Home Berita Revisi UU Antiteror Harus Akomodasi Hak Korban
Berita - 30/01/2018

Revisi UU Antiteror Harus Akomodasi Hak Korban

Dok. AIDA – Ramdhani, penyintas Bom Kuningan 2004, menyampaikan kisahnya dalam Short Course Penguatan Perspektif Korban dalam Peliputan Isu Terorisme di Jakarta (24/1/2018).

(JAKARTA) Aliansi Indonesia Damai (AIDA) sebagai salah satu organisasi kemanusiaan yang bergerak dalam upaya pemulihan korban aksi terorisme mendorong agar dalam revisi UU Antiterorisme juga memuat pasal-pasal terkait dengan pemenuhan hak-hak korban yang masih lemah dalam ketentuan yang ada selama ini. Khususnya hak kompensasi yang sampai hari ini belum pernah terimplementasikan secara sempurna.

“Kami tetap mendorong pemenuhan hak-hak korban terorisme yang diamanatkan dalam UU 15/2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan UU 31/2014 Tentang Perhndungan Saksi dan Korban.” kata Direktur AIDA, Hasibullah Satrawi, Kamis (25/1) di Jakarta.

AIDA mengusulkan agar pelaksanaan hak kompensasi dalam persoalan terorisme kedepannya tidak perlu menggunakan mekanisme putusan pengadilan. Melainkan melalui putusan lembaga negara yang terkait dengan persoalan terorisme.
“Sehingga para korban bisa mendapatkan hak kompensasi secara lebih mudah dan dalam waktu yang secepat-cepatnya,” ucapnya.

Dalam upaya memenuhi hak para korban terorisme juga diingatkan agar segenap lembaga negara yang berwenang dalam penanganan dan pemenuhan hak-hak korban dapat bersinergi dan bekerja sama secara baik. Dengan demikian upaya pemenuhan hak-hak korban bisa terlaksana secara baik.

“Kami juga mendorong revisi UU Antiterorisme agar juga memuat norma bahwa penanganan korban pada masa-masa kritis, para korban bisa langsung mendapatkan penanganan medis secara cepat dari rumah sakit terdekat tanpa menunggu adanya pihak yang menjamin biaya penanganan medis tersebut,” ucapnya.

Seperti diketahui, hampir sebagian besar korban tindak pidana korupsi banyak yang tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah. Padahal, hingga kim masih banyak yang merasakan penderitaan berkepanjangan.

Ramdani, salah satu korban bom Duta Besar Australia, Kuningan pada 2004 lalu mengaku, hingga kini masih sering merasakan sakit yang luar biasa di kepalanya karena masuknya pecahan kaca di bagian otak. Akibat kejadian bom Kuningan, dirinya juga kehilangan pekerjaan dan mengalami cacat mata permanen.

Ironisnya, selama jangka waktu itu juga, yang lebih tergerak memberikan bantuan untuk pengobatan justru datang dari Kedutaan Besar Australia, bukan dan pemerintah Indonesia.

Tak Setuju

Di tempat terpisah, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly tidak setuju dengan usul Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto soal penggantian judul UU 15 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme.

“Tidak mungkin kami revisi judul karena akan membuat baru,” kata Yasonna, di sela rapat kerja dengan Komisi III, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, seperti dikutip Antara, Kamis (25/1).

Menurut dia, akan butuh proses yang lama jika melakukan penggantian judul yang sudah ada. Sebab, perlu ada pembuatan dan pengajuan naskah akademik baru soal UU tersebut jika judulnya diganti. Saat ini, kata Yasonna, yang menjadi pembahasan adalah substansi dari UU Tindak Pidana Terorisme. [H-14/Y-7]