Efek Beruntun Kekerasan
Ungkapan “kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah” merupakan pesan moral yang sering didengar. Namun tanpa dibarengi upaya memahami faktor pemicu seseorang terlibat kekerasan serta menjelaskan dampak buruknya, pesan tersebut amat simplistis.
Kekerasan bisa terjadi oleh berbagai faktor dan motivasi. Kebanyakan faktor ekonomi, dendam, atau lingkungan yang terbiasa dengan kekerasan. Namun ada juga karena pemahaman/ideologi yang berubah menjadi ambisi agar terwujud dalam tatanan kehidupan.
Baca juga Membangun Persaudaraan
Banyak ideologi di dunia yang dimanifestasikan oleh pengikutnya dalam bentuk kekerasan. Hampir semua dari mereka menggunakan cara-cara tersebut dengan mengatasnamakan kemanusiaan, keadilan dan lainnya.
Pada era perang dunia kedua dan perang dingin, kita bisa melihat ideologi-ideologi besar seperti fasisme dan komunisme dimanifestasikan secara destruktif. Para penganut liberalisme dan demokrasi pun tak luput dari aksi peperangan. Kolonialisme dan invasi militer di beberapa negara berkembang menunjukkan hal itu. Walaupun banyak ilmuwan mengatakan faktor utama dari peperangan tersebut adalah politik, namun terlepas dari itu jutaan manusia menjadi korban.
Baca juga Beragama yang Bermaslahat
Memasuki abad 20, kekerasan dilakukan bukan hanya oleh kekuasaan, atau lebih khusus dilakukan oleh negara. Kelompok-kelompok sipil pun melakukan hal yang sama, salah satu contohnya adalah terorisme. Fenomena ini berkembang dalam beberapa dasawarsa terakhir.
Kelompok yang memerjuangkan ideologi yang mengatasnamakan agama tertentu menggunakan cara-cara kekerasan demi mencapai tujuannya. Terorisme hampir terjadi dan berkembang di banyak negara, termasuk Indonesia. Dalam catatan penulis, sudah lebih dari 88 peristiwa aksi terorisme terjadi sejak 2002 sampai 2020.
Baca juga Belajar dari Mantan Ekstremis
Dari puluhan peristiwa tersebut ratusan orang menjadi korban, baik secara langsung ataupun tidak. Dampak fisik, psikologi, ekonomi, dan sosial dialami oleh korban-korban tersebut. Tulisan ini ingin menggambarkan efek beruntun dari kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok ekstremisme.
Pertama, yang jelas menjadi korban adalah masyarakat yang berada di sekitar lokasi kejadian. Berbagai peristiwa pengeboman terjadi, mulai dari Bom Bali, Bom Marriott, Bom Kuningan sampai Bom Gereja Makassar yang terjadi beberapa bulan terakhir. Salah satu contoh korban langsung ialah Mulyono yang terdampak serangan Bom Kuningan tahun 2004. Ia harus kehilangan rahang bawah dan harus rutin mengonsumsi obat sampai hari ini.
Baca juga Konsep Pertobatan Mantan Ekstremis
Lain cerita dengan Ni Luh Erniati, korban tidak langsung dari peristiwa Bom Bali 2002, di mana ia kehilangan suami yang menjadi tulang punggung keluarganya. Selama puluhan tahun, ia harus memerankan tugas ganda sebagai ibu sekaligus pencari nafkah keluarga. Suaminya meninggalkan dua buah hati yang masih sangat belia.
Kedua, elemen yang juga menjadi korban adalah keluarga pelaku. Para pelaku aksi terorisme berhadapan dengan hukum sehingga mereka harus menjalani hukuman penjara. Tak pelak keluarganya terlantar. Salah satu contoh adalah Kurnia Widodo, eks narapidana terorisme Lapas Cipinang. Ia harus meninggalkan anak-anaknya karena harus menjalani hukuman penjara. Bahkan setelah bebas, salah satu anaknya sempat memanggil Kurnia dengan “Om” karena dari kecil tidak pernah melihat ayahnya.
Baca juga Seni Mengelola Dendam
Ketiga, yang menjadi korban adalah kelompok sipil sendiri, khususnya umat Islam. Padahal kelompok yang melakukan aksi-aksi kekerasan ini mengatasnamakan perjuangan agama. Sebagai contoh yang dialami Hayati Eka Laksmi, korban tak langsung dari Bom Bali 2002. Sebagai pemeluk agama minoritas di Bali, Eka merasakan kondisi orang-orang Islam di Bali terintimidasi dan terkucilkan secara sosial beberapa tahun setelah peristiwa. Bahkan Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) di lingkungannya sempat ditutup beberapa waktu.
Islam adalah dienus salam atau agama yang damai. Maka perdamaian harus diutamakan dalam menjalankan agama, dijadikan pedoman dalam berpikir dan bertindak di kehidupan ini. Oleh karena itu, penulis ingin menggambarkan bahwa kekerasan hanya bersifat zero sum game, tidak ada yang menang dalam permainan. Kekerasan hanya menghasilkan dampak buruk yang beruntun bagi kemanusiaan. Jangan sampai realitas hari ini menjadi sejarah kelam yang mengulang masa lalu.
Baca juga Kesabaran dan Pemaafan