Eks JI: Jihad Tak Boleh di Wilayah Damai
Islam tidak memberikan legalitas untuk membunuh orang hanya lantaran berbeda agama, apalagi sekadar pemahaman. Jika orang betul-betul mencari kebenaran, caranya dengan dialog, bukan pemaksaan keyakinan. Dari prinsip asasi itu, aksi-aksi terorisme di wilayah damai jelas tidak dibenarkan sama sekali, terlebih menilik dampak kemanusiaannya yang sangat fatal.
Banyak nyawa orang tak bersalah terenggut akibat aksi yang diklaim pelakunya sebagai jihad. Sebagian lainnya kehilangan anggota tubuh hingga mengalami disabilitas fisik, anak-anak menjadi yatim atau piatu lantaran orang tuanya meninggal dunia dalam tragedi kemanusiaan itu.
Baca juga Mantan Eksponen JI: Negara ini Dijaga Allah
“Dalam hukum Islam, pembunuhan yang tidak disengaja saja mengharuskan pelakunya memberikan tebusan atau diyat senilai 100 ekor unta untuk setiap jiwa yang dihilangkan. Dengan harga 1 ekor untanya sekitar 35-60 juta rupiah, kalikan saja menjadi 100 ekor. Kalau tidak begitu maka puasa 2 bulan berturut-turut tanpa jeda. Kalau terjeda sehari saja maka harus mengulangi dari awal,” ujar Arif Siswanto, mantan Ahlus Syuro Jamaah Islamiyah (JI) dalam “Short Course Penguatan Perspektif Korban dalam Peliputan Isu Terorisme,” yang diselenggarakan AIDA beberapa waktu silam.
Di hadapan puluhan awak media massa itu, Arif menyatakan bahwa dirinya tidak bisa cuci tangan dari aksi-aksi pengeboman yang pernah dilakukan oleh sebagian anggota JI, lantaran berada dalam jamaah yang sama. Tak ayal ia selalu meminta maaf saat berkesempatan bertemu dengan korban-korban bom, kendati tidak pernah setuju apalagi terlibat dengan aksi-aksi brutal itu.
Baca juga Jamaah Islamiyah, dari Johor Berakhir di Bogor
Arif menjelaskan, sejatinya beberapa senior JI telah lama berkesimpulan bahwa jihad di Indonesia pada umumnya tidak mungkin dilakukan. Pasalnya NKRI dipimpin oleh muslim dan penduduknya mayoritas juga muslim. Menjalankan syariat Islam mendapatkan dukungan dari pemerintah. Kalau pun hukum pidana Islam belum diberlakukan, tidak bisa menjadi patokan bahwa NKRI memusuhi Islam.
Kesimpulan itu memang tidak disepakati semua anggota JI. Terlebih masalah-masalah yang sensitif tidak dibuka secara floor dan hanya dibicarakan di level elit. “JI juga mengenal apa yang dinamakan dengan sel terputus, sehingga yang bekerja di bagian tertentu tidak mengetahui apa yang dikerjakan pada bagian yang lain. Kebetulan saya ini dari awal memang di bagian dakwah, sehingga bersentuhan dengan masyarakat luas,” ujar Arif Siswanto. (MSY)