Yunik Karta
Home Suara Korban Ikhlas Menerima Takdir, Ibroh dari Penyintas Bom Kuningan
Suara Korban - 15/05/2019

Ikhlas Menerima Takdir, Ibroh dari Penyintas Bom Kuningan

Aliansi Indonesia Damai- Yunik tidak akan pernah lupa terhadap peristiwa kelam yang terjadi pada 9 September 2004. Ia tidak menyangka rutinitasnya mencari nafkah, yaitu usaha katering di perkantoran kawasan Kuningan, akan terganggu akibat aksi teror bom.

Pagi itu Yunik berangkat dari rumahnya di Tangerang untuk mengantar makanan ke tempat kerjanya. Tidak seperti biasanya, perempuan itu naik kendaraan umum menuju Jakarta. Hari-hari biasanya ia diantarkan oleh kerabat untuk ke tempat kerja. Rute perjalanan bus yang ditumpanginya melewati Jl. HR Rasuna Said Kuningan, Jakarta Selatan.

Sekitar pukul 10 pagi, bus kota yang ia tumpangi tiba di tujuan. “Saya bilang sama sopir Kopaja itu, ‘Bang, kiri!’ Di situ saya pegangan besi saat ingin turun, namun tiba-tiba terjadi suara yang menggelegar,” kenang Yunik dalam sebuah kegiatan Aliansi Indonesia Damai (AIDA), pertengahan Maret 2019 di Malang, Jawa Timur.

Ledakan yang bersumber dari sebuah mobil boks itu menghancurkan segala yang ada di sekitarnya. Yunik melihat kaca bus pecah semua. Ia rasakan tiang besi bus yang dipegangnya memanas. Ia pun berusaha melepas pegangannya, namun ternyata susah. Tangannya seperti lengket ke tiang besi yang panas itu. Akhirnya, dengan keras ia tarik tangannya agar bisa terlepas. “Waktu pegangan itu saya teriak Allahu akbar, dan saya teriak memanggil ibu saya, ibu,” ujarnya.

Akibat kejadian Bom Kuningan tersebut, Yunik harus menderita luka cukup serius di bagian jari-jari tangan kiri. Tulang di jari kelingkingnya patah dan telapak tangannya rusak. Selain itu, sejumlah serpihan bom menancap di beberapa bagian tubuhnya. Ia pun harus menjalani beberapa kali operasi, mulai dari pengangkatan serpihan-serpihan bom, hingga terapi untuk pemulihan.

Proses pengobatan dia lalui dengan tidak mudah. Ada potensi jari tangannya harus diamputasi. Ia sempat mendengar suaminya memohon kepada dokter agar tangan istrinya tidak diamputasi.

Selain luka fisik, kondisi psikologis perempuan asal Sragen, Jawa Tengah itu terguncang. Ia mengaku trauma terhadap suara keras setelah mengalami musibah Bom Kuningan. Ia juga tidak berani melintas di lokasi kejadian selama berbulan-bulan, dan tidak berani bepergian seorang diri.

Waktu demi waktu berlalu, Yunik mulai bisa beranjak dari penderitaan akibat bom. Secara berangsur luka di tangannya pulih, begitu juga dengan kondisi mentalnya. Ia mengatakan bahwa dukungan keluarga, terutama suami, berperan sangat signifikan terhadap kebangkitannya setelah terdampak ledakan bom. Selama proses perawatan, suaminya selalu menemani. Bahkan, sang suami terpaksa mungundurkan diri dari tempat kerjanya agar bisa fokus merawat Yunik. Kasih sayang dari suami dan anak-anak menjadi penyemangat Yunik untuk bangkit dari keterpurukan. “Saya bersyukur dapat suami yang sabar banget,” katanya mendefiniskan sosok suaminya.

Ia mengaku telah mengikhlaskan segala yang menimpa dirinya sebagai bagian dari takdir yang harus dijalani. Yunik menjadikan pengalamannya terkena bom sebagai pembelajaran bahwa ia harus menjadi pribadi yang ikhlas menerima takdir, dan tetap berjuang menghadapi tantangan kehidupan. Dari semangat yang ditanamkannya itu ia bisa bangkit dan semakin optimistis menatap masa depan.

Salah satu bentuk dari penerimaannya atas semua yang terjadi, Yunik memaafkan mantan pelaku terorisme yang telah bertobat dari dunia kekerasan. Dalam kegiatan AIDA, ia dipertemukan dengan Iswanto, mantan anggota kelompok teroris asal Lamongan, Jawa Timur. Setelah berproses dan saling mengenal, Yunik memahami bahwa Iswanto telah sungguh-sungguh berubah, telah meningalkan gerakan terorisme. Atas permintaan maaf Iswanto pun Yunik bersedia memaafkan.

Bagi Yunik, semua manusia termasuk mantan pelaku terorisme, sama-sama punya hati nurani yang bisa mengarahkan kepada kebaikan. “Dulu saya itu mendengar teroris itu, saya jadi bertanya-tanya seperti apa hatinya, terbuat dari apa hatinya. Tetapi, setelah bertemu dengan Bapak Iswanto, saya tahu mereka punya hati nurani, hati nurani yang baik,” ucapnya.

Ibu tiga anak ini mengaku tidak memendam rasa dendam dan tidak ingin melakukan pembalasan kepada mantan pelaku. Baginya, kekerasan tidak boleh dibalas dengan kekerasan, karena akan menimbulkan kekerasan yang lebih besar dan merusak perdamaian. “Semoga dari sini ke depan, tidak ada lagi ledakan bom dan kekerasan,” pungkasnya. [MSH]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *