Bangkit dari Keterpurukan

Akhir November 2017 lima sekolah di Kota Bima, Nusa Tenggara Barat menjadi tuan rumah Seminar Kampanye Perdamaian yang diselenggarakan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) dan didukung oleh Direktorat Pembinaan SMA Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Lima sekolah tersebut adalah SMAN 1, SMAN 2, SMAN 3, SMAN 4, dan SMAN 5 Kota Bima. Di setiap sekolah tak kurang dari 50 siswa mengikuti kegiatan yang mengambil tema “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh”.
Tim Perdamaian AIDA, yang terdiri dari penyintas dan mantan pelaku terorisme yang telah berekonsiliasi, berbagi pengalaman kepada para siswa peserta seminar. Anggota Tim Perdamaian yang hadir dalam kesempatan di Bima ialah Chusnul Chotimah (penyintas aksi teror Bom Bali 2002), Sudarsono Hadisiswoyo (penyintas aksi teror Bom Kuningan 2004), dan Iswanto (mantan anggota kelompok teroris).
Chusnul, Sudarsono, dan Iswanto secara bergantian mengisahkan pengalaman hidup masing-masing. Saat aksi teror terjadi di daerah Legian, Bali, Chusnul sedang berada di tepi jalan membeli nasi bungkus. Bom bermuatan lebih dari satu ton serta bercampur bensin itu merusak dan membakar segala yang ada di sekitar lokasi kejadian. Dia mengalami luka bakar serius di sekujur tubuhnya. Hampir satu tahun ia menjalani masa pengobatan dan harus menahan rasa sakit yang luar biasa.
Sempat hampir berputus asa, Chusnul bertahan dan kini bangkit mengalahkan berbagai tantangan hidup. Dia telah menghilangkan rasa dendam dalam hati. Termasuk kepada orang-orang yang pernah terlibat terorisme, dia memilih untuk berbesar hati memaafkan kesalahan ketimbang meyimpan dendam. “Saya dapat banyak masukan bahwa dendam itu tidak menyelesaikan masalah. Perlahan-lahan saya renungkan itu dan akhirnya dendam bisa hilang,” ujarnya.
Tim Perdamaian dari unsur mantan pelaku, Iswanto, juga berbagi kisah dalam Seminar Kampanye Perdamaian. Dia menceritakan, saat bergabung dengan kelompok teroris sering menerima doktrin untuk membenci dan menimpakan keburukan kepada umat yang beragama non-Islam.
Setelah beberapa waktu muncul kesadaran dalam dirinya untuk mengevaluasi cara pandang kelompoknya dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Kesadarannya semakin menguat setelah gurunya menasihati agar menghentikan cara-cara kekerasan dalam menyampaikan dakwah di masyarakat. Pertemuannya dengan korban aksi teror juga memantapkan hatinya untuk aktif mengampanyekan bahaya paham terorisme.
Para siswa peserta Seminar Kampanye Perdamaian merespons positif kegiatan. Seorang siswi SMAN 3 mengatakan bahwa pengalaman hidup korban aksi teror sangat menyedihkan namun mengandung banyak pelajaran berharga. Sesuai dengan tema kegiatan “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh”, dia menyimpulkan makna ketangguhan dari penuturan kisah Tim Perdamaian. Menurut dia, agar menjadi generasi yang tangguh pelajar Indonesia harus menanamkan semangat pantang menyerah dalam menghadapi berbagai tantangan.
“Dari sebuah keterpurukan, bukan berarti harus berhenti berjuang, justru harus bangkit dari keterpurukan tersebut,” kata dia.
Di kesempatan terpisah seorang siswa SMAN 4 menyampaikan kesan mengikuti seminar. Selain mengaku senang karena mendapatkan wawasan baru dari kegiatan, dia menyerap banyak pengetahuan yang bermanfaat. Salah satunya adalah sikap menjadi pemaaf atas kesalahan orang lain. “Saya banyak mendapat pelajaran dari Bu Chusnul, kita bisa belajar bagaimana memaafkan seseorang walaupun orang tersebut sudah berbuat jahat kepada kita,” dia menuturkan. [F]