Home Pilihan Redaksi Ikhlas Atas Musibah Yang Terjadi
Pilihan Redaksi - Suara Korban - 23/07/2019

Ikhlas Atas Musibah Yang Terjadi

Memberikan maaf kepada orang yang pernah berbuat salah adalah sikap yang amat mulia karena hal itu sangat dianjurkan dalam ajaran agama. Namun demikian, memaafkan bukanlah perkara mudah, terutama bagi korban aksi terorisme. Luka dan duka pasti tak akan hilang begitu saja. Sebagaimana dirasakan wanita bernama Wartini, yang kehilangan suaminya, Syahromi karena menjadi korban bom Kuningan tahun 2004 silam.

Meskipun demikian, Wartini memilih ikhlas dan tidak menyimpan dendam terhadap pelakunya. Semua itu ia lakukan semata-mata untuk berdamai dengan masa lalu. Ia berjuang mengalahkan amarah di dalam dirinya. Kisah inspiratifnya ini ia sampaikan kepada para awak media dalam Short Course Jurnalisme yang diselenggarakan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) awal Juli 2019 lalu. 

Dengan raut wajah kesedihan sembari sesekali meneteskan air mata yang terpancar jelas dari rona wajahnya, Wartini tetap tegar berbagi kisahnya. Saat itu, kenang Wartini, mendiang suaminya berprofesi sebagai tenaga keamanan di Kedutaan Besar Australia, sementara Wartini berprofesi sebagai penjual makanan angkringan. Dia dan Syahromi selama berkeluarga dikaruniai tiga orang anak. Hidupnya berubah drastis pascaledakan bom karena ia harus menjadi tulang punggung keluarga.

Wartini bercerita, saat kejadian, yakni tanggal 9 September 2004 silam, Syahromi mempunyai firasat tidak enak ketika hendak berangkat kerja. Perasaan cemas dan was-was menghampirinya. Dia sempat berujar kepada sang istri, Tin, aku hari ini mau berangkat kerja kok perasaan malas, sambil memeluk anak keduanya. Namun karena tuntutan pekerjaan akhirnya Syahromi berangkat menunaikan kewajibannya. 

Dampak kerusakan akibat serangan teror bom di Kuningan, Jakarta Selatan, 9 September 2004.

Sekitar pukul 10.30 WIB, Wartini mendapat informasi dari tetangga bahwa di depan Kedutaan Besar Australia terjadi ledakan bom. Tanpa pikir panjang ia bergegas meninggalkan dagangannya di daerah Cempaka Putih menuju Kuningan, menggunakan ojek dan hanya berbekal uang sepuluh ribu rupiah di sakunya. Bang, saya ingin ke tempat kejadian bom, tapi saya cuma ada uang sepuluh ribu di kantong,” ujar Wartini, memohon pertolongan.

Uang itu tidak cukup untuk biaya transport. Namun karena kebaikan pekerja ojek tersebut, Wartini tetap diantar ke lokasi ledakan. Sesampainya di lokasi, ia bertemu atasan Syahromi dan mendapatkan kabar bahwa suaminya sudah dibawa ke rumah sakit Metropolitan Medical Centre (MMC), Kuningan, Jakarta. Seketika itu, ia menuju ke rumah sakit tersebut dan menemukan suaminya di Lantai 5. Setelah bertemu, Wartini mengajaknya bicara dan menanyakan keadaan sang suami yang masih terlihat sadar.

Namun pria  itu hanya diam dan tidak merespon pembicaraan sang istri. Sampai akhirnya, Syahromi menulis di secarik kertas kalau dia tidak bisa mendengar. Ia pun dirawat dan mendapatkan penangan khusus untuk luka di telinganya. Selama satu minggu pertama pasca kejadian tersebut, Syahromi ditangani oleh dokter Telinga Hidung Tenggorokan (THT). Dari penanganan itulah diketahui bahwa gendang telinganya sudah hancur dan tidak mungkin bisa disembuhkan.

Sang suami tidak menyerah. Setelah keluar dari rumah sakit, ia berusaha berobat jalan dan masih penasaran atas luka yang dialami. Ia memeriksakan lagi penyakit di telinganya ke rumah sakit A. Kasoem. Namun demikian, kabar yang didapat juga serupa, bahwa rumah siput gendang telinganya rusak dan hancur. Akhirnya, ia memilih pasrah dan menerima musibah yang tengah menimpanya. Semenjak kejadian itu, Syahromi juga sering mengalami sakit kepala.   

Selama dua tahun Syahromi harus bolak balik ke Rumah Sakit untuk berobat jalan. Sampai akhirnya pada awal November 2006 sakitnya kambuh lagi dan harus dirawat dua minggu di rumah sakit. Tepat 19 November 2006, Syahromi menghembuskan napas yang terakhir. Padahal saat itu, Wartini tengah mengandung 6 bulan anak ketiga mereka.

Setelah kepergian suami, Wartini harus berjuang menghidupi ketiga anaknya. Berbagai usaha ia lakukan. Termasuk bekerja sebagai tenaga jasa laundry, pembantu rumah tangga hingga berjualan dengan upah hanya dua puluh ribu perhari. Sampai akhirnya Wartini bertemu tim AIDA yang mendampingi, membimbing, membantu, dan menyemangatinya untuk tetap berjuang menafkahi ketiga anaknya sampai saat ini.

“Kita maafkan saja, Allah saja Maha Pemaaf, masa kita sebagai manusia tidak memaafkan,”

Meskipun kehidupan Wartini berubah drastis pasca suaminya meninggal, ia tidak sedikitpun menaruh dendam kepada pelaku. Dia ikhlas akan peristiwa kelam yang tak mungkin bisa ia lupakan itu. Bahkan Wartini terus memberi pemahaman kepada anak-anaknya agar tak perlu memendam dendam dan membenci pelaku. Wartini mengajak anak-anaknya mengikhlaskan kepergian ayahnya sebagai takdir dari Allah. “Kita maafkan saja, Allah saja Maha Pemaaf, masa kita sebagai manusia tidak memaafkan,” ujarnya.

Kisah Wartini dapat menjadi cerminan sifat pemaaf. Ia menunjukkan akhlak yang tinggi agar perdamaian bisa terwujud. Dengan berdamai pada diri sendiri, musibah tidak akan menjadikan seseorang terpuruk. “Saya ikhlas, tidak perlu membalas kekerasan dengan kekerasan, sehingga tidak perlu ada musibah yang baru,” pungkasnya memberi inspirasi kepada para jurnalis itu. [TH]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *