Seminar Sehari “Halaqah Keindonesiaan: Belajar dari Korban dan Mantan Pelaku Terorisme” yang diselenggarakan oleh Aliansi Indonesia Damai (AIDA) bekerja sama dengan Prodi Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta (UNJ) di Jakarta, Kamis (1/11/2018).
Home Berita Penyintas: Mari Ubah Kebencian Menjadi Kekeluargaan
Berita - 12/11/2018

Penyintas: Mari Ubah Kebencian Menjadi Kekeluargaan

Seminar Sehari “Halaqah Keindonesiaan: Belajar dari Korban dan Mantan Pelaku Terorisme” yang diselenggarakan oleh Aliansi Indonesia Damai (AIDA) bekerja sama dengan Prodi Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta (UNJ) di Jakarta, Kamis (1/11/2018).
Seminar Sehari “Halaqah Keindonesiaan: Belajar dari Korban dan Mantan Pelaku Terorisme” yang diselenggarakan oleh Aliansi Indonesia Damai (AIDA) bekerja sama dengan Prodi Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta (UNJ) di Jakarta, Kamis (1/11/2018).

 

ALIANSI INDONESIA DAMAI – Pepatah Arab menyebutkan bahwa manusia tak pernah luput dari kesalahan dan kekhilafan. Kesalahan yang ditimpakan manusia terkadang terasa ringan namun ada juga yang begitu menyakitkan dan membekas di dalam hati.

Meskipun demikian, seberat apa pun kesalahan yang diperbuat manusia, termasuk mencederai tubuh atau bahkan membunuh, setiap hamba dianjurkan untuk melapangkan dada. Memaafkan berarti menghapus semua kesalahan yang pernah dilakukan orang lain sehingga yang ada adalah kedamaian antara dua insan untuk saling menyongsong masa depan yang damai dan tenteram.

Pesan itulah yang mengemuka pada acara Seminar Sehari “Halaqah Keindonesiaan: Belajar dari Korban dan Mantan Pelaku Terorisme” yang diselenggarakan oleh Aliansi Indonesia Damai (AIDA) bekerja sama dengan Prodi Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta (UNJ) di Jakarta, Kamis (1/11/2018).

Hadir sebagai narasumber dalam acara itu sosiolog Universitas Indonesia, Imam B. Prasodjo; dosen Fakultas Ilmu Sosial UNJ, Dr. Ramdhoni; penyintas Bom Bali 2002, Ni Luh Erniati; mantan pelaku terorisme, Ali Fauzi; dan direktur AIDA, Hasibullah Satrawi. Wakil Rektor III UNJ, Prof. Dr. Ahmad Sofyan Hanief, berkesempatan menyambut dan membuka secara resmi acara seminar. Tercatat 245 orang mengikuti seminar yang dihelat di Gedung Ki Hajar Dewantara Kampus UNJ. Sebagian besar peserta adalah mahasiswa UNJ dan sejumlah perguruan tinggi di Jakarta.

Dalam forum seminar Erni menceritakan tentang pengalamannya menghadapi trauma berat akibat kejadian teror bom di Legian, Bali 16 tahun silam. Mendiang suaminya, Gede Badrawan, ialah di antara 202 korban jiwa dari tragedi itu. Setelah peristiwa mengerikan itu, Erni tidak tahu bagaimana harus melanjutkan hidup tanpa kehadiran sosok suami dan ayah bagi dua putranya. “Saya trauma berat sehingga tidak bisa melakukan aktivitas seperti biasa,” ujarnya dengan terbata-bata.

Namun demikian, setelah bertahun-tahun trauma, ia memilih bangkit dan melakukan aktivitas seperti orang lain pada umumnya.

Erni menyadari setiap perbuatan buruk yang pernah ditimpakan orang lain terhadap dirinya tidak harus dibalas dengan amarah dan dendam terus menerus, karena hal itu hanya bisa membuat dirinya lebih terpuruk. Daripada memendam amarah yang membayanginya setiap hari, ia lebih memilih menjadi pribadi pemaaf melalui ketulusan hati dan kesadaran penuh bahwa semua yang terjadi merupakan takdir Yang Maha Kuasa.

Beberapa tahun setelah peristiwa teror Bom Bali, Erni memilih memberikan maaf dan berlapang dada, bahkan tidak memiliki niat sedikit pun untuk membalas perilaku teroris yang telah merenggut sebagian kebahagiaannya. Bagaimana pun juga, bagi Erni, kebencian dan amarah yang dipendam tidak mungkin mengembalikan orang terkasih yang telah pergi. “Kalau pun saya membalas teroris, itu tidak akan mengembalikan suami saya,” kata dia.

Dalam kesempatan itu Erni juga menceritakan pengalamannya bertemu dengan seorang mantan pelaku terorisme, yang merupakan saudara dari para pelaku aksi teror Bom Bali yang menewaskan suaminya. Mantan pelaku itu bernama Ali Fauzi. Erni mengatakan perasaannya penuh dinamika rasa saat pertama kali dipertemukan dengan Ali. Dia mengaku setelah melalui proses dan dengan bantuan fasilitasi dari AIDA, dia mampu melampaui keterpurukan. Saat ini Erni dan Ali telah bersatu bersama AIDA mengampanyekan perdamaian kepada masyarakat. Erni bahkan sudah menganggap Ali Fauzi layaknya keluarga. “Mari kita ubah kebencian menjadi kekeluargaan,” ujarnya.

Erni pun mengajak para hadirin Seminar untuk belajar memaafkan kesalahan orang lain. Sebab, seberat atau sepedih apa pun kesalahan manusia, Tuhan tetap menganjurkan hamba-Nya untuk memaafkan. Hanya dalam jiwa orang-orang pemaaflah kedamaian dan ketenteraman bisa terwujud.

Wakil Rektor III UNJ, Prof. Dr. Ahmad Sofyan Hanief, mengapresiasi kegiatan yang diselenggarakan oleh AIDA. Ia berharap, AIDA menjadi pionir perdamaian bagi perjalanan bangsa dan negara Indonesia. “AIDA harus tetap menjadi pionir perdamaian,” ujarnya. Ia juga berharap para aktivis mahasiswa bisa menjadi duta perdamaian untuk kampus masing-masing. “Aktivis bisa menyampaikan perdamaian setelah melalui seminar ini,” pungkasnya. [AH]