Saat Mantan Napiter Berkisah Perjalanan Hidupnya
Aliansi Indonesia Damai – Perjalanan hidup seorang mantan narapidana terorisme hingga kembali ke jalan perdamaian memicu rasa ingin tahu para peserta Diskusi dan Bedah Buku La Tay’as: Ibroh dari Kehidupan Teroris dan Korbannya, awal Oktober lalu. Kegiatan digelar AIDA secara daring bekerja sama dengan dengan Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PWNU Sulawesi Tenggara.
Salah seorang peserta bertanya kepada Choirul Ikhwan, mantan narapidana terorisme yang menjadi salah satu narasumber kegiatan, tentang bagaimana akhirnya ia mampu benar-benar lepas dari kelompok ekstremisme kekerasan dan kembali ke masyarakat.
Baca juga Dendam Tak Mengembalikan yang Hilang
Pertanyaan tersebut muncul setelah Irul, sapaan akrab Choirul Ihwan, berkisah sepak terjangnya di kelompok terorisme hingga kemudian harus menjalani hukuman penjara. Bagi Irul, bergabung dengan kelompok ekstrem adalah masa yang sulit baginya.
Sebelum memutuskan untuk keluar dari kelompok tersebut, Irul sempat menjadi buronan dan masuk ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) kepolisian dari tahun 2009 hingga 2011. Ia mengalami situasi penuh pergolakan hidup. Bahkan berat badannya turun drastis. “Seminggu setelah tertangkap, karena makan enak, naik jadi 62 kilogram. Saya merasa lega ketika tertangkap,” ujarnya.
Baca juga Ekstremisme Rentan di Era Pandemi
Ia sempat mengalami pergulatan batin luar biasa lantaran doktrin-doktrin yang ia terima dari kelompok ekstrem berbeda total dengan norma yang ia anut sebelumnya. Ia pun merasa tidak nyaman karena selalu bertentangan dengan pandangan umum masyarakat.
Lambat laun, ia mulai berpikir ulang tentang tujuannya selama ini. Terlebih, ia juga memutuskan untuk melepaskan diri dari keluarganya serta mengkafirkan mereka, termasuk kedua orang tuanya. Ia juga harus meninggalkan tiga anak kesayangannya demi bergabung dengan kelompok teror.
Baca juga Dialog Mahasiswa UHO Kendari dengan Ahli Terorisme
Menurut Irul, saat itu ia memiliki doktrin kuat bahwa tindakannya akan membawanya ke surga, meskipun harus meninggalkan keluarga. Beruntung, Irul akhirnya memilih untuk kembali ke keluarganya.
“Motivasi yang paling besar untuk keluar adalah keluarga. Bagaimana saya bisa mengorbankan semua itu namun ternyata yang saya jalani itu salah. Ternyata saya tidak mendapatkan apa yang saya inginkan, ternyata justru bertentangan,” katanya menyesali.
Baca juga Terorisme bukan Ajaran Islam
Irul menjelaskan, salah satu ciri ideologi ekstrem adalah menolak demokrasi, seperti yang pernah ia lakukan sebelumnya. Irul bahkan melarang keluarganya untuk mengikuti Pemilu.
Menanggapi hal tersebut, salah seorang peserta bertanya tentang sikap yang tepat ketika memiliki teman yang menolak demokrasi, bahkan tidak menyukai para pengikut demokrasi.
Baca juga Wawasan Wasathiyah Tangkal Ekstremisme
Menurut Irul, langkah pertama yang harus dilakukan justru bukan dengan menjauhi teman tersebut. Atas pengalamannya, ia menilai bahwa mereka justru membutuhkan teman untuk berbagi dan saling bertukar pikiran. Namun ia berpesan, penting untuk memfilter diri agar tidak terpengaruh.
“Biarkan mereka mengeluarkan pikiran mereka ke kita, asal kita tetap mampu menahan diri agar tidak terpengaruh. Ketika kita sudah merasa dekat, baru kita ajak mereka ke tempat yang baik, yang lebih moderat,” katanya berpesan. [WTR]
Baca juga Imam Besar Istiqlal: Amalkan Al-Qur’an secara Objektif