Home Wawancara Masyarakat Sumber Kekuatan Pembangunan Perdamaian
Wawancara - 15/11/2016

Masyarakat Sumber Kekuatan Pembangunan Perdamaian

Masyarakat Sumber Kekuatan Pembangunan Perdamaian

Berbagai konflik komunal sering dilihat bisa terselesaikan dengan kebijakan rekonsiliasi dari pemerintah. Di balik semua itu, masyarakat akar rumput sebenarnya memiliki kearifan lokal yang efektif untuk menumbuhkan rekonsiliasi dan perdamaian. Pegiat perdamaian asal Poso, Nerlian Gogali, berpandangan peran masyarakat sipil mengupayakan rekonsiliasi bisa membuat pembangunan perdamaian lebih berkelanjutan. Dalam sebuah kesempatan di Ambon, Maluku, 27 Agustus 2016, redaksi Suara Perdamaian mewawancara Lian, sapaan akrab Nerlian Gogali, untuk membicarakan hal itu. Berikut petikannya.

Bagaimana Ibu memandang kondisi iklim perdamaian di Indonesia?

Setiap periode tantangan perdamaiannya berubah. Di era rezim Orde Baru iklim perdamaian berkaitan dengan isu penegakan hak asasi manusia. Era Reformasi, iklim perdamaian kita berhadapan dengan banyaknya konflik komunal. Tahun 2002 sampai sekarang, perdamaian bersinggungan dengan isu radikalisme dan terorisme. Karena iklimnya berbeda, upaya-upaya membangun perdamaian di Indonesia juga bergerak, tidak stagnan. Pada era rezim Orde Baru upaya yang dilakukan adalah bagaimana masyarakat mendapatkan jaminan atas hak asasinya, seperti hak untuk bersuara, berserikat, berkumpul. Pada 1998 konteksnya adalah konflik komunal, maka upaya perdamaian yang dilakukan adalah menjembatani interaksi dan komunikasi antarkomunitas, dalam beberapa kasus, antaragama. Sekarang, upaya pembangunan perdamaian yang dilakukan adalah pemulihan masyarakat dari trauma konflik dikaitkan dengan strategi pencegahan radikalisme dan terorisme. Yang menarik adalah proses-proses pembangunan perdamaian sebelum era Reformasi hanya didominasi oleh kalangan akademisi. Setelah Reformasi kita belajar masyarakat umum ternyata juga berperan membangun perdamaian. Ada guru, nelayan, petani, karyawan swasta, dan elemen masyarakat lainnya. Ini menunjukkan semua elemen di negara ini peduli dan berupaya melestarikan perdamaian dengan cara berbeda-beda sesuai kemampuan. Jadi sederhananya orang Indonesia tidak diam berpangku tangan untuk membangun perdamaian.

Ibu dikenal di Indonesia, khususnya di Poso, Sulawesi Tengah, sebagai pegiat perdamaian. Apa yang Ibu lakukan untuk membangun perdamian?

Saya sangat percaya bahwa pendidikan itu alat yang paling ampuh untuk membuat perubahan, termasuk mengubah konflik menjadi situasi yang lebih damai dan adil. Kita tahu di Poso ada dua komunitas umat beragama yang di masa lalu pernah terlibat konflik horizontal. Dari itu kami membuat sekolah perempuan. Kami berpikir pendidikan dan perempuan itu dua faktor yang sangat mendasar untuk menumbuhkan perdamaian di tengah masyarakat yang berkonflik. Perempuan itu rata-rata tidak ikut berkonflik tapi bisa terimbas atau terbawa-bawa arus konflik. Sekolah itu menjadi tempat alternatif bagi para perempuan tanpa memandang latar belakang agama, untuk belajar saling memahami, mengurai prasangka, curiga atau dendam. Setelah perempuan saling mengerti, perekonomian di Poso bisa pulih. Pasar menjadi hidup lagi, kebutuhan masyarakat terpenuhi. Dapur di rumah bisa kembali mengepul, anak-anak kembali sekolah, para suami bisa tetap makan. Sebenarnya sekolah perempuan yang kami gagas juga bentuk kritik kami kepada para laki-laki yang dengan naluri maskulinitas sepertinya mudah meletupkan konflik. Para perempuan di Poso menunjukkan kita bisa hidup berdampingan dengan rukun, damai dan bekerja sama membuat masyarakat menjadi maju walaupun kita berbeda keyakinan. Pada intinya dengan sekolah perempuan itu kami ingin menunjukkan bahwa masyarakat bisa menjadi kekuatan pembangunan perdamaian yang berkelanjutan. Dalam menghadapi konflik jangan kita terpaku pasif menunggu pemerintah mengupayakan perdamaian, justru masyarakat itu yang sejak awal harus berperan mewujudkan rekonsiliasi dan perdamaian, termasuk perempuan.

Berbagai kelompok prokekerasan, termasuk kelompok terorisme bermunculan baik di Indonesia maupun di luar negeri. Bagaimana Ibu memandang tantangan pembangunan perdamian di masa depan?

Beberapa tahun lalu kita dikejutkan dengan kemunculan kelompok ISIS dengan berbagai aksi terornya. Mereka sangat cerdas menggunakan media sosial untuk kepentingan teror. Dari media sosial mereka bisa meyakinkan orang dari seluruh dunia untuk mendukung perang di Irak dan Suriah atau bahkan melakukan aksi-aksi teror di mana saja. Dari fakta itu saya melihat banyak yang harus diperbaiki dari kinerja kita membangun perdamaian. Menurut saya kita masih sangat lemah memanfaatkan teknologi informasi untuk mendukung kerja-kerja pembangunan perdamaian. Kita harus lebih kreatif dan produktif mengintegrasikan ide-ide kampanye perdamaian dengan kemajuan ilmu dan teknologi.

Apa saran Ibu agar pembangunan perdamaian di Indonesia berjalan lebih efektif?

Propaganda dari kelompok prokekerasan dengan basis apa pun, termasuk agama, menurut saya itu racun yang sangat merusak nilai luhur agama itu sendiri. Saya berpikir cara mengembalikan citra agama yang paling baik adalah dengan mengefektifkan narasi-narasi keagamaan untuk meng-counter propaganda yang merusak tadi. Selama ini narasi kita ketika terjadi aksi teror hanya sekadar “kami menolak” atau “kami mengutuk teror ini” dan semacamnya. Menurut saya itu tidak efektif, yang membaca paling hanya kita-kita saja. Saya melihat yang dilakukan AIDA cukup kreatif dan menarik dengan, misalnya, mengangkat narasi korban dan mantan pelaku. Dari langkah seperti itu orang-orang yang selama ini menjadi bagian dari silent majority besar kemungkinan tumbuh empatinya kepada korban, dan kesadarannya meningkat untuk meng-counter paham-paham prokekerasan. [MLM](SWD)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *