Choirul Ihwan, Tim Perdamaian, Berbagi Semangat Ketangguhan di SMAN 5 Bima
Home Inspirasi Suara Mantan Pelaku Kasih Ibu Selamatkan Mantan Pelaku
Suara Mantan Pelaku - 08/01/2019

Kasih Ibu Selamatkan Mantan Pelaku

ALIANSI INDONESIA DAMAI – Mata Choirul Ihwan berkaca-kaca saat menceritakan pengalaman kelamnya di dunia terorisme dalam sebuah kegiatan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) di Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat pertengahan Oktober 2018 lalu. Choirul mengatakan bahwa kasih sayang ibunya menjadi titik awal kesadarannya untuk melepaskan diri dari jerat terorisme.

Saat masih begabung dengan kelompok teroris dan bersembunyi di hutan di wilayah Sulawesi pada tahun 2011, Choirul mengaku selama tiga hari berturut-turut sosok ibundanya hadir dalam mimpi. Awalnya ia mengabaikan dan menganggap hal itu hanya bunga tidur semata. Setelah tiga malam mimpi serupa terjadi terus, dia mulai gelisah.

Dia memutuskan untuk turun gunung, keluar hutan agar bisa menghubungi keluarganya di Madiun, Jawa Timur yang sudah dia tinggalkan sekitar tiga tahun. Panggilan teleponnya diterima oleh seorang kakaknya. Alangkah terkejutnya Choirul ketika sang kakak mengabarkan bahwa beberapa jam sebelumnya ibunda tercinta meninggal dunia.

Dari momen itu Choirul mulai berpikir kritis terhadap keputusannya berada di dunia kekerasan, bergabung dengan kelompok teroris. Salah satu yang menggelitik pikirannya adalah mengapa hubungannya dengan keluarga menjadi terputus sejak dirinya menganut paham keagamaan yang ekstrem. Sebelum meninggalkan rumah untuk berpetualang bersama kelompok teroris, bungsu dari lima bersaudara ini mengumpulkan seluruh saudaranya di rumah orang tua, kemudian dia mengafirkan mereka semua.

Pengalamannya ‘didatangi’ ibu dalam mimpi membuat doktrin-doktrin ekstrem yang pernah dia terima dari kelompoknya mulai runtuh. Dia tidak pernah percaya yang namanya firasat. Menurutnya intuisi seperti itu adalah hal yang tidak berdasar. Namun, dia meyakini ikatan batin dan kasih sayang antara ibu dan anak memang tak bisa dipisahkan. Kasih sayang orang tua telah memanggilnya ‘pulang’, meninggalkan dunia kekerasan untuk meniti jalan perdamaian.

Bergabung Dengan Kelompok Teroris

Pengalaman hidup Choirul sungguh menarik. Dia berasal dari keluarga yang moderat. Sejak kecil dididik agama Islam dengan kultur yang tradisionalis. Bapaknya seorang kiai kampung dan ibunya merupakan pengurus organisasi Islam tradisional. Namun, jiwa mudanya yang berapi-api tidak terpuaskan dengan ajaran Islam yang biasa saja hingga dirinya tergiur ke jalan ekstremisme.

Pada 1998 sejak masih SMA, Choirul bergabung dengan sebuah partai dakwah, yang menurutnya sesuai dan bisa menjadi oase pelepas dahaga jiwanya. Dia merasa menemukan ‘keluarga’ yang pas dengan dirinya. Rasa persaudaraan, solidaritas, dan semangat beragama yang tinggi menjadi motivasinya bergabung dengan kelompok ini. Dalam ‘keluarga’ baru ini dia mendapatkan jalan untuk mengaktualisasikan diri menjadi pribadi muslim sejati.

Beberapa tahun kemudian, Choirul tidak lagi nyaman berada di kelompok ini. Menurutnya ada yang salah dengan partai dakwah yang diikutinya. Partai ini masih berada di lingkaran demokrasi, sistem bernegara yang menurutnya tidak sesuai dengan Islam.

Tahun 2000 ia bergabung dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Namun, lagi-lagi jiwa ‘petarung’ yang membara dalam dirinya masih tidak puas dengan kelompok barunya ini.

