri sendiri. Bagi Hatta, ”dasar utama dalam pelatihan karakter adalah mencintai kebenaran dan berani mengakui kesalahan.”

Jika Monumen Hatta hendak dibangun, barangkali Monumen Karakter perlu segera diletakkan fondasinya di hati generasi kini dan datang.

Idi Subandy Ibrahim adalah peneliti budaya, media, dan komunikasi; pengajar di Magister Ilmu Komunikasi (MIK) Pascasarjana Universitas Pasundan Bandung; dan pengajar Luar Biasa (LB) di MIK Pascasarjana FISIP Universitas Brawijaya (UB) Malang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *