Urgensi PP Atas UU No. 5 Tahun 2018
Aliansi Indonesia Damai- Aliansi Indonesia Damai (AIDA) menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Mendorong Penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) atas UU No. 5 Tahun 2018: Mewujudkan Pemenuhan Hak-Hak Korban Terorisme” di Jakarta, Selasa, (11/12/2018). Kegiatan bertujuan untuk mendorong terbitnya aturan turunan UU No. 5/2018 yang mengatur pemberian kompensasi bagi korban terorisme. Penerbitan PP tersebut penting untuk menjamin para korban terorisme, khususnya yang terjadi di masa lalu, untuk mendapatkan kompensasi dari Negara.
Sejauh ini, pemenuhan hak korban terorisme sudah terlaksana sebagian. Sejumlah korban tercatat sudah memperoleh pelayanan medis, psikologis, dan psikososial dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Namun demikian, pemberian kompensasi belum berjalan sepenuhnya. Sebab, UU No. 5 Tahun 2018 yang mengatur pemenuhan hak korban terorisme masih membutuhkan PP.
Muhammad Lutfi, Kasi Pemulihan Korban Aksi Terorisme Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam FGD menyatakan bahwa pihaknya telah memberikan surat keterangan kepada korban terorisme yang bisa digunakan untuk mengurusi pengajuan kompensasi. Ia menegaskan BNPT berkomitmen akan melayani korban untuk mendapatkan hak-haknya.
“Kami sudah memberi sekitar 200-an korban mendapatkan surat keterangan korban dari BNPT dan sekarang dalam proses di LPSK. Poin penting negara adalah bertanggung jawab melindungi korban untuk mendapatkan hak pelayanan. Diharapkan dengan adanya undang-undang ini korban bisa merasakan kehadiran Negara,” jelasnya.
Ni Luh Erniati, seorang penyintas bom Bali 2002, mengatakan bahwa penerbitan PP tersebut akan memberi penjelasan lebih lanjut tentang mekanisme pengajuan dan pemberian kompensasi kepada korban lama. Korban terorisme di masa lalu seperti tragedi Bom Bali 2002 dan 2005, Bom JW Marriott 2003, dan Bom Kuningan 2004 belum ada satu pun yang menerima kompensasi dari Negara.
Pengesahan PP yang berlarut-larut bisa memperpendek waktu para korban untuk memperoleh kompensasi dan hak-hak lainnya. Padahal, UU membatasi waktu pengajuan permohonan bantuan bagi korban yang terjadi sebelum adanya UU hanya tiga tahun, terhitung sejak UU disahkan. Bantuan-bantuan tersebut sangat diharapkan para korban.
“Layanan psikologis, kami sudah dapatkan, meski ada sebagian yang belum mendapatkan, (karena) masih perlu menunggu keputusan dari LPSK. Untuk bantuan psikososial, itu yang sedang proses berjalan, yang mendapatkan baru beberapa. Kami berharap dapat memperoleh segera mungkin, karena kami sangat mengharapkan bantuan ini sebagai modal usaha,” ujar Erniati.
Berdasarkan catatan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), pemberian layanan kepada penyintas terorisme masih perlu lebih dioptimalkan. Misalnya, terkait penghitungan kerugian nonmateri yang dapat memenuhi rasa berkeadilan bagi korban.
“Selain masalah perhitungan immaterial, kita perlu dorong agar lebih dipermudah,” kata peneliti ICJR, Sustira Dirga, dalam forum.
Direktur AIDA, Hasibullah Satrawi, mendesak adanya sinergitas antarlembaga dalam urusan pendataan, sehingga upaya pemenuhan hak-hak korban bisa lebih terjamin. “Kami mengusulkan agar penyidik dimaksimalkan perannya. Selain soal hukum, juga diberikan kewenangan untuk melakukan pendataan sehingga data tersebut nantinya akan dikembangkan oleh LPSK sebagai lembaga yang ditunjuk untuk memfasilitasi hak-hak korban, atau BNPT yang menjadi koordinator dalam pemulihan korban, sehingga nantinya diharapkan tidak akan ada lagi kesimpangsiuran data korban antarlembaga,” katanya.
FGD ini dihadiri oleh perwakilan dari lembaga terkait baik pemerintah maupun masyarakat sipil. Di antaranya adalah dari Kementerian Hukum dan HAM, LPSK, BNPT, Densus 88 Antiteror Polri, Kementerian Keuangan, Kementerian Sosial, ICJR, dan Yayasan Penyintas Indonesia (YPI). [MSH]