Septika WD, mahasiswa Pascasarjana Universitas Nasional
Home Inspirasi Aspirasi Damai Menjawab Tantangan Kemerdekaan
Aspirasi Damai - 23/08/2018

Menjawab Tantangan Kemerdekaan

 

Oleh: Septika WD, mahasiswa Pascasarjana Universitas Nasional

 

Septika WD, mahasiswa Pascasarjana Universitas Nasional
Septika WD, mahasiswa Pascasarjana Universitas Nasional

Agustus ini genap 73 tahun sudah Indonesia menyebut diri sebagai bangsa dan negara merdeka sejak Soekarno dan Hatta memproklamasikannya pada 1945.

Menjelang hari ulang tahun kemerdekaan sering terlontar pertanyaan-pertanyaan kritis. “Apa benar kita sudah merdeka?” Demikian tema obrolan warga di warung kopi, pos ronda, pasar, atau di dunia maya. Sebagian mungkin beranggapan bahwa Indonesia belum sepenuhnya merdeka. Alasannya beragam, dari yang levelnya sangat terbatas seperti masih mahalnya harga kebutuhan pokok, hingga tingkat makro semisal anggapan bahwa hasil bumi banyak dikuasai asing atau perekonomian Indonesia dinilai prokapitalisme.

Menilik fakta sejarah, bangsa Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk melawan kolonialisme seperti yang dilakukan oleh Diponegoro (1825-1830) di Jawa, rakyat Aceh (1824-1899) di Aceh, Pattimura (1817) di Maluku, atau kaum Padri (1831-1838) di Sumatera Barat. Tahun 1942 Belanda menyerah kepada Jepang –yang melakukan ekspansi militer ke Asia Timur dan Asia Tenggara dalam Perang Dunia II– dan Indonesia otomatis menjadi wilayah jajahan negeri sakura. Setelah bom atom dijatuhkan ke Hiroshima dan Nagasaki, Jepang menyerah kalah kepada Sekutu. Para tokoh bangsa mendesak Bung Karno dan Bung Hatta memanfaatkan momentum kekosongan kekuasaan itu untuk mengumumkan kemerdekaan Indonesia kepada dunia.

Setelah Proklamasi perjalanan bangsa ini mempertahankan kemerdekaan sangat terjal. Bangsa kita berjuang dengan mengangkat senjata serta melalui jalur diplomasi menghadapi berbagai serangan Belanda untuk merebut kembali wilayah jajahannya, termasuk ketika bertahan dari Agresi Militer 1947 dan 1948.

Perjuangan para pendahulu kita melalui diplomasi membuahkan hasil. Pada 27 Desember 1949 –atas desakan internasional– Kerajaan Belanda akhirnya mengakui kedaulatan negara yang dahulu mereka sebut sebagai Hindia Belanda. Puncaknya, Indonesia baik secara de factomaupun de jure diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai sebuah negara yang berdaulat pada 28 September 1950 melalui dokumen Resolusi Majelis Umum bernomor kode A/RES/491 Tahun Kelima Tentang Penerimaan Republik Indonesia dalam Keanggotaan di PBB.

Dalam hemat penulis, kemerdekaan yang telah didapatkan tersebut harus terus dilestarikan dan dijaga dari ancaman-ancaman penjajahan modern. Kita sebagai generasi penerus bangsa mesti mengawal serta mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari berbagai tantangan baik eksternal maupun internal.

Tantangan eksternal kemerdekaan dapat berupa intervensi kekuatan politik asing dalam mengelola sumber daya yang dimiliki Indonesia. Contoh yang lebih kompleks adalah perang proksi yang melibatkan banyak kekuatan asing dengan menggunakan berbagai sarana seperti 3f (fun, food, fashion) untuk menanamkan pengaruh budaya, atau narkotika dan obat-obat terlarang untuk merusak generasi muda.

Dari sisi internal, kemerdekaan juga bisa terancam. Salah satu misalnya adalah bila paham ekstremisme agama merebak dan menjangkiti masyarakat. Ekstremisme dalam wujud yang paling keras bisa mendorong individu atau kelompok melakukan terorisme. Cara pandang yang ekstrem dalam beragama telah terbukti dapat merusak tata kehidupan yang damai bahkan memecah belah persaudaraan bangsa. Tahun-tahun awal masa Reformasi, Indonesia mengalami konflik komunal berbalut isu agama di Maluku dan Sulawesi Tengah. Aksi teror bom yang menyasar tiga gereja di Surabaya Mei lalu merupakan kasus mutakhir yang menunjukkan betapa ekstremisme selalu mengancam ketenteraman dan kedamaian masyarakat.

