Membangkitkan (Nurani) Karakter Bangsa
Oleh Nur Sahid
Guru Besar Semiotika Teater, Fakultas Seni Pertunjukan, ISI Yogyakarta
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 21 Mei 2025
Karakter bangsa adalah gabungan nilai-nilai moral, budaya, spiritual, dan etika yang menjadi fondasi perilaku kolektif masyarakat. Nilai-nilai ini terbentuk melalui sejarah perjuangan, tradisi luhur, dan praktik sosial yang terus berkembang.
Dalam skala nasional, karakter bangsa menjadi cerminan integritas individu, etos kelembagaan, dan keberpihakan kebijakan pada kebaikan bersama. Thomas Lickona (1991) mengemukakan, karakter terdiri dari pengetahuan nilai, keinginan untuk menerapkan, dan tindakan nyata berdasarkan nilai itu.
Kegagalan struktural
Saat ini kemerosotan karakter bangsa bisa disaksikan di berbagai aspek kehidupan, mulai dari pemerintahan hingga masyarakat akar rumput. Krisis ini tak hanya bersifat moral, tetapi juga sistemik dan struktural.
Baca juga Bahasa Berdaulat, Pendidikan Bermutu
Pertama, korupsi terjadi sejak di elite kementerian, birokrasi daerah, lembaga pendidikan, bahkan lembaga keagamaan. Transparency International (2024) menempatkan Indonesia di skor 37 dari skala 0-100 dalam Indeks Persepsi Korupsi.
Kedua, kepemimpinan yang mengabaikan konstitusi. UUD 1945 ditafsirkan secara manipulatif. Politik legislasi sering kali transaksional, sebagaimana pada Revisi UU MK pada 2023 dan UU KPK tahun 2019.
Ketiga, Pancasila tak lagi menjadi panduan praktis dalam pengambilan keputusan sosial dan politik. Ketimpangan sosial dan ekonomi makin tajam, kebijakan negara kerap tak mencerminkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Keempat, sebagian ilmuwan kehilangan integritas, etika, fungsi agen perubahan sosial, dan penjaga kebenaran ilmiah. Pengetahuan bukan lagi diarahkan untuk kemaslahatan publik, melainkan untuk memenuhi ambisi pribadi atau institusi, dan orientasi proyek.
Baca juga Mengatasi Migrasi Penduduk ke Jakarta
Kelima, hukum menjadi alat kekuasaan, bukan keadilan, sehingga penegakan hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas. Ketika hukum kehilangan wibawa moral, masyarakat pun kehilangan harapan pada sistem peradilan dan menciptakan ketidaksetaraan hukum.
Keenam, politik bukan lagi menjadi arena gagasan, melainkan ajang kompromi kepentingan sempit. Banyak politisi mementingkan partai, ormas, atau klannya dibandingkan dengan kepentingan nasional. Integritas sebagai konsistensi, antara nilai, ucapan, dan tindakan telah digantikan oleh oportunisme dan kepura-puraan moral.
Kemerosotan ini berakar dari kegagalan struktural dalam mentransmisikan nilai secara efektif, terutama dalam tiga institusi utama: pendidikan, keluarga, dan kepemimpinan. Sistem pendidikan kita lebih menekankan aspek kognitif daripada afektif dan psikomotorik.
Guru/dosen sering tak jadi teladan, dan sekolah belum menjadi ekosistem nilai. Pendidikan karakter hanya formalitas dalam kurikulum. Kepemimpinan minim teladan moral. Banyak pemimpin lebih mengejar popularitas daripada kejujuran, keteladanan, dan konsistensi.
Bangun karakter bangsa
Pertama, pendidikan karakter harus diintegrasikan dalam seluruh proses belajar, tidak hanya dalam satu mata pelajaran. Pendidikan karakter tak hanya mengajarkan nilai, tetapi menginternalisasikannya melalui pengalaman nyata.
Kedua, pemimpin harus jadi simbol integritas. James Mac Gregor Burns menggarisbawahi pentingnya pemimpin yang menginspirasi moral kolektif. Pemimpin masa depan perlu menunjukkan konsistensi etika, tidak hanya prestasi elektoral.
Baca juga Indonesia dan Paradoks Negara Paling Religius
Ketiga, reformasi hukum harus diarahkan untuk membangun sistem peradilan yang independen, transparan, dan adil. Keempat, lembaga hukum harus bebas dari intervensi politik dan menjunjung transparansi. Kelima, Pancasila harus diintegrasikan dalam pengambilan keputusan publik: dari APBN hingga desain kebijakan pendidikan, tata kelola birokrasi, dan sosial.
Kebangkitan nasional tidak sekadar peristiwa historis atau seremoni tahunan, tetapi proses berkelanjutan membangun manusia Indonesia yang berkarakter. Tanpa karakter, pembangunan hanya akan menghasilkan kekayaan tanpa keadilan, ilmu tanpa integritas, dan kekuasaan tanpa kepercayaan.
Baca juga Mikraj Kebangsaan
Membangun bangsa tak cukup dengan kecanggihan teknologi atau kekuatan ekonomi. Dibutuhkan kebijaksanaan moral, keteladanan pemimpin, dan budaya masyarakat yang menjunjung nilai. Itulah makna terdalam kebangkitan nasional hari ini: membangkitkan kembali bangsa yang berkarakter.