“Karena Kebencian Tak Mungkin Terus Dipelihara”
ALIANSI INDONESIA DAMAI – Matanya berkaca-kaca saat menceritakan tragedi nahas yang mengguncang Bali belasan tahun lalu. Perempuan berkerudung itu mengingat kembali ketegaran yang harus ditempuhnya, saat mendengar kabar bahwa sang suami, Imawan Sarjono, meninggal dunia menjadi korban kekerasan Bom Bali pada 12 Oktober 2002.
Hayati Eka Laksmi namanya. Eka, demikian ia akrab disapa, mengaku tak kuasa menahan kesedihan dan air matanya setiap mengenang kepergian suami. Akibat peristiwa itu berbagai penderitaan hidup harus ia lalui tanpa dampingan dan kasih sayang suami.
Tragedi Bom Bali 2002 meluluhlantakkan kawasan Legian di Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung. Dua ledakan bom terjadi di dua titik di kawasan tersebut. Peristiwa itu merenggut 202 nyawa. Sebagian besar korban jiwa adalah pelancong mancanegara yang berwisata, sementara sebagian lainnya ialah masyarakat sipil yang mencari nafkah di Pulau Dewata. Salah satu korbannya ialah mendiang suami Eka, Imawan Sarjono, atau Iwan.
Malam hari 12 Oktober 2002, Eka sedang beristirahat menemani dua putranya yang masih belia. Ia sama sekali tak menyangka malam itu terjadi peristiwa berdarah di Bali. Lebih tak menyangka lagi dirinya bahwa sang suami menjadi korban dari peristiwa tersebut.
Sang suami, Iwan, merupakan karyawan PT. Angkasa Pura di Bandara Ngurah Rai. Saat kejadian, kebetulan ia sedang mengantarkan tamu wisatawan untuk berkeliling melihat suasana malam Pulau Bali. Kawasan Legian tak pernah sepi dari wisatawan. Apalagi, malam itu adalah malam Minggu, Jalan Legian sangat padat. Antrean kendaraan mengular di sepanjang jalan itu. Di tengah padatnya keramaian Legian itulah bom meledak.
Mobil yang dikendarai Iwan hanya satu dari puluhan kendaraan yang rangsek dan terbakar akibat ledakan bom. Malang tak dapat ditolak, Iwan meninggal dunia di tempat kejadian.
Resah, sedih, dan gundah menyelimuti perasaan Eka setelah mendengar kabar terjadi serangan teror bom di Legian. Terlebih, suaminya tak kunjung pulang sejak berangkat kerja sehari sebelumnya. Ia mengingat, kira-kira tujuh hari lamanya baru datang kepastian bahwa suaminya menjadi korban meninggal dari Bom Bali. Ia pun mendapati jenazah suaminya sudah tak utuh lagi.

Bangkit dari Keterpurukan
Eka mengaku butuh waktu cukup lama untuk bisa bangkit dari keterpurukan akibat Bom Bali. Penderitaan yang ia rasakan menurutnya begitu berat. Serangan bom merenggut nyawa belahan hati sekaligus kepala keluarga dan tulang punggung bagi diri dan anak-anaknya. Di balik segala kepedihan itu Eka mencoba menguatkan jiwanya. Ia sadar bahwa kehidupan diri dan dua buah hatinya harus terus berlanjut.
“Anak-anak saya menjadi yatim. Ketika kejadian mereka masih kecil. Saya masih bersyukur dianugerahi mereka berdua. Karena merekalah saya menjadi bangkit dan tidak bisa terus menerus sedih,” ujar perempuan lulusan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang ini.
Seiring waktu setelah kejadian Bom Bali berlalu belasan tahun, Eka dipertemukan oleh Aliansi Indonesia Damai (AIDA) dengan mantan pelaku terorisme dalam sebuah kegiatan di Tangerang Selatan pada 2015. Dalam kesempatan itu seorang mantan pelaku kekerasan yang juga merupakan saudara dari para terpidana pelaku Bom Bali 2002 meminta maaf atas perbuatan masa lalunya yang pernah terlibat jaringan teroris. Dengan segala ketegaran hati Eka pun menerima permintaan maaf mantan pelaku tersebut, meskipun ia tak memungkiri sangat sulit melupakan kekejian aksi para teroris yang menghilangkan nyawa suaminya.
Ia mengungkapkan alasannya mau dan mampu memaafkan mantan pelaku teorisme. “Karena kebencian tidak mungkin untuk terus dipelihara, karena itu akan membuat saya menjadi sakit. Akhirnya saya membuat rancangan yang lebih baik ke depan untuk anak-anak saya,” kata Eka.
Di samping itu, ia juga beranggapan bahwa orang-orang yang menganut paham terorisme sejatinya tidak melakukan jihad, alih-alih mereka justru menimpakan kekerasan yang menyebabkan banyak manusia menderita. “Jihad mana yang mereka maksudkan? Bukan. Itu menjadikan orang-orang tak bersalah menjadi korban. Banyak keluarga kehilangan anak-anak, anak kehilangan orang tua. Saya menyebut itu bukan jihad, tapi jahat,” katanya.
Sepeninggal suami hingga hari ini, Eka bekerja sebagai guru di salah satu sekolah swasta di Bali untuk mencari nafkah bagi anak-anak dan keluarganya. Sebagai guru ia mengharapkan kepada pemerintah dan semua pihak terkait agar murid diberikan pemahaman yang benar tentang ajaran agama. Pasalnya, masa sekarang marak muncul pemahaman keagamaan yang menyimpang dan melegalkan kekerasan. “Sebagai pendidik, saya siap untuk menebarkan pesan perdamaian kepada siapa pun, dan menyadarkan pentingnya menghindari paham kekerasan,” ucapnya tegas.
Sejak bergabung dengan AIDA, Eka telah terlibat dalam berbagai kegiatan untuk mengampanyekan perdamaian kepada masyarakat. Pesannya selaku keluarga korban terorisme, agar seluruh lapisan masyarakat melestarikan perdamaian dan mencegah merebaknya paham-paham yang mempropagandakan kekerasan. [FS]