Metode Living Books Sebagai Media Merdeka Belajar
Oleh: M. Aminullah,
mahasiswa Ilmu Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Terbitnya kebijakan Kurikulum Merdeka Belajar serta merta menaruh perhatian besar terhadap pendidik untuk melakukan inovasi pembelajaran secara mandiri yang sesuai dengan kebutuhan siswa. Jadi, tidak mengherankan apabila kemudian banyak praktik-praktik pembelajaran yang telah diupayakan pendidik demi dapat memberikan nilai-nilai esensial yang ada pada kurikulum, salah satunya, menjadikan buku sebagai model pembelajaran terutama dalam jenjang usia dini.
Model pembelajaran ini mengandalkan buku sebagai sumber utama materi pembelajaran, yang menekankan terhadap keterampilan literasi membaca siswa. Karena selain diharuskan membaca, mereka juga diharuskan untuk menganalisis dan memahami teks yang ada dalam buku.
Baca juga Jadilah Guru yang Menyenangkan
Perkembangan teknologi yang semakin canggih serta penggunaan gadget secara berlebihan oleh sebagian besar kalangan anak-anak menjadikan penyebab pemerosotan minat belajar dan membaca siswa belakangan ini. Tercatat, dalam data terakhir Badan Pusat Statistik pada 2022 lalu, anak-anak Indonesia telah menggunakan handphone dan akses internet secara masif dengan nilai persentase sebesar 33,44%, yang berarti hampir separuh dari jumlah keseluruhan anak di Indonesia.
Dalam mengentaskan masalah ini, pemerintah telah berupaya dengan mendistribusikan bahan bacaan guna dapat menunjang pembelajaran serta dapat membentuk minat belajar siswa terhadap esensi pembelajaran. Sebagaimana, dari laman resmi Kemdikbud, Kementerian Pendidikan telah mendistribusikan lebih dari 15 juta eksemplar (sekitar 716 judul) buku bacaan berjenjang yang bagus di antaranya 5.9 juta eksemplar untuk jenjang PAUD, sementara 14,5 juta eksemplar untuk SD yang berada di wilayah tertinggal. Selain itu, disertai dengan pelatihan mengelola buku hingga bagaimana mempergunakan buku dengan baik dalam proses pembelajaran.
Baca juga Madinah Sumbu Peradaban
Perlu diketahui, buku-buku yang terdistribusikan oleh pemerintah tidak selamanya menjamin pengetahuan yang relevan terhadap kebutuhan anak/siswa, apalagi ketika dihadapkan dalam demografi tertentu yang pasti mempunyai pusat perhatian berbeda-beda pula. Seperti halnya di Papua ketika memiliki perhatian penuh terhadap kesetaraan, maka perlu bahan bacaan yang relevan dengan topik tersebut, begitupun seterusnya.
Oleh sebab itu, keterampilan memilih buku atau bahan bacaan sama halnya menentukan arah pemikiran anak-anak ke depan. Sebab, sesuatu yang terbiasa dibaca seringkali berdampak terhadap Pembangunan karakter individu, terutama masa anak-anak yang memiliki kapasitas ingatan yang sangat kuat. Yakni, ketika pemikiran siswa terisi dengan sesuatu yang baik melalui bacaan, maka akan tercipta pemikiran yang baik pula. Sementara, apabila telah terbiasa dengan pemikiran yang baik, maka karakter yang akan muncul positif pula.
Baca juga Bahaya Laten Bullying di Sekolah
Hal tersebut senada dengan pemikiran Charlotte Mason yang menyatakan bahwa pergaulan anak harus selalu dengan buku-buku yang terbaik dan dapat ditemukan (asal-muasalnya). Artinya, melalui buku-buku yang bagus dan bermutu, diyakini dapat membentuk minat anak dalam membaca, memperluas wawasan, serta dapat memperkaya kreativitas sedari dini.
Perihal buku dalam dunia kepustakaan, terdapat istilah living books atau buku hidup yang diibaratkan sebuah makanan bergizi sebagai asupan nutrisi jiwa pembacanya. Adapun, sebutan living books mengacu pada keberadaan buku-buku bermutu yang di dalamnya termuat ide-ide berkesan yang dapat membantu karakter seseorang menuju berkepribadian yang luhur.
Baca juga Kebangkitan Digital Nasional
Keberadaan living books mempunyai sesuatu yang unik dan istimewa. Di dalamnya kita akan dikabarkan suatu fakta dengan cara bercerita, setiap kalimatnya bernas, terutama yang paling penting ditulis oleh penulis yang memiliki optimisme tinggi dan kompeten dalam menjiwai konteks kepenulisannya. Sehingga tidak jarang mampu memberikan kesan yang positif terhadap pembangunan karakter.
