Membangun Damai Berbasis Kearifan Lokal (Bag. II): Satu Tungku Tiga Batu Papua
Oleh: Linda Astri Dwi Wulandari
Alumni Magister Kajian Tradisi Lisan Universitas Indonesia
“Orang Fakfak konsisten sekali menghidupi budaya damai. Keberagaman tidak lagi dibebani fanatisme sempit. Kalau diajak bicara yang jelek-jelek tentang agama lain, mereka tidak mau dengar, malah sangat tersinggung, karena menjelekkan agama orang lain sama seperti menjelekkan dirinya sendiri, sebab semuanya adalah saudara.”
Pernyataan itu meluncur dari seorang ahli antropologi dalam diskusi mengenai model keberagaman dan rekonsiliasi yang saya ikuti beberapa tahun silam. Selama ini, Papua seringkali diidentikkan dengan wilayah rawan konflik dan kekerasan. Aktivis Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP) menyebutkan, salah satu penyebab terjadinya aksi kekerasan di Papua adalah stigma negatif yang dilekatkan terhadap orang asli Papua.
Baca juga Membangun Damai Berbasis Kearifan Lokal (Bag. I): Kesadaran tentang Keberagaman
Masyarakat di luar Papua cenderung memberikan “cap” bahwa orang Papua adalah bodoh, kasar, dan tidak bisa diatur, sehingga seringkali menjadi objek olok-olok berbau rasisme. Stigma-stigma yang dilekatkan tersebut justru banyak keluar dari orang-orang yang tidak pernah benar-benar tahu kehidupan orang Papua yang sesungguhnya.
Tampaknya tidak banyak yang tahu bahwa Papua justru bisa menjadi kiblat masyarakat Indonesia untuk belajar tentang perdamaian dalam berbangsa. Dalam studi terbaru yang dirilis Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Indonesia pada Desember 2019 menunjukkan, indeks kerukunan beragama di Papua Barat memiliki skor 82,1 dari nilai maksimal 100. Data ini menunjukkan bahwa Papua memiliki tingkat kerukunan beragama paling tinggi di Indonesia. Artinya kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di Papua sesungguhnya tidak mencerminkan kerukunan yang ada di sana.
Baca juga Korban Terorisme (Tak) Menunggu Godot
Menurut Adlin Sila, semenjak studi ini dilakukan pada 2009, Papua memang selalu menempati posisi teratas. Hal ini karena masyarakat Papua memiliki sebuah modal sosial berupa rasa percaya yang tinggi terhadap norma-norma mengenai hidup bertetangga (tempo.co, 13/12/2019). Norma-norma tersebut salah satunya bersumber dari filosofi “satu tungku tiga batu”, kearifan yang melekat pada jiwa-jiwa mereka.
Satu tungku tiga batu adalah semboyan kerukunan di Fakfak, Papua Barat, yang telah diwariskan secara turun temurun sejak beberapa abad silam. Maknanya tungku tersusun atas tiga batu berukuran sama. Ketiga batu diletakkan dalam satu lingkaran dengan jarak yang sama. Posisi ketiganya seimbang untuk menopang tanah liat. Tiga batu adalah simbol tiga posisi penting dalam keragaman dan kekerabatan etnis di Fakfak.
Baca juga Memuliakan Rumah Ibadah
Konon, falsafah ini adalah pengejawantahan dari nilai yang dipegang teguh oleh etnis Mbaham Matta Wuh, etnis tertua di wilayah tersebut. Mereka memiliki ajaran Ko, on, kno mi mbi du Qpona yang artinya adalah kau, saya dengan dia bersaudara. Ajaran itu mengatur kekerabatan etnis mereka seperti digambarkan dalam tungku tiga batu. Tungku adalah simbol kehidupan, sedangkan tiga batu adalah simbol dari “kau”, “saya” dan “dia” yang menopang perbedaan baik agama, suku, status sosial dalam satu wadah persaudaraan. Falsafah tersebut mengantarkan Fakfak sebagai daerah dengan tingkat kerukunan paling tinggi di Indonesia.
Sejak zaman dahulu, masyarakat Fakfak telah mengenal konsep agama keluarga. Agama yang dimaksud adalah Islam, Katolik, dan Protestan. Konsep agama keluarga adalah hidup damai satu rumah dengan tiga agama yang berbeda. Kini pemaknaan satu tungku tiga batu bukan terbatas pada kerukunan umat beragama, melainkan juga integrasi antara agama, adat, dan pemerintah. Kedamaian dan solidaritas di antara ketiganya harus terus dibangun dan dijaga.
Baca juga Salahuddin al-Ayubi: Panglima Tempur Pencinta Damai
Untuk merawat kearifan tersebut dalam kehidupan masyarakat Fakfak, pemerintah daerah mulai menggaungkannya sebagai simbol kerukunan dan perdamaian resmi di Kabupaten Fakfak. Bukan hanya itu, pemerintah juga membangun sebuah tugu Satu Tungku Tiga Batu di sebuah jalan arteri di sana.
Dalam kasus kerusuhan yang terjadi pada Agustus tahun 2019 lalu, pemerintah Kabupaten Fakfak menggunakan falsafah tersebut. Bupati setempat mengumpulkan warganya untuk mengadakan silaturahmi dengan menyelenggarakan ritual adat yang dipercaya mengandung nilai satu tungku tiga batu. Dari beberapa kecamatan mereka berkumpul untuk melakukan ritual mencuci tangan dan mencuci muka bersama disertai dengan penyembelihan 3 ekor kambing yang dijadikan sebagai hewan kurban. Tiga hewan kurban itu melambangkan satu tungku tiga batu.
Baca juga Momentum Pemenuhan Hak Korban Terorisme
Mencuci tangan dan muka secara bersama mengandung arti penyucian diri terhadap ucapan dan kalimat yang menyinggung perasaan orang lain sehingga berujung pada konflik. Mencuci tangan dan muka dipercaya bisa kembali menyucikan hati dan jiwa. Sedangkan penyembelihan hewan kurban mengandung arti mengakhiri gejolak atau kerusuhan yang terjadi 21 Agustus 2019 lalu bersama darah hewan kurban tersebut untuk dikebumikan. Dengan diselenggarakannya prosesi tersebut, diharapkan masyarakat kembali pada nilai-nilai leluhur yang sudah diwariskan dari masa lampau, yaitu hidup damai dalam segala perbedaan. (bersambung)
Baca juga Pandemi Covid-19 dan Tafsir Dukhan