Tak lama setelah ikut HTI, tahun 2001 ia pindah ke kelompok yang lebih keras, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Dia anggap kelompok ini bisa menjadi kendaraan untuk mencapai cita-citanya, yaitu berjihad di jalan Allah dalam arti berperang mengangkat senjata. Namun, menurutnya sudah cukup lama tergabung dalam kelompok ini ia tak juga dikirim untuk berperang.

Ketidakpuasan Choirul kemudian mulai terjawab ketika ia menjalin pertemanan dengan seseorang di media sosial pada tahun 2008. Dia masuk ke lingkup kelompok ekstrem yang sangat eksklusif bernama Jamaah Thaliban Melayu. Dari kelompok ini dia mencapai puncak pribadi yang ekstrem. Ia benar-benar melepas semuanya demi keyakinannya. Keluarga, anak, dan istri yang menurutnya tersesat di jalan kekafiran, berada di bayang-bayang thagut, dia tinggalkan demi apa yang ia yakini sebagai perjuangan di jalan agama yang sesuai dengan kelompoknya.

Tahun 2010 Choirul sempat akan mengikuti pelatihan paramiliter di Pegunungan Janto Aceh, namun batal lantaran terendus Densus 88. Dia kemudian pergi ke Sulawesi Barat untuk bergabung dengan teman-temannya di Mamuju. Pada 2012 dia pindah ke Jakarta untuk membuat bengkel perakitan senjata. Sepak terjang Choirul akhirnya terhenti setelah ditangkap aparat keamanan di Bekasi, pada Agustus 2013. Dalam persidangan, ia divonis hukuman penjara 4 tahun.

Jalan Pertaubatan

Dalam masa hukuman, Choirul mengalami fase pertobatan lebih lanjut. Pertama, paham ekstremisme yang membuat hubungan persaudaraan dengan keluarganya terputus, hingga puncaknya saat dia kehilangan ibu, mendorongnya untuk mengkritisi doktrin-doktrin yang pernah diterimanya. Dia mulai terbuka untuk membaca literatur keagamaan yang tidak diajarkan kelompoknya. Fase berikutnya adalah saat ia dipertemukan oleh AIDA dengan salah seorang korban aksi teror bom di Hotel JW Marriott Jakarta yang terjadi pada tahun 2003. Melihat kondisi korban yang mengalami luka bakar sangat parah, Choirul mengaku merasa terpukul.

“Saya kaget, ketika didatangi korban. Saya meminta maaf langsung kepada beliau, meski saya bukan pelaku langsung Bom JW Marriott, tapi saya pernah mendukung,” ujarnya.

Dia mengaku sangat takjub akan kelapangan hati korban yang mau dan mampu memaafkan mantan pelaku teror. Kebesaran hati korban membuatnya merasa kecil mengingat perbuatannya di masa lampau.

“Akhirnya saya banyak belajar dari beliau. Banyak sekali mendapatkan inspirasi yang positif,” jelasnya.

Kini usai lepas dari menjalani hukuman Choirul berniat untuk menyusun lembaran baru. Belajar dari masa lalunya, dia ingin berbagi pesan kepada masyarakat, khususnya generasi muda, agar menghindari paham keagamaan yang menyimpang. Menurutnya, hal terpenting bagi generasi muda adalah jangan pernah meragukan kasih sayang keluarga. Choirul muda, dalam kenangannya, terjerembab ke lembah kelam terorisme karena awalnya mengabaikan kasih sayang keluarga.

“Saya berpesan agar selalu berpikir positif terhadap keluarga, dan jangan pernah meragukan kasih sayang keluarga. Ini yang saya rasakan. Saya meragukan kasih sayang mereka. Padahal terbukti, merekalah yang telah merawat saya hingga besar. Dan, ketika saya melakukan kesalahan besar hingga mengafirkan mereka, juga akhirnya mereka yang menerima saya kembali tanpa ada dendam di hati mereka,” kata dia.

Kini Choirul kembali ke kehidupan normal. Bahkan bersama para korban terorisme ia menjadi anggota Tim Perdamaian AIDA untuk menyemai pesan-pesan damai dan semangat ketangguhan kepada masyarakat, agar tak ada lagi Choirul-Choirul lain yang terjerumus ke dunia terorisme. [KAN]