17/06/2020

Suara Korban yang Jarang Terdengar

Aliansi Indonesia Damai- Working Group on Women and Preventing/Countering Violent Extremism (WGWC) menggelar diskusi bertajuk “Perempuan Korban Bom; Jalan Senyap Menuju Keadilan” pada Kamis (11/06/2020). Diskusi yang digelar secara daring itu melibatkan sejumlah narasumber, salah satunya Riri Khariroh, Direktur Eksekutif AIDA.

Riri mengungkapkan, topik korban terorisme hampir tidak pernah menjadi pembahasan inti dalam setiap peristiwa terorisme. Perhatian publik kepada korban hanya muncul ketika peristiwa terorisme terjadi. “Setelahnya korban acapkali terlupakan dan publik tidak tahu kelanjutan dampak yang dihadapi oleh korban,” ucapnya.

Baca juga Teror Dini Hari Meyatimkan Dua Bocah

Ia menilai, hal tersebut terjadi lantaran media massa dan Negara menganggap bahwa isu korban bukan sesuatu yang menarik. “Negara ingin menyelesaikan masalah, dengan secepatnya membawa pelaku ke pengadilan, bagaimana cara aparat menangkap pelaku, seperti apa jaringan mereka, bagaimana untuk melenyapkan jaringan. Sehingga isu korban agak diabaikan,” ujar Riri.

Padahal korban terorisme dinilainya sebagai individu yang terdampak langsung maupun tidak langsung akibat serangan yang dilakukan oleh kelompok ekstrem. Dampak fisik, psikis, sosial, serta ekonomi selalu menghantui mereka. Salah satunya adalah Wartini yang kehilangan suaminya dalam peristiwa Bom Kuningan 2004. Padahal suaminya adalah tulang punggung keluarga. Tak ayal Wartini harus memikul beban sebagai “bapak” sekaligus ibu bagi anak-anaknya yang kala itu masih kecil.

Baca juga Rektor UIN Surabaya: Kekerasan Selalu Melahirkan Korban

Menurut Riri, target terorisme bersifat acak sehingga siapa pun bisa menjadi korbannya. Hal tersebut dilakukan karena tujuan utama dari terorisme adalah untuk menciptakan ketakutan di masyarakat serta mendemoralisasi dari target yang dituju.

Dalam konteks global, pembahasan mengenai pemenuhan hak korban sangat lambat. “Pembahasan mengenai korban baru muncul ketika serangan 9 September di WTC, Amerika Serikat, serta beberapa serangan di Eropa. Sehingga banyak negara-negara Eropa saat ini membuat peraturan mengenai dukungan terhadap korban terorisme,” kata Riri.

Baca juga Tiga Tahun Bom Kampung Melayu: Penyintas Move On (Bag. 1)

Hal serupa juga terjadi di Indonesia. Dukungan untuk korban juga sudah menjadi mainstream pada UU No. 15 tahun 2003 dan dilengkapi sedemikian rupa pada UU No 5 tahun 2018 yang membahas mengenai hak kompensasi, restitusi, rehabilitasi medis, psikis, dan psikososial korban terorisme.

Di samping pembahasan mengenai hak-hak korban, Riri menjelaskan, hal yang tak kalah penting adalah menempatkan suara-suara korban sebagai impact statement. Suara korban bisa berdampak untuk mendelegitimasi ideologi dan propaganda kelompok teroris. Narasi korban bisa menjadi basis yang kuat bagi pengadilan agar pelaku bisa mendapatkan hukuman yang setimpal. “Selain itu bisa memengaruhi masyarakat luas agar menolak ideologi kekerasan dan propaganda kelompok tersebut,” katanya. [NOV]

Baca juga Tiga Tahun Bom Kampung Melayu: Penyintas Move On (Bag. 2-Terakhir)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *