Menguatkan Komitmen Pencegahan Kekerasan dari Lapas

Timur (4/12/2017).
Usianya masih 21 tahun kala itu. Sembari kuliah dia bekerja sebagai petugas keamanan di kantor Kedutaan Besar Australia di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Cita-citanya membubung tinggi. Namun, serangan teror bom di depan kantornya pada 9 September 2004 mengubah haluan hidupnya.
“Setelah peristiwa itu, saya lebih banyak diam di rumah. Kondisi fisik tidak bisa pulih sepenuhnya. Saya tidak bergairah untuk bekerja atau pun kuliah.Saya merasa mimpi-mimpi saya hilang,” ujar Sudjarwo, korban Bom Kuningan 2004, dalam Pelatihan Penguatan Perspektif Korban Terorisme Bagi Petugas Pemasyarakatan di Kupang, Nusa Tenggara Timur awal Desember lalu.
Dalam pelatihan yang diselenggarakan Aliansi Indonesia Damai (AIDA), bekerja sama dengan Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham, Sudjarwo menceritakan apa yang dia alami saat terdampak ledakan bom. Tulang-tulang jari tangannya rusak sehingga harus ditransplantasikan dengan tulang panggul.Jari-jari tangannya kini tak berengsel, pendengarannya juga terganggu.Ia dirawat selama 40 hari pascakejadian, dan harus menjalani 14 kali operasi penyembuhan selama beberapa tahun setelahnya. Beberapa serpihan logam dibiarkan bersarang di tubuhnya, sebab secara medis terlalu berisiko jika diambil.
Di samping Sudjarwo, dalam kegiatan tersebut dihadirkan pula Agus Suaersih (korban Bom JW Marriott 2003) dan Agus Kurnia (korban Bom Thamrin 2016) untuk berbagi kisah kepada para petugas Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Ade, sapaan akrab Agus Suaersih, menjalani beberapa kali operasi dan perawatan untuk mengobati gegar otak yang dia alami efek dari ledakan bom di Hotel JW Marriott Jakarta pada 5 Agustus 2003.Sementara itu, Agus Kurnia mengalami gangguan pendengaran dan trauma berat setelah terdampak aksi teror bom di Jalan MH Thamrin Jakarta Pusat pada 14 Januari 2016. Sudjarwo, Ade, dan Agus mengaku telah ikhlas menerima yang menimpa mereka sebagai bagian dari perjalanan hidup untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Penuturan kisah korban menjadi hal terpenting dalam pelatihan yang diikuti petugas Lapas di wilayah Nusa Tenggara itu.Direktur Aliansi Indonesia Damai (AIDA), Hasibullah Satrawi, menyatakan bahwa aksi teror bagi korban adalah takdir kehidupan yang tak terhindarkan.Namun, bagi dirinya sebagai aktivis sosial dan bagi petugas Lapas sebagai aparat negara, terjadinya aksi teror adalah kesalahan sebab usaha mencegah orang terdoktrin ekstremisme berbasis agama dinilai belum optimal.Karena itu dalam pelatihan pihaknya menghadirkan korban terorisme untuk bersilaturahmi dengan para petugas Lapas.
Dalam hemat Hasibullah, petugas Lapas memiliki peran signifikan untuk mencegah penyebaran ekstremisme.Sebab, banyak ekstremis dan pelaku teror kini mendekam di Lapas. Peran petugas adalah mengupayakan agar warga binaan pemasyarakatan (WBP) kasus terorisme tidak kembali terjerat dalam lingkaran ideologi dan kekerasan usai menjalani hukuman. “Dengan melihat dampak sadisnya terorisme dalam diri korban, kami berharap komitmen para petugas Lapas untuk mencegah terorisme semakin kuat,” ujarnya.
Gayung bersambut. Harapan Hasibullah menuai respons positif dari peserta pelatihan. Delegasi Lapas Ende mengaku sangat terharu dengan kisah korban dan memahami beratnya penderitaan mereka. “Saya mengucapkan terima kasih kepada para korban yang berkenan hadir ke sini.Itu menjadi acuan dan pegangan ketika kami bertemu pelaku terorisme di Lapas untuk menyadarkan mereka kembali ke jalan yang benar,” kata dia.
Selain korban, kegiatan ini juga menghadirkan dua orang mantan pelaku terorisme yang kini aktif mengampanyekan perdamaian, yaitu Sofyan Tsauri dan Kurnia Widodo. Sofyan yang juga ahli agama menyampaikan materi counter narasi keagamaan radikal. Sebagai mantan WBP kasus terorisme dia mengerti betul dalil-dalil keagamaan yang digunakan kelompok ekstrem, khususnya para simpatisan Islamic State of Iraq and Syam (ISIS).
Menurut Sofyan, kebanyakan dari mereka menolak Indonesia karena menerapkan hukum buatan manusia. Padahal, banyak peraturan resmi di negara ini yang mengadopsi hukum Islam.Umat Islam juga dijamin keamanannya dalam melakukan aktivitas keagamaan.Selain itu mereka menganggap aparat negara, termasuk petugas Lapas, sebagai orang kafir.“Kalau dikafirkan, tak perlu khawatir.Jawab saja, yang penting kan tetap shalat, puasa, dan zakat,” ucapnya menyarankan.
Sementara itu, Kurnia Widodo menuturkan kisahnya soal awal keterlibatannya dalam kelompok ekstremis hingga akhirnya memutuskan untuk keluar dari jaringan tersebut.Ia mulai mengalami perubahan pandangan saat menjalani hukuman di Lapas. Saat itu ia kerap bertukar pikiran dengan orang yang berbeda pemikiran dengannya. Kesadarannya untuk meninggalkan kelompok kekerasan semakin kuat ketika bertemu para korban terorisme.Kini dia merintis usaha kecil, mengajar les privat, dan aktif mengampanyekan perdamaian.Baginya, hal kecil untuk perdamaian lebih bernilai ketimbang hal besar untuk kekerasan. [MSY]
*Artikel ini pernah dimuat di Newsletter AIDA “Suara Perdamaian” edisi XV Januari 2018.