Meneladani Ketangguhan Penyintas

“Kenapa Bapak nggak dendam, nggak kepingin nge-balas gitu? Apa yang membuat Bapak bisa tabah?” Demikian siswi berkerudung itu mengajukan pertanyaan. Keingintahuannya tersebut muncul setelah mendengarkan kisah Suyanto, penyintas Bom Bali 2002.
Menanggapi pertanyaan itu Suyanto menceritakan bahwa pada awalnya memang sulit mengikhlaskan musibah yang telah membuatnya menderita dan merenggut nyawa banyak orang. Setelah pulih dari cedera, dia bersama teman-temannya sesama korban bom saling memotivasi untuk menjalani kehidupan dengan percaya diri. Seiring waktu Suyanto ikhlas menerima kejadian Bom Bali yang menimpanya sebagai suratan takdir. Tak sekadar mengikhlaskan masa lalu, dia bahkan memaafkan mantan pelaku aksi terorisme. “Saya punya prinsip kalau dendam dibalas dengan dendam tidak akan ada habisnya,” kata dia.
Pemandangan tersebut adalah bagian dari kampanye perdamaian Aliansi Indonesia Damai (AIDA) di Kabupaten Bandung dan Bandung Barat, Jawa Barat, akhir Januari lalu. Selama sepekan penuh AIDA bersafari ke lima sekolah di bumi parahyangan untuk menyelenggarakan Dialog Interaktif “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh”. Melalui kegiatan tersebut AIDA mengajak para pelajar menggali makna ketangguhan sebagai bekal menghadapi tantangan kehidupan. Lima sekolah yang dikunjungi adalah SMAN 1 Padalarang, SMAN 1 Baleendah, SMAN 1 Katapang, SMAN 1 Ngamprah dan SMAN 1 Dayeuhkolot.
Dialog Interaktif di lima sekolah tersebut menghadirkan narasumber Tim Perdamaian yang terdiri atas korban dan mantan pelaku aksi terorisme, yaitu Suyanto (penyintas Bom Bali 2002), Tita Apriyantini (penyintas Bom JW Marriott 2003) dan Ali Fauzi (mantan anggota kelompok terorisme).
Tanya jawab antara Suyanto dan seorang siswi di atas terjadi dalam Dialog Interkatif di SMAN 1 Padalarang. Sebelumnya, ayah dua anak itu berbagi kisah tetang pengalamannya selamat dari serangan teror. Saat kejadian dia sedang bekerja mencari nafkah di Jalan Legian Kuta, Bali. Tiba-tiba ledakan sangat kuat terjadi dan seketika dia terlempar sekitar 10 meter dari tempat semula. Akibat ledakan, dia mengalami kerusakan jaringan tulang lunak di bagian telinga, tertancap logam di lengan serta tertembus sebilah bambu di bagian kaki.
Dalam kesempatan Dialog Interaktif di SMAN 1 Ngamprah, anggota Tim Perdamaian, Tita Apriyantini, juga berbagi kisah kepada para peserta. Mengawali kisahnya, Tita mengajak para siswa membentuk simbol cinta dengan jari-jari tangan. “Menurut saya cinta ini adalah satu faktor utama untuk kita menuju perdamaian. Kalau kita punya cinta di hati, kita tidak akan tega menyakiti sesama,” ujarnya yang disambut tepuk tangan peserta.
Tita berkisah, saat bom meledak dia sedang bertugas sebagai pegawai magang di Restoran Syailendra Hotel JW Marriott Jakarta. Selain goncangan hebat, efek bom membakar apa saja yang ada di dekat lokasi pemboman. Dia melihat orang-orang berdesakan keluar restoran dengan tubuh terbakar. Tita pun berusaha keluar dari ruangan yang telah penuh asap tersebut tanpa menyadari sepatunya terlepas dan banyak pecahan kaca tertancap di kakinya. “Kaki saya berdarah kena kaca itu tidak saya rasakan. Yang saya rasakan adalah panas, panas sekali di tangan, di telinga dan di kepala saya, dan itu rasanya sakit sekali,” kata dia mengenang peristiwa 13 tahun lalu.
Seperti halnya Suyanto, Tita telah ikhlas menerima musibah bom dan memaafkan mantan pelaku terorisme. Seorang peserta Dialog Interaktif di SMAN 1 Ngamprah menanyakan bagaimana bisa Tita berbesar hati memaafkan mantan pelaku. Dia menjawab, prosesnya berekonsiliasi dengan mantan pelaku cukup panjang. Dia menilai orang yang telah meninggalkan jalan kekerasan tidak pantas dibenci tetapi justru harus didukung.
Dalam kegiatan Dialog Interaktif, mantan pelaku terorisme, Ali Fauzi, juga membagi kisah hidupnya. Dia dikenalkan dengan konflik dan ketidakadilan yang terjadi di berbagai belahan dunia, dan didoktrin untuk bergabung dengan kelompok teroris. Serangan teror diklaim kelompok itu sebagai pembalasan atas ketidakadilan yang ditimpakan kepada umat Islam di berbagai tempat.
Setelah sekian lama akhirnya Ali Fauzi menyadari bahwa aksi-aksi teror dengan alasan apa pun tak dapat dibenarkan. Kelompok teroris, kata dia, menyerang secara acak dan menimbulkan korban dari masyarakat sipil seperti yang menimpa Suyanto dan Tita. “Bom ditaruh di hotel lalu meledak, ditaruh di kafe lalu meledak. Bahkan di tahun 2006 bom ditaruh di dalam masjid di Mapolresta Cirebon. Itu adalah kekeliruan mereka dalam berpikir,” katanya. Dia menambahkan bahwa para siswa peserta Dialog Interaktif harus mewaspadai ajakan-ajakan terorisme yang kini banyak beredar di media sosial.
Suyanto, Tita dan Ali Fauzi kini telah berekonsiliasi, meninggalkan keterpurukan masa lalu dan menatap kehidupan masa depan dengan optimis. Mereka berharap generasi muda bangsa menggalakkan budaya cinta damai serta menghindari segala aksi kekerasan.
Seorang siswa SMAN 1 Dayeuhkolot mengaku mendapatkan banyak pelajaran setelah mengikuti Dialog Interaktif. “Saya mengambil kesimpulan bahwa kekerasan itu tidak perlu dibalas dengan kekerasan. Dari Pak Suyanto, kan dia itu korban dari pengeboman, dia itu punya jiwa yang kuat bisa memaafkan seorang mantan pelaku, jadi saya bisa mencontoh dia,” ucapnya.
Direktur AIDA, Hasibullah Satrawi, menambahkan bahwa para siswa peserta Dialog Interaktif juga mesti mengambil hikmah dari pengalaman mantan pelaku, yakni tidak membalas ketidakadilan dengan ketidakadilan. Dia mengatakan, bila ketidakadilan di satu tempat dibalas dengan menciptakan ketidakadilan lainnya di tempat lain maka yang terjadi adalah jatuhnya korban dari orang-orang tak bersalah. [MLM]
*Artikel ini pernah dimuat di Newsletter AIDA “Suara Perdamaian” edisi XII April 2017.