Home Berita Menyemai Perdamaian dari Lapas
Berita - 22/11/2017

Menyemai Perdamaian dari Lapas

Para peserta berfoto bersama setelah mengikuti Pelatihan Penguatan Perspektif Korban Terorisme bagi Petugas Pemasyarakatan di Surakarta, Selasa (11/10/2016).
(Dok. AIDA) Para peserta berfoto bersama setelah mengikuti Pelatihan Penguatan Perspektif Korban Terorisme bagi Petugas Pemasyarakatan di Surakarta, Selasa (11/10/2016).

 

Masih lekat betul dalam ingatan Wartini suara mendiang suaminya, Syahromi, saat menahan sakit di bagian kepalanya. Syahromi meninggal dunia dua tahun setelah terkena ledakan Bom Kuningan 2004. Dari hasil pemeriksaan medis, gendang telinganya mengalami luka parah akibat peristiwa teror itu. Pelbagai upaya pengobatan telah ditempuh hingga akhirnya ia harus menghadap Tuhan pada usia 38 tahun.

“Kalau pas lagi sakit, dia teriak-teriak. Mungkin saking sakitnya. Nggak tega melihatnya,” ujar Wartini mengenang. Saat ditinggal suami, dia sedang mengandung anak ketiga. la lantas bekerja serabutan demi membesarkan ketiga buah hatinya. Perempuan berjilbab ini bersyukur, dengan bantuan beasiswa dari beberapa pihak, anak pertamanya telah lulus dari bangku perguruan tinggi, sedangkan anak kedua dan ketiganya masih bersekolah.

Kisah itu dituturkan Wartini di hadapan para peserta Pelatihan Penguatan Perspektif Korban Terorisme Bagi Petugas Pemasyarakatan Wilayah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), di Surakarta, Jawa Tengah, pertengahan Oktober 2016. “Saat kejadian bom itu, suami saya bekerja sebagai petugas keamanan di kantor Kedubes Australia,” katanya menambahkan.

Selain Wartini, hadir pula Nagiyah Aprilia, janda mendiang Harna, korban Bom JW Marriott 2003. Saat ledakan terjadi, Harna yang bekerja sebagai pengendara taksi sedang menunggu penumpang di pelataran parkir hotel. Nagiyah mengaku sempat marah dan tidak bisa menerima kenyataan itu. “Kenapa kok suami saya? Dia kan tak bersalah. Dia tulang punggung keluarga,” ujarnya.

Seiring waktu, Nagiyah menyadari bahwa peristiwa tersebut adalah suratan takdir. la terus berikhtiar untuk membesarkan ketiga buah hatinya. “Saya berharap tak ada lagi aksi teror yang justru menimbulkan korban-korban tak bersalah,” ia berpesan.

Salah seorang peserta dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Pasirputih Nusakambangan mengaku salut terhadap Wartini dan Nagiyah. Meski kehilangan suami tercinta akibat peristiwa tragis dan lantasmenjadi orang tua tunggal, keduanya mampu mengantarkan anak-anak mengenyam pendidikan sampaiperguruan tinggi. “Ibu berdua perempuan hebat, karena nggaksemua orang bisa begitu, bisa menerima kenyataan pahit, bangkit dari penderitaan, dan bisa merawat anak-anak,” dia menuturkan.

Peserta lain dari Lapas Pekalongan berkomitmen untuk menyampaikan pesan moral keduanya kepada warga binaan pemasyarakatan (WBP) tindak pidana terorisme. “Meski kasus terornya beda, mereka (para WBP) juga punya anak-istri. Semoga kisah ibu berdua bisa mengubah atau setidaknya meminimalisasi pandangan mereka,” kata dia.

Direktur Aliansi Indonesia Damai (AIDA), Hasibullah Satrawi, dalam pelatihan mengungkapkan kegiatan ini bertujuan untuk memperkuat perspektif korban di kalangan petugas Lapas. Para petugas setelah bertemu, menyaksikan dampak terorisme dalam diri korban,serta berdialog langsung dengan korban, dapat menyampaikan kisah korban saat berdialog dengan WBP terorisme. “Kisahkorban diharapkan dapat memancing empati dan pikiran kritis WBP terhadap ideologi kekerasan atas nama agama yang diyakininya sebagaikebenaran,” ujarnya.

Seminar Penanganan Terorisme di Lapas

Sebelum Pelatihan Petugas Pemasyarakatan berlangsung, diselenggarakan kegiatan seminar terbuka “Penanganan Terorisme di Lapas”sebagai bagian dari Program Aksi Nasional (Prognas) Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum danHak Asasi Manusia untuk Penanggulangan Terorisme. Bertindak sebagai narasumber seminar adalah Dirjen Pemasyarakatan, I Wayan Kus- miantha Dusak, dan pakar terorisme dari UniversitasIndonesia, Solahudin.

Dusak mengapresiasi salah satu program AIDA yang bekerja sama dengan Ditjen Pemasyarakatan,yaitu Dialog Korban dengan WBP Terorisme.

Dalam paparannya, dia mengungkapkan beberapa permasalahan yang dihadapi Ditjen Pemasyarakatan dalam program pembinaan WBP terorisme. Secara kuantitatif, jumlah WBP terorisme sangat kecil dibandingkan dengan WBP kasus tindak pidana lainnya. Namun, pembinaan WBP terorisme membutuhkan pendekatan khusus lantaran terkait dengan ideologi yang bersemayam dalam diri WBP. “Ideologi radikal tak bisa diubah. Yang bisa, bagaimana ideologi itu tak berkembang,” kata dia.

Dalam pandangannya, keberhasilan pembinaan WBP terorisme sangat bergantung komponen, yaitu petugas Lapas, pemerintah,masyarakat, dan swasta. Petugas Lapas sebagai pembina, pemerintah sebagai fasilitator, masyarakat sebagai pihak yang akan menerima kembali mantan WBP, dan swasta (badan usaha) juga berperan penting. “WBPterorisme sudah kita latih di Lapas tetapi begitu keluar tidak ada yang menampung, tidak ada modal, maka rawan kembali lagi ke habitatnya,” terangnya.

Dalam seminar, pakar terorisme, Solahudin, mengungkapkan bahwa ancaman penularan paham radikal antarWBP, khususnya yang berafiliasi dengan kelompok ISIS, di dalam Lapascukup tinggi. Hal ini menuntutsrategi penanganan yang tepat untuk membina WBP terorisme sekaligus meminimalisasi penyebaran paham radikal. [MSY]