Ramadan Momentum Silaturahmi
Bulan Ramadan telah tiba. Di bulan ini umat Islam mengendalikan diri dan hawa nafsu dengan menjalankan syariat puasa. Ramadan tahun ini, tampaknya cukup spesial bagi umat muslim di Indonesia lantaran puasa menemukan relevansinya dengan syariat lain yang juga sangat dianjurkan, yaitu menjalin silaturahmi. Situasi kehidupan sosial politik mutakhir pascapemilu, cukup menjadi bukti urgensi silaturahmi sesama anak bangsa harus segera direkatkan demi terwujudnya kedamaian.
Seperti diketahui bersama, seusai pesta demokrasi lima tahunan yang panjang dan melelahkan, bahkan menyebabkan ratusan petugas pemungutan suara meninggal dunia karena kelelahan, masyarakat masih dihadapkan pada perselisihan antarelite. Dalam perselisihan terkait hasil pemilu itu seolah-olah luntur persaudaraan sebangsa -di mana hinaan, fitnah, ancaman kekerasan, bahkan kabar bohong diciptakan dan disebarkan demi kepentingan politik. Ibarat sebuah bangunan, perbedaan pilihan politik telah hampir membelah rumah persaudaraan sesama anak bangsa.
Oleh karena itu, Ramadan kali ini hendaknya menjadi sarana untuk merekatkan tali persaudaraan yang beberapa waktu ini mengendor. Umat Islam sebagai mayoritas mesti meyakini bahwa silaturahmi harus menjadi kunci untuk melestarikan kehidupan yang rukun, tenteram, dan damai. Di dalam Alquran disebutkan:
فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِن تَوَلَّيْتُمْ أَن تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ , أُوْلَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ
“Maka, apakah sekiranya kalian berkuasa akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan silaturahmi? Mereka itulah orang-orang yang dilaknat Allah; ditulikan telinganya dan dibutakan penglihatan mereka.” (QS. Muhammad: 22)
Secara eksplisit, ayat di atas menegaskan bahwa dalam keadaan apa pun, seorang Muslim dianjurkan untuk melestarikan budaya silaturahmi. Dengan silaturahmi, kehidupan akan terasa damai, indah, dan menyejukkan. Sebaliknya, tanpa silaturahmi, kehidupan akan terasa sempit dan menyesakkan, persis sebagaimana sindiran ayat di atas.
Ramadan kali ini sudah semestinya kita renungi sebagai kesempatan paling tepat untuk membangun kembali rumah persaudaraan yang hampir roboh. Kesadaran ini harus dijiwai sepenuh hati oleh semua pihak, mulai dari kalangan elite di kedua pasangan capres-cawapres, hingga pendukung mereka di tingkat akar rumput.
Pada dasarnya, silaturahmi senantiasa meniscayakan welas asih, kedamaian dan persahabatan. Sesuai makna dari kata silaturahmi itu sendiri yang terdiri dari dua unsur, yakni silah dan rahim. Menurut pengertian umum, silah bermakna ikatan atau sambungan yang mempertemukan dan menyatukan. Sedangkan rahim, bermakna “rumah janin” yang ada di dalam perut seorang ibu. Kata rahim itu sendiri secara kebahasaan asal katanya sama dengan rahmah yang bermakna kasih sayang. Fitrahnya, memang dalam rahim seorang ibu dipenuhi dengan kasih sayang. Mulai dari kasih sayang Allah Swt. yang meniupkan ruh kehidupan ke dalam janin yang dikandung, hingga kasih sayang ibu kepada buah hati yang dibawanya.
Allah Swt. sendiri mengambil ar-rahim menjadi salah satu nama-nama agung-Nya, yang artinya Maha Pengasih. Disebut demikian karena kasih sayang Allah tidak terbatas kepada umat-Nya, baik terhadap mereka yang mengikuti ajaran-Nya maupun yang kerap kali membangkang. Semua makhluk, setiap hari sepanjang waktu mendapatkan anugerah kehidupan yang merata dari-Nya.
Kecenderungan untuk menyambung silaturahmi sejatinya adalah fitrah yang dimiliki setiap insan. Karena setiap manusia pasti dilahirkan dari rahim, sebuah tempat yang istimewa di mana Allah meniupkan kasih sayang ke dalamnya, dan ibu juga mencurahkan kasih sayang yang besar kepada yang dikandungnya. Gemar bersilaturahmi oleh sebab itu sudah sewajarnya menjadi sifat naluriah (dari kasih sayang ibu) serta fitrah (dari kasih sayang Allah), yang harus dimiliki setiap manusia.
Di bulan yang mulia ini, mari kita berdoa semoga semua pertikaian sosial politik yang melanda bangsa kita segera berakhir dengan baik, tanpa kekerasan. Perbedaan dalam segala urusan hendaknya diselesaikan melalui jalur yang semestinya, tanpa merusak hubungan persaudaraan. Ramadan mengajari kita untuk menjadi manusia yang dapat mengenal dirinya yang lemah dan memerlukan orang lain. Puasa tak memiliki arti jika bulan Ramadan tidak mampu kita renungi dengan segala makna yang terkandung di dalamnya.
Oleh: Ahmad Hifni, alumnus Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta