Home Berita Menggali Makna Ketangguhan dari Kisah Korban dan Mantan Pelaku
Berita - 23/11/2017

Menggali Makna Ketangguhan dari Kisah Korban dan Mantan Pelaku

Seorang peserta menyampaikan pembelajaran yang didapatkan dari kisah Tim Perdamaian dalam kegiatan Seminar Kampanye Perdamaian “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh” di SMA Mathlaul Anwar Pandeglang
Dok. AIDA – Seorang peserta menyampaikan pembelajaran yang didapatkan dari kisah Tim Perdamaian dalam kegiatan Seminar Kampanye Perdamaian “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh” di SMA Mathlaul Anwar Pandeglang (30/11/2016).

 

“Pak Atot, apa kabar, Pak?” kata Iswanto, mantan anggota kelompok prokekerasan, sambil memeluk Atot Ruhendar, penyintas aksi teror Bom JW Marriott 2003. Setelah beberapa waktu tak bertemu, keduanya berkesempatan kembali bersua dan menjadi satu tim untuk mengampanyekan perdamaian kepada generasi muda. Pemandangan ini terjadi dalam perjalanan mereka dari Jakarta menuju Kabupaten Pandeglang untuk kegiatan Seminar Kampanye Perdamaian “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh” pada akhir November lalu.

Suasana keakraban antara Atot dan Iswanto begitu terasa. Sepanjang perjalanan keduanya mengobrol tentang berbagai hal. dari urusan keluarga hingga aktivitas keseharian. Sesekali mereka bercanda sembari bercengkerama dan menikmati makanan ringan. Keakraban mereka juga berlanjut dalam Seminar Kampanye Perdamaian. Dalam kegiatan yang diselenggarakan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) dan didukung Direktorat Pembinaan SMA Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan keduanya berbagi kisah kepada para pelajar tentang pentingnya perdamaian serta bahaya aksi kekerasan.

Iswanto menceritakan liku-liku hidupnya di mana saat usia remaja dia mulai bergabung dengan kelompok kekerasan dan teror. Akibat melangkah di dunia kekerasan, pendidikannya sempat terbengkalai dan interaksinya dengan keluarga dibatasi. Setelah beberapa waktu Iswanto membaca kembali kitab-kitab rujukan agama hingga menyadari kekeliruan pola pikir kelompoknya yang menganjurkan cara-cara kekerasan demi kepentingan sendiri.

“Saya baca lagi ternyata jihad itu bukan cuma perang. Adik-adik ke sekolah dalam rangka tolabul ilmi (menuntut ilmu) ini juga berjihad. Setelah keluar dari kelompok itu saya melanjutkan studi. Saya ikuti ujian Kejar Paket C untuk mendapatkan ijazah setara SMA, lalu saya kuliah dan saya lanjut lagi sampai jenjang S2,” ujar Iswanto.

Sementara itu, saat mengisahkan pengalaman menjadi korban bom, Atot berusaha kuat untuk tidak larut dalam kesedihan. Dari ledakan bom Atot menderita luka bakar serius di seluruh badan. la sempat dirawat beberapa bulan di rumah sakit. Kendati terluka dan kondisi kulitnya tidak kembali sempuma, ia mengaku tidak mendendam para teroris. Baginya, perasaan diri yang tidak bisa mengikhlaskan kejadian yang telah berlalu akan semakin memberatkan hidup.

“Saya mengajak kepada semuanya, khususnya kepada anak-anakku generasi muda sekalian. marilah kita hidup dalam suasana yang damai. Orang hidup harus saling menghargai. Jangan sampai aksi-aksi kekerasan seperti yang menimpa saya terulang,” kata dia.

Dalam forum seminar. Iswanto mengucapkan permintaan maaf kepada Atot sebagai salah satu korban teror di Indonesia. Atot pun berbesar hati memaafkan Iswanto. Disaksikan para siswa. Iswanto memeluk dan menjabat iangan Atot. Riuh tepuk tangan pun membahana.

Seminar Kampanye Perdamaian ”Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh” diikuti 200 pelajar dari empat sekolah di Pandeglang, yaitu, SMAN 3, SMAN 4, SMAN 11, dan SMA Mathlaul Anwar sebagai tuan rumah kegiatan. Selama kegiatan berlangsung para peserta menunjukkan antusiasme tinggi.

Dalam sesi dialog, beberapa peserta melontarkan pertanyaan kepada Atot dan Iswanto. Kisah hidup Atot saat bangkit dari keterpurukan akibat teror Bom JW Marriott 2003 mendorong mereka untuk mengetahui lebih banyak tentang semangat ketangguhan yang dimilikinya. Kesaksian Iswanto meninggalkan kelompok prokekerasan dan berbalik menyuarakan perdamaian juga sangat menginspirasi para pelajar peserta Seminar.

Direktur AIDA, Hasibullah Satrawi, pada akhir kegiatan menyimpulkan pembelajaran tentang ketangguhan. Pembelajaran dari korban, kata dia, adalah tidak membalas kekerasan dengan kekerasan. Serta bangkit dari keterpurukan. Sementara itu, lanjutnya, dari mantan pelaku kita bisa belajar bahwa ketidakadilan tidak bisa dibalas dengan ketidakadilan. Terlebih lagi ketidakadilan di luar negeri tidak patut dibalas dengan menciptakan ketidakdilan lainnya di negeri sendiri. Makna ketangguhan dari mantan pelaku juga mengajarkan kita agar berani mengakui kesalahan kemudian memperbaikinya dengan amal kebajikan.

“Saya harap apa yang didapat dari kegiatan ini digunakan oleh adik-adik sekalian untuk meningkatkan prestasi di sekolah, menjadi generasi yang membanggakan dan tidak suka melakukan aksi kekerasan,” kata dia.

Usai kegiatan, seorang peserta dari SMAN 3 menyampaikan kesan dan pesannya. Dia mengaku mendapatkan pengalaman berharga setelah mengikuti Seminar Kampanye Perdamaian. “Saya akan merealisasikan yang sudah saya dapat dari kegiatan ini dengan cara menyampaikan ke teman, saudara, keluarga dan orang-orang di sekitar saya untuk tidak melakukan kekerasan, apalagi yang berkedok agama.” ujarnya. [MLM]

 

 

*Artikel ini pernah dimuat di Newsletter AIDA “Suara Perdamaian” edisi XI Januari 2017.