Media Jangan Menjadi Corong Teroris!
Pekerjaan meliput terorisme adalah tantangan khusus bagi pewarta. Jika tidak berhati-hati dalam pemberitaan, jurnalis justru bisa berperan sebagai juru bicara teroris.
Pernyataan ini diungkapkan oleh Hanif Suranto, dosen ilmu komunikasi Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Jakarta, dalam “Short Course Penguatan Perspektif Korban dalam Peliputan Isu Terorisme,” yang diselenggarakan oleh AIDA di Jakarta beberapa waktu silam.
Baca juga Liputan Terorisme Jangan Jadikan Korban Sebagai Komoditas
Di hadapan puluhan peserta perwakilan dari puluhan media massa nasional, Hanif menjelaskan, terorisme adalah ekspresi komunikasi yang berisi pesan kekerasan. Semakin ekstrem aksi yang dilakukan, maka akan semakin menyita perhatian media massa. Dalam konteks ini, media massa rawan terjebak dalam simbiosis mutualisme yang berbahaya. “Media butuh peristiwa untuk dijadikan berita, sementara kelompok teroris butuh media untuk menyampaikan pesan-pesannya. Ini harus dihindari,” ujarnya.
Dalam peliputan terorisme, jurnalis memiliki peran vital. Apakah akan menjadi kontra-terorisme atau media penyampai pesan “teror” seperti yang diinginkan oleh para pelaku. Karena faktor itulah Hanif menekankan agar awak media mampu memahami tujuan meliput sebuah peristiwa.
Baca juga Terorisme Bukan Konspirasi tapi Nyata Adanya
“Jurnalis tidak boleh sekadar meliput tanpa mengetahui betul tujuan peliputan dan berita itu diterbitkan. Tugas jurnalis bukan sekadar melaporkan fakta, tetapi memikirkan untuk apa fakta itu dilaporkan,” ucap mantan Direktur Lembaga Studi Pers dan Pembangunan itu.
Hanif menekankan agar peliputan terorisme tidak memberikan porsi berlebihan pada kengerian yang ditimbulkan oleh teror, misalnya menampilkan korban atau pelaku yang bersimbah darah, serta tidak terburu-buru menginformasikan identitas pelaku teror. (MSY)