Pelaku serangan di Surabaya disebut-sebut meyakini ideologi ekstrem yang dikampanyekan kelompok teroris internasional Negara Islam di Iraq dan Suriah (NIIS). Kelompok ini secara sepihak telah memproklamasikan berdirinya khilafah, dan memerintahkan umat muslim di seluruh dunia untuk berhijrah dari negara masing-masing ke teritori NIIS di Timur Tengah. Dalam konteks penjajahan modern, penulis berpandangan bahwa ideologi NIIS ini merupakan bentuk penjajahan baru. NIIS memang tidak menerjunkan ribuan pasukan militer untuk menduduki wilayah atau menjajah Indonesia namun ideologinya cukup efektif memengaruhi orang untuk melakukan teror. Tujuannya adalah untuk menimbulkan ketakutan yang akut di tengah masyarakat, persis seperti yang dilakukan penjajah terhadap penduduk lokal.

Aksi-aksi teror sejak Bom Bali 2002 hingga Bom Surabaya 2018 telah menimbulkan banyak korban jiwa dan luka-luka. Di luar itu lebih banyak lagi rakyat Indonesia yang dirugikan secara ekonomi dan sosial lantaran kedamaian di lingkungannya rusak gara-gara terorisme. Itulah memang sifat dasar terorisme –aksinya dilakukan secara membabi buta, efeknya bisa mengancam siapa saja, kapan saja, dan di mana saja.

Tindakan keji penganut paham terorisme mengingatkan kita pada era ketika bangsa Indonesia hidup dalam penjajahan negara asing. Pada masa itu, hampir setiap hari rakyat selalu dihadapkan pada situasi yang mencekam. Peperangan pecah di mana-mana, kehidupan jauh dari rasa damai, ketakutan selalu menggelayuti pikiran lantaran keselamatan jiwa terancam setiap saat.

Sudah menjadi kewajiban bagi kita sebagai generasi penerus untuk menjaga kemerdekaan Indonesia. Menjaga kemerdekaan bisa dimaknai dengan mengisi masa-masanya dengan berbagai upaya untuk memakmurkan bangsa. Dan, itu hanya bisa dilakukan apabila kondisi di negara kita damai. Melestarikan perdamaian di Indonesia oleh karena itu merupakan prasyarat agar nikmat kemerdekaan dapat diisi dengan berbagai hal positif demi kemajuan bangsa.

Setiap kita bisa memainkan peran masing-masing untuk menyukseskan agar perdamaian selalu terjaga. Tugas ini bukan hanya kewajiban aparat keamanan melainkan juga seluruh elemen bangsa. Di tingkat paling rendah kita sebagai anggota keluarga harus berkontribusi agar rumah tangga berjalan baik. Di level masyarakat jajaran perangkat daerah, tokoh agama, pendidik, atau pekerja di sektor swasta juga mesti mengokohkan persatuan agar kehidupan sosial berkembang ke arah kemajuan. Pada tingkat elite para tokoh nasional harus mengikis kepentingan pribadi dan golongan demi mencegah terjadinya gesekan sosial.

Penulis mengapresiasi kerja-kerja yang dilakukan oleh Aliansi Indonesia Damai (AIDA) yang mengampanyekan perdamaian melalui kisah korban dan mantan pelaku terorisme. Dari kisah korban masyarakat dapat memahami bahwa kekerasan dan terorisme menimbulkan ekses-ekses yang tak terbatas, menyasar apa dan siapa pun, di mana pun, saat kapan pun, dan dalam kondisi apa pun. Dari mantan pelaku publik mengetahui fakta adanya kelompok yang tidak senang bila negara ini maju dan berkembang. Dengan begitu, masyarakat menjadi semakin tersadarkan bahwa memelihara perdamaian Indonesia sangatlah penting, sekaligus mencegah terjadinya kekerasan merupakan prioritas utama yang harus selalu diupayakan.