2 weeks ago

AI, Kemalasan Berpikir, dan Kesepian

Oleh Okki Sutanto

Penulis dan Pengamat Isu Sosial, Alumnus Magister Sains Psikologi Unika Atma Jaya

Artikel ini terbit di laman Kompas.id, edisi 10 Mei 2025

Diskursus soal artificial intelligence alias akal imitasi seakan tak pernah sepi. Belum lama, lini masa dipenuhi dengan tren mengubah foto menjadi ilustrasi AI bergaya Studio Ghibli. Tentu, tak sedikit yang menentang keras karena isu etika dan idealisme seni.

Seminar soal pemanfaatan AI, baik di lembaga pemerintahan maupun swasta, juga tak pernah sepi, khususnya sebagai strategi mendorong produktivitas serta efisiensi. Wakil Presiden kita pun dalam beberapa kesempatan membahas soal pentingnya anak-anak muda menggunakan AI.

Baca juga Membangkitkan (Nurani) Karakter Bangsa

AI jelas memiliki banyak potensi positif bagi umat manusia. Namun, ada baiknya kita tetap bijak dalam menggunakan AI. Sebagaimana penemuan-penemuan teknologi lain, AI tidaklah bebas dari masalah. Kemajuan internet memunculkan masalah-masalah baru di bidang keamanan siber.

Penetrasi masif media sosial memunculkan masalah baru, mulai dari radikalisme, polarisasi, masalah perilaku remaja, hingga brain rot. AI pun demikian, tanpa batasan dan mitigasi risiko yang jelas, sejumlah dampak buruk siap mengintai.

Kemudahan dan kemalasan berpikir

Riset dari Carnegie Mellon University dan Microsoft Research Cambridge berjudul ”The Impact of Generative AI on Critical Thinking” yang terbit belum lama ini cukup mengkhawatirkan. Studi tersebut melakukan survei terhadap ratusan pekerja di bidang pengetahuan (knowledge workers) terkait penggunaan generative AI, seperti ChatGPT dan Copilot. Hasil riset menunjukkan bahwa ketergantungan berlebih terhadap AI bisa berdampak buruk terhadap kemampuan berpikir kritis dan memecahkan masalah penggunanya.

Temuan ini sejatinya sejalan dengan pemaparan Wendy Suzuki, ahli saraf dan profesor di New York University, dalam bukunya, Healthy Brain, Healthy Life. Otak sejatinya tidak jauh berbeda dengan otot manusia. Semakin sering digunakan dan dilatih, maka kinerja otak kita juga akan semakin optimal.

Otak yang sehat dan sering dilatih akan memiliki kemampuan mengingat yang lebih baik, sanggup berpikir kritis, juga berpikir kreatif. Sebaliknya, otak yang jarang digunakan untuk berpikir keras lama-kelamaan juga akan semakin tumpul. Penelitian-penelitian terkait fungsi otak di usia pensiun menemukan hal yang sama: semakin aktif digunakan, semakin terjaga kesehatan dan kondisinya. Sebaliknya, kaum lansia yang seusai lansia otaknya jadi pasif kian cepat menuju fase deteriorasinya.

Baca juga Bahasa Berdaulat, Pendidikan Bermutu

Maka, sudah layak dan sepantasnya kita waspada terhadap ketergantungan AI. AI yang begitu memudahkan kita mendapat jawaban dalam hitungan detik, membuat otak jadi ”malas” berpikir. Otak tidak terbiasa berpikir mendalam, tidak terpapar dengan pengambilan kesimpulan yang sistematis, serta tidak terbiasa memecahkan masalah kompleks.

Taksonomi Bloom

Dalam Taksonomi Bloom, kemampuan berpikir kritis dan memecahkan masalah termasuk dalam higher-order thinking skills alias kemampuan berpikir tingkat lanjut. Seseorang bisa dibilang menguasai satu bidang jika bisa mencapai level tersebut.

Di level bawah alias lower-order thinking skills, terdapat kemampuan mengingat sebuah informasi, memahami sebuah konsep, dan mengaplikasikan konsep di berbagai konteks. Sementara higher-order thinking skills meliputi kemampuan analisis, sintesis, hingga evaluasi dan penciptaan pengetahuan baru.

Meski berada di level bawah, bukan artinya lower-order thinking skills tidak penting. Kemampuan mengingat, memahami, dan mengaplikasikan justru menjadi fundamental yang sangat esensial dalam memahami sesuatu. Tanpa fundamental yang kuat, akan sulit seseorang mengembangkan higher-order thinking skills. Ibarat berusaha menjadi fisikawan teoretis tanpa memahami tabel periodik atau Hukum Newton.

Untuk itulah, pemahaman mendasar terkait pengetahuan tetap perlu kita kuasai. Jangan sampai ketergantungan terhadap AI menumpulkan lower-order thinking skills kita. Jika pelajar kita sedikit-sedikit menggunakan AI untuk menyelesaikan soal-soal matematika dasar, konsep fundamental ekonomi, serta menulis esai argumentatif, generasi macam apa yang akan kita hasilkan nanti? Generasi yang malas berpikir karena berpikir sudah terlalu dimudahkan.

Efek psikososial dan kesepian

Dampak lain yang tak kalah penting adalah efeknya pada relasi sosial manusia. Awal April lalu, OpenAI dan MIT Media Lab menerbitkan penelitian berjudul ”How AI and Human Behaviors Shape Psychosocial Effects of Chatbot Use: A Longitudinal Controlled Study”. Studi ini bertujuan memahami dampak psikososial dari interaksi manusia dengan chatbot AI yang semakin menyerupai manusia?

Riset menemukan bahwa sebagian pengguna yang tergolong heavy users pada akhirnya mengembangkan keterikatan emosional yang kuat dengan AI, memiliki ketergantungan, serta berdampak buruk pada tingkat kesepian mereka di dunia nyata. AI yang semakin mirip manusia, khususnya dengan fitur mode suara, membuat sebagian orang menyubstitusikan relasi manusia mereka dengan AI.

Meski dampak lebih lanjut terhadap kesehatan mental masih terlalu dini untuk dibicarakan, ada baiknya kita memikirkan strategi preventif sejak dini. Apalagi, sejumlah kasus bunuh diri yang diasosiasikan dengan chatbot AI mulai bermunculan.

Baca juga Pendidikan Kita Memang Telah Usang

Pada tahun 2024, satu kasus melibatkan seorang remaja berusia 14 tahun di Florida yang menjalin relasi serius dengan karakter AI fiksi Daenerys Targaryen dari serial Games of Thrones. Tahun sebelumnya, seorang laki-laki dewasa di Belgia juga bernasib sama setelah berminggu-minggu menjalin relasi intens dengan karakter AI bernama Eliza.

Menjalin relasi sehat dengan AI

Pada akhirnya, AI hanyalah alat yang seharusnya membantu manusia. Bersikap anti sama sekali dan menolak AI sepenuhnya tentu tidak produktif. Namun, sebaliknya, kebablasan mengandalkan AI dalam setiap aspek kehidupan kita juga kurang bijak.

Dengan segala baik-buruknya, sudah saatnya kita menempatkan AI sesuai porsinya serta memikirkan bersama cara menjalin relasi yang sehat dan produktif dengan AI. Jangan sampai akal imitasinya semakin cerdas, tetapi manusianya semakin jauh dari kata cerdas. Bahaya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *