Pengakuan Palestina: Pintu Menuju Damai atau Janji Kosong?
Oleh Desra Percaya, Dubes RI untuk Inggris merangkap Irlandia dan IMO
Artikel ini dimuat di Kompas.id, 25 September 2025
Hingga September 2025, tercatat 156 negara—dari total 193 negara—anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengakui Palestina. Sebagian besar berasal dari kawasan Asia, Afrika, Amerika Latin, dan Timur Tengah.
Dalam beberapa waktu terakhir, pengakuan juga datang dari kelompok negara Barat yang sebelumnya enggan mengambil langkah tersebut, utamanya Inggris dan Perancis. Dua negara penting karena posisi strategisnya sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB.
Secara khusus, pengakuan Inggris memiliki makna tersendiri karena semua kekisruhan di Palestina berawal dari diterbitkannya The Balfour Declaration 1917 oleh Menteri Luar Negeri Inggris Arthur Balfour. Deklarasi ini mendukung didirikannya rumah bersama bangsa Yahudi (national home) di tanah Palestina.
Pengakuan negara memang diatur oleh Konvensi Montevideo 1933 yang mensyaratkan adanya penduduk, wilayah, pemerintahan, serta hubungan diplomatik. Dalam praktiknya, meski sebagian elemen belum sepenuhnya terpenuhi, pengakuan tetap dapat diberikan karena pada esensinya merupakan keputusan politik.
Mengalirnya gelombang pengakuan akhir-akhir ini jelas muncul dari keprihatinan mendalam terhadap eskalasi kekerasan dan berbagai pelanggaran semena-mena Israel di wilayah pendudukan, khususnya Gaza. Tekanan publik di dalam negeri yang terus mengkristal bagi adanya pengakuan juga menjadi stimulan tersendiri.
Faktor lain adalah karena absennya proses perdamaian. Pengakuan dipandang sebagai cara untuk menekan Israel agar menghentikan kejahatannya serta menjaga agar Solusi Dua Negara tetap hidup.
Pergeseran geopolitik
Semakin banyaknya pengakuan, khususnya dari dunia Barat, menandai terjadinya pergeseran geopolitik yang signifikan dan memperkuat legitimasi internasional bagi Palestina. Namun, mustahil bagi Amerika Serikat, apalagi di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump, untuk memberikan pengakuannya.
Alasannya adalah pengakuan terlalu prematur tanpa perjanjian damai langsung dengan Israel. Ada pula kekhawatiran atas keamanan Israel, khususnya terkait keberadaan kelompok Hamas. Faktor politik domestik di AS, termasuk tekanan lobi pro-Israel, tentu memiliki kontribusi besar.
Bagi Palestina, pengakuan menempatkan mereka sebagai subyek hukum internasional yang sah. Secara diplomatik, hal ini juga memberi legitimasi tambahan untuk membuka kedutaan, menandatangani perjanjian, dan memperluas partisipasi di organisasi internasional.
Sebagai contoh, setelah pengakuan Inggris pada 21 September, Perwakilan Palestina di London secara resmi telah berubah menjadi Kedutaan Besar Negara Palestina.
Secara politik, pengakuan memperkuat posisi Palestina dalam negosiasi di masa depan. Namun secara praktis, pengakuan tidak otomatis menjadikan Palestina sebagai negara merdeka penuh dan berdaulat. Perjalanan masih sangat jauh, terjal, dan sangat berliku, serta penuh tantangan.
Pengakuan Palestina bukan tujuan, tapi awal penting dari perjalanan panjang menuju kemerdekaan penuh Palestina melalui jalan damai. Solusi Dua Negara—dengan Israel dan Palestina hidup berdampingan dalam batas yang aman dan diakui—telah lama dipandang sebagai satu-satunya jalan menuju perdamaian yang langgeng. Gagasan ini juga didukung resolusi PBB dan menjadi dasar konsensus internasional.
Tanpa realisasi Solusi Dua Negara, konflik hanya akan melahirkan kekerasan baru dan memperpanjang penderitaan rakyat Palestina.
Jalan kekerasan
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa Israel lebih memilih jalan kekerasan dan bahkan pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dengan tegas menolak hadirnya negara Palestina. Sikap ini diperparah dengan upaya sistematis Israel untuk mengubah kondisi di lapangan (facts on the ground), baik di Gaza maupun di Tepi Barat. Dunia seakan berpacu antara guliran pengakuan dan upaya keras Israel untuk melawannya.
Meningkatnya pengakuan terhadap Palestina, termasuk dari kelompok Barat, merupakan perkembangan yang positif. Namun, pengakuan semata tidaklah cukup. Tanpa langkah nyata menuju keadilan, disertai dengan gencatan senjata permanen, pengangkatan blokade, serta penghentian tragedi kemanusiaan, maka pengakuan hanya menjadi simbol tanpa makna.
Saat ini dunia kini dihadapkan pada pilihan: menjadikan pengakuan sebagai pintu menuju damai, atau membiarkannya menjadi janji kosong bagi rakyat Palestina.