Lantas apa hubungan living books dengan kurikulum merdeka belajar?
Terlebih dahulu, saya akan mengutip pernyataan Mendikbudstrek Nadiem Makariem perihal “Merdeka Belajar” melalui siaran pers: “Hal ini sebagai upaya manjawab berbagai tantangan zaman dan isu terkini seperti perubahan iklim, literasi finansial, literasi digital, literasi Kesehatan, dan pentingnya sastra dalam memperdalam kemampuan literasi murid.” (Jakarta, Rabu 27/3/2024).
Baca juga Kuliah Mahal di Kampus Negeri
Inti daripada Kurikulum Merdeka Belajar adalah kebebasan anak dan pendidik mengeksplorasi pemikirannya secara mandiri dalam proses pembelajaran. Serupa dengan model living books yang memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada anak untuk memikirkan sesuatu, melakukan sesuatu dan mencintai sesuatu tanpa intervensi orang lain.
Dalam pernyataan di atas, kita perlu menggarisbawahi penggalan kalimat “pentingnya sastra dalam memperdalam kemampuan literasi murid”. Hal ini menegaskan bahwa pembacaan dan penggunaan buku yang memuat unsur sastra dapat berkontribusi terhadap perkembangan literasi anak didik.
Baca juga Menjaga Api Harapan di Pesantren
Sebagaimana karakteristik buku hidup, yang penuh dengan kalimat bernuansa sastrawi dan berpola naratif, memiliki daya tersendiri dalam mengarahkan anak untuk memahami pesan dan pelajaran yang dapat diambil di dalamnya. Selain itu, anak juga dapat dipertemukan dengan pikiran-pikiran lain, yang memungkinkan terbentuknya pemikiran kritis dan inklusif.
Living books atau buku hidup merupakan hasil karangan seseorang yang memiliki latar belakang minat mendalam berdasarkan topik yang dibahas. Tampak terlihat dalam buku ini disajikan sangat menarik yang dapat menggugah imajinasi pembaca, seringkali dijumpai dalam bentuk narasi yang biasanya diwakili ilustrasi yang menggambarkan konsep-konsep berkesan, bermakna, serta dapat dipahami dengan mudah oleh pembaca.
Baca juga Mengabaikan Surga
Adapun berkenaan dengan konsep living books dalam konteks Kurikulum Merdeka Belajar, memang memiliki hubungan yang sangat erat, sebab di antara keduanya sama-sama memiliki pendekatan yang menekankan terhadap pengalaman belajar siswa secara mandiri dan menyenangkan.
Melalui Merdeka Belajar siswa dapat diberikan kebebasan untuk mengeksplorasi minat dan bakat mereka sendiri, yang meliputi keinginan atau gairah belajar dalam bidangnya masing-masing. Dalam hal ini, living books tentu dapat mengambil peran sebagai media pembelajaran efektif dalam menunjang esensi dari kurikulum, yakni dengan mendorong siswa untuk terlibat secara emosional dan intelektual dalam memberikan pemahaman dan retensi materi melalui narasi-narasi yang menyentuh.
Baca juga Sekolah Bahagia
Tidak hanya itu, dalam penggunaan living books siswa akan diarahkan pada pengembangan literasi yang mendalam melalui cerita yang memikat. Dengan menyuruh mereka atau pendidik membacakan buku tersebut, secara tidak langsung siswa dapat belajar untuk memahami dan menganalisis konteks informasi, hingga mengapresiasi keindahan bahasa. Poin inilah yang akan menjamin bahwa living books memiliki kesinambungan dengan tujuan merdeka belajar yang tidak hanya sekadar fokus terhadap pencapaian akademis, tetapi juga pengembangan karakter yang positif serta mencetak pemikiran kritis.
Dengan demikian, pemanfaatan metode living books sebagai media Merdeka Belajar memberikan kesempatan pembelajaran yang holistik dan menyeluruh terhadap siswa untuk belajar dengan cara yang menyenangkan bagi mereka sendiri. Sehingga, tidak ada lagi target-target yang membunuh cara belajar mereka dengan “yang penting PR anak selesai”, “yang penting anak tidak sampai ujian remedi”, atau bahkan “yang penting anak naik kelas”. Lebih daripada itu, living books menciptakan lingkungan belajar yang dinamis dan lebih berdaya, di mana siswa mempunyai kendali penuh daripada orang lain atas proses belajarnya sendiri.
*Artikel ini terbit di detik.com, Senin 27 Mei 2024
Baca juga Jalan Panjang Menuju Palestina Merdeka