Home Berita Mengarusutamakan Sudut Pandang Korban
Berita - Pilihan Redaksi - 23/07/2019

Mengarusutamakan Sudut Pandang Korban

Aliansi Indonesia Damai- Pekan pertama Juli 2019, Aliansi Indonesia Damai (AIDA) mengundang 36 awak media massa di Jakarta dalam acara Short Course Penguatan Perspektif Korban Dalam Peliputan Isu Terorisme. Kegiatan dua hari ini dimaksudkan sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran bersama akan pentingnya mengarusutamakan sudut pandang korban dalam pemberitaan isu terorisme.

Kegiatan menghadirkan sejumlah korban dan mantan pelaku terorisme, serta para ahli di bidang media dan terorisme sebagai narasumber. Para korban berbagi kisah tentang dampak yang mereka alami akibat aksi terorisme.

Seorang korban Bom Kampung Melayu, Susi Afitriyani, mengatakan bahwa minimnya perhatian terhadap korban terorisme menimbulkan derita tambahan selain luka fisik dan trauma akibat serangan teror. Bagi korban seperti dirinya yang selalu berpakaian tertutup, kondisinya yang mengalami luka serius di bagian lengan dan bahu akibat ledakan bom pada Mei 2017 jarang dipahami orang lain. Padahal, kesehatannya menurun drastis dan dia masih membutuhkan perawatan medis untuk kesembuhannya sampai kini.

Susi Afitriyani, Korban Bom Kampung Melayu

Pipit, sapaan akrabnya, juga menjelaskan kepada insan media yang hadir dalam Short Course bahwa meskipun terlihat normal dan sehat, namun terkadang rasa sakit luar biasa di bagian tubuhnya yang terluka masih terasa.

Pernyataan Pipit dibenarkan oleh Direktur AIDA, Hasibullah Satrawi. “Padahal di saat peristiwa terjadi, dan belum terbukti pelakunya mana saja, saat itu pula kehidupan korban sudah berubah. Anak-anak korban harus ditinggalkan, istrinya tidak ada lagi yang menafkahi, belum lagi korban luka-luka yang merasakan kesakitan secara fisik. Mereka menjerit,” tegasnya.

Korban Bom Thamrin 14 Januari 2016, Dwi Siti Rhomdoni atau yang sering dipanggil Dwiki, mengisahkan pengalaman serupa. Kondisi fisiknya yang terlihat normal membuat orang abai akan sakit yang selama ini ia rasakan. Padahal, pengobatan masih ia jalani hingga saat ini. Ia mengaku bahkan sering mengajukan izin dari tempatnya bekerja untuk melakukan pemeriksaan medis rutin.

Penderitaan lain juga dirasakan oleh Wartini, korban tidak langsung dari serangan teror Bom Kuningan 2004. Suaminya, Syahromi, meninggal dunia dua tahun pascatragedi. Setelah kepergian suaminya, ia harus menjalani beban untuk menjadi tulang punggung keluarganya. Wartini mengungkapkan bahwa menjadi orang tua tunggal dan membesarkan tiga anak bukanlah hal yang mudah.

Dalam sesi tanya jawab bersama korban, salah satu peserta Short Course dari MNC TV bertanya apakah korban tidak keberatan jika diangkat dalam sebuah berita, sebab dikhawatirkan justru akan membuat korban merasa terluka kembali. Menanggapi hal tersebut, Dwiki menerangkan bahwa sebagian korban tidak keberatan apabila pemberitaan tentang korban diangkat, namun tidak dapat dinafikan sebagian yang lain belum kuat untuk diliput media.

Dwiki mengemukakan perspektifnya sebagai korban dalam memandang media. Ia mengaku, beberapa bulan setelah melewati masa kritis pascakejadian bom ia mulai mencoba untuk mencari tahu lebih tentang apa yang sudah diberitakan terkait dengan para korban. “Ketika melihat media lebih mengekspos pelaku, malah agak geram. Kenapa korban malah tidak pernah dimunculkan, padahal ada korban yang belum ter-cover oleh pemerintah,” imbuhnya. Dwiki juga merasa miris mengingat fakta bahwa ada korban yang kemudian meninggal dunia karena belum mendapatkan perhatian dari pemerintah terkait kebutuhan medis akibat bom.

Terkait pemberitaan berperspektif korban, Hasibullah mengatakan bahwa liputan yang mengarusutamakan serta mendukung korban tidak terbatas pada pengungkapan kisah mereka dalam berjuang melampaui penderitaan. Liputan berita berperspektif korban menurutnya adalah yang dapat mendorong pemenuhan hak-hak korban oleh Negara.

Mendengar cerita korban secara langsung mampu membuka perspektif baru bagi media tentang bagaimana dan apa yang sesungguhnya dirasakan dan dibutuhkan oleh korban.

Dalam kegiatan tersebut seorang peserta perwakilan NET mengakui bahwa umumnya pemberitaan media tentang isu terorisme terfokus pada pelaku dan peristiwa. Kesempatan sharing session dan mendengar cerita korban secara langsung dalam kegiatan yang diselenggarakan AIDA, kata dia, mampu membuka perspektif baru bagi media tentang bagaimana dan apa yang sesungguhnya dirasakan dan dibutuhkan oleh korban.

Hasibullah mengapresiasi pemerintah sebagai kepanjangan tangan Negara yang mulai memberikan hak-hak kepada korban terorisme meskipun belum sepenuhnya. Ia juga  mengatakan, AIDA mendorong insan media meningkatkan kesadaran akan pentingnya pengarusutamaan sudut pandang korban dalam pemberitaan isu terorisme. Pemberitaan berperspektif korban diyakini mampu mendorong pemenuhan hak-hak korban yang masih terkendala. [WR]

